Misteri
Kekerasan di Puncak Jaya
A Makmur Makka, KOMISIONER
KOMNAS HAM
Sumber : SUARA KARYA, 22 Desember 2011
Setiap kali ada
pemberitaan tentang pasukan TNI atau pasukan Brimob yang gugur di Papua,
khususnya di lintasan jalan menuju Pertambangan Freeport di kawasan Puncak
Jaya, saya selalu bertanya dalam hati, kenapa kelompok bersenjata seperti ini,
tidak pernah dibasmi dengan sebuah operasi yang tuntas? Apakah ini, sebuah
'pembiaran' yang menyebabkan satu per satu prajurit Brimob dan warga sipil kita
gugur? Apakah benar yang terjadi di sana hanya sebuah 'konflik internal'
antar-pasukan keamanan kita, seperti didesas-desuskan masyarakat? Ataukah,
masih ada misteri lain yang belum terungkap ?
Sebagai orang awam, saya
selalu bertanya dalam hati, seberapa sulit medan yang dihadapi pasukan keamanan
kita, sehingga tidak dapat membasmi kelompok bersenjata yang sering melakukan
penghadangan dan penembakan terhadap aparat keamanan kita?
Sebagai analogi, kondisi
sekitar tahun l950-l960-an. Situasi keamanan di Sulawesi Selatan sangat rawan,
karena pasukan Darul Islam - Tentara Islam Indonesia (TDI-TII) pimpinan Kahar
Muzakkar masih berkeliaran di hutan-hutan.
Silih berganti operasi
militer dilakukan oleh Kodam Hasanuddin/Wirabuana untuk menumpas pasukan DI/TII
yang nota bene sejumlah pemimpinnya juga eks pasukan pejuang kemerdekaan.
Bahkan ketika operasi itu digalar, aktivitas mereka dianggap berlarut-larut
untuk mengakhiri perlawanan Kahar Muzakkar dan kawan-kawan, karena diduga
pasukan lokal yang beretnis Bugis-Makassar, mengalami 'konflik batin',
memerangi kerabat sendiri atau bekas teman-teman mereka seperjuangan di masa
revolusi kemerdekaan.
Maka, didatangkanlah
pasukan dari Kodam Siliwangi yang dipimpin oleh Kolonel Solichin GP, dengan
perwira-perwira muda seperti Yogi S Memed. Mereka lantas bergerak memakai nama
'Operasi Kilat'. Pasukan dari Kodam Siliwangi, juga diperkuat oleh sejumlah
pasukan komando.
Dalam waktu tidak berapa lama, seluruh kegiatan gerombolan
pengacau keamanan akhirnya dihabisi, termasuk menewaskan Letkol (TRI) Kahar
Muzakkar, pimpinan tertinggi DI/TII, mantan Pimpinan Komando Group Seberang di
Jogyakarta semasa revolusi phisik. Hal yang sama juga dilakukan TNI dengan
operasi besar-besaran ke Manado dalam peristiwa Permesta, ke Padang dalam
peristiwa PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan GAM (Gerakan
Aceh Merdeka) di Aceh. Kenapa pemerintah kita tidak sesensitif seperti dulu
terhadap pengacau keamanan di Papua?
Apa bedanya sekarang
dengan gerombolan pengacau keamanan di Papua yang lokasi gerakannya sudah jelas
dan terpantau. Jumlahnya pun dianggap 'tidak berarti'. Betapa beratkah medan di
Papua? Apakah lebih berat dibandingkan ketika TNI menumpas pasukan DI/TII
sampai ke hutan di kaki Gunung Latimojong serta Bone Pute (sekarang, Sulawesi
Tenggara)? Apalagi, saat itu, senjata tempur TNI belum secanggih yang
dimilikinya sekarang serta infrastruktur jalan yang bobrok di Sulawesi Selatan.
Untuk berbicara mengenai medan yang dihadapi Operasi Kilat ketika itu, hanya
pensiunan anggota TNI eks pasukan Operasi Kilat yang bisa melukiskannya.
Atau, apakah karena
pemerintah sekarang ini khawatir dianggap melanggar hak asasi manusia (HAM),
karena itu setiap operasi militer yang dilancarkan akan membuat pemerintah
pusing dengan echo teriakan pendekar HAM dari negara-negara maju? Tetapi,
bagaimana dulu dengan Aceh dalam operasi menumpas GAM? Bukankah TNI juga
melancarkan operasi militer, tidak peduli kemungkinan teriakan pendekar HAM
yang memojokkan Indonesia di pergaulan internasional? GAM di Aceh bahkan punya
perwakilan tetap di Swedia yang siap selalu bersuara jika terjadi operasi
militer.
Lantas, apa bedanya
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sumatera Barat dengan Papua? Bukankah semua
daerah itu adalah provinsi di negara Republik Indonesia yang merdeka dan
berdaulat?
Betapa rawankah
melakukan operasi penumpasan pengacau keamanan di Papua sekarang ini? Masih
segar dalam ingatan kita di Papua berlangsung operasi penumpasan gerombolan
bersenjata yang diduga menculik sejumlah peneliti Ekspedisi Laurenz di kawasan
Mapenduma, bahkan melibatkan pasukan komando dan operasi itu berhasil. Tidak
ada teriakan pelanggaran HAM ketika kita melakukan operasi militer saat itu?
Saya hanya khawatir,
pembiaran yang dilakukan TNI dan dalam hal ini pemerintah, untuk tidak menumpas
tuntas pengacau keamanan di Papua adalah bagian dari politik 'pencitraan'.
Bahwa Indonesia adalah negara yang aman dan tenteram, tidak ada daerah konflik,
tidak ada lagi pelanggaran HAM.
Jika benar demikian,
maka kita harus selalu siap-siap mendengar berita satu demi satu prajurit kita
gugur di sana. Ini diperoleh melalui pengumuman Kabid Penerangan Polri di
berbagai media elektronik dengan suara hati-hati dan rona wajah yang tidak
berdaya. Sementara sebuah misteri tetap belum terjawab di Puncak Jaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar