Bangsa
Pengimpor yang Melupakan Petani
Khudori, PEGIAT
ASOSIASI EKONOMI POLITIK INDONESIA AEP); ANGGOTA KELOMPOK KERJA AHLI DEWAN
KETAHANAN PANGAN PUSAT (2010-2014)
Sumber : KORAN TEMPO, 26 Desember 2011
Salah
satu ciri Kabinet Indonesia Bersatu adalah membuat target tertentu. Tahun ini
pemerintah mematok target produksi lima bahan pangan utama: beras, jagung,
kedelai, gula, dan daging sapi. Target produksi empat dari lima bahan pangan
utama itu tidak tercapai. Satu-satunya yang tercapai adalah daging sapi.
Produksi beras, jagung, dan kedelai malah turun. Dibanding target produksi,
produksi padi lebih rendah 5,2 juta ton gabah kering giling, jagung 4,77 juta
ton pipilan kering, kedelai 629.932 ton kupasan kering, dan gula kristal putih
400 ribu ton. Dibanding tahun lalu, produksi padi turun 1,63 persen, sedangkan
produksi jagung dan kedelai masing-masing turun 6 persen dan 4 persen.
Kegagalan semacam ini bukan hal baru.
Akibat
target produksi tak tercapai, kita rugi dua kali. Pertama, negara kehilangan
potensi pendapatan riil dari empat komoditas strategis itu sekitar Rp 40,2
triliun. Kedua, devisa melayang untuk mengimpor pangan yang target produksinya
tak tercapai. Dengan asumsi harga US$ 600 per ton, impor 1,9 juta ton beras
tahun ini bernilai Rp 10,26 triliun (kurs Rp 9.000 per dolar). Devisa yang
melayang makin besar untuk impor 2 juta ton jagung, 1,63 juta ton kedelai, dan
0,7 juta ton gula kristal putih. Uang itu menciptakan dampak berganda luar biasa
jika berputar di dalam negeri. Karena berputar di luar negeri, justru negara
lainlah yang menikmatinya.
Nilai
impor semakin besar apabila keseluruhan komoditas pertanian, baik pangan,
hortikultura, perikanan, maupun makanan-minuman, diperhitungkan. Hingga Oktober
lalu, impor komoditas hortikultura dan produk olahannya, misalnya, mencapai Rp
17,6 triliun, naik 36 persen dari periode yang sama tahun lalu. Sepanjang
Januari-November 2011, impor makanan-minuman mencapai US$ 220,9 juta (hampir Rp
2 triliun), naik 16,2 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Secara
keseluruhan, impor pangan, baik di bawah kewenangan Kementerian Pertanian,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, maupun Kementerian Perindustrian, tahun ini
hampir Rp 100 triliun, hampir 6 kali anggaran Kementerian Pertanian.
Membanjirnya
komoditas pangan, peternakan, dan hortikultura impor membuat produksi
petani/peternak domestik terdesak. Ini bukan semata-mata soal daya saing,
melainkan lebih karena taktik dan politik dagang yang tidak fair dan minimnya
proteksi dari negara. Hampir semua bahan pangan penting, seperti gandum, beras,
jagung, gula, kedelai, dan daging, harganya terdistorsi oleh berbagai
bantuan/subsidi domestik, pembatasan akses pasar, dan subsidi ekspor.
Akibatnya, harga di pasar dunia bersifat artifisial dan rendah. Karena tak ada
perlindungan memadai, berbagai produk itu mengalir deras menyasar 240 juta
warga kita.
Indonesia
ibarat rumah besar dengan pintu terbuka lebar. Siapa pun bisa bebas
keluar-masuk tanpa halangan berarti. Lihat saja aneka sayur, kentang, dan aneka
benih, termasuk yang berbakteri dan berpenyakit, dengan mudah masuk wilayah
Indonesia. Misalnya, kentang impor asal Cina dan Prancis ternyata mengandung
bakteri Erwinia carotovora, penyebab penyakit batang hitam pada kentang.
Benih jagung Thailand dan padi asal India terbukti mengandung bakteri Pseudomonas
syringae, Pantoea stewartii dan Pantoea aglomerans, yang belum ada
di Indonesia. Masuknya aneka bahan pangan tak aman itu tak hanya merugikan
konsumen, tapi juga menyengsarakan petani. Ketika petani kentang babak-belur
dan terpaksa turun ke jalan, pemerintah baru sadar dan buru-buru mengaktifkan
balai karantina serta mengatur impor melalui pembatasan pelabuhan impor, dan
kode harmonisasi impor (HS).
Dibanding
era 1970-an, tantangan produksi pangan saat ini semakin kompleks. Lahan
pertanian kian sempit dan kelelahan (fatigue), produktivitas melandai
karena degradasi lahan dan lingkungan, air kian langka, serta anomali iklim dan
cuaca kian sulit diprediksi. Itu semua membuat produksi pangan berisiko tinggi.
Karena kepemilikan lahan yang sempit, ujung-ujungnya kesejahteraan petani
sebagai produsen tidak pernah membaik. Kondisi ini diperparah oleh mazhab
pembangunan pertanian-pangan yang berorientasi produksi, bukan kesejahteraan.
Pertanian dikonstruksikan sebagai sektor produksi, tak peduli kesejahteraan
petani. Bahkan ada kecenderungan kebijakan yang melupakan, bahkan meniadakan,
para petani.
Sampai
saat ini pemerintah masih mengidap mentalitas kolonial: sikap percaya pada
kekuatan usaha besar. Lebih dari 400 tahun evolusi pembangunan selalu dibimbing
oleh jiwa yang meniadakan petani/warga sebagai subyek pembangunan. Premis dasar
kebijakan yang diyakini adalah, usaha besar selalu memiliki kapasitas lebih
tinggi dari petani. Dalam Kabinet Indonesia Bersatu, mazhab ini bisa dilihat
dari program food estate, Gerakan Peningkatan Produksi Pangan Berbasis
Korporasi, dan rencana pembentukan BUMN Pangan oleh Menteri BUMN Dahlan Iskan.
Padahal bukti-bukti empiris menunjukkan sebaliknya. Buktinya, siapa yang
memproduksi pangan bagi 240 juta warga kita kalau bukan petani? Itu dilakukan
di 7,5 juta hektare sawah; 3,6 juta hektare area karet; 3,7 juta hektare kebun
kelapa; dan ratusan ribu hektare kebun kopi, teh, tebu, lahan kedelai, jagung,
serta yang lain. Apa jadinya jika mereka mogok?
Kebijakan lain yang meniadakan petani bisa
dilihat dari janji-janji membagi 8 juta hektare lahan untuk petani yang tak
kunjung ditunaikan. Berulang kali pemerintah merilis data bahwa potensi perluasan
kawasan budidaya pangan masih cukup luas. Tapi lahan itu tidak diberikan kepada
petani, pekebun, warga pinggir hutan, atau kaum marginal lainnya. Puluhan juta
hektare lahan justru diserahkan hanya kepada segelintir pengusaha dan
konglomerat dalam aneka konsesi dengan lama puluhan tahun: Hak Pengusahaan
Hutan, Hutan Tanaman Industri, atau eksploitasi tambang di hutan lindung.
Hasilnya sudah sama-sama kita rasakan: hutan gundul dan habis tapi tak membuat
kita kaya.
Sebaliknya, kita panen banjir-tanah longsor. Dalam waktu dekat
berharap ada teknologi baru semanjur revolusi hijau rasanya mustahil. Tanpa
penambahan lahan baru buat pangan, kita akan jadi bangsa ayam broiler: bangsa
pengimpor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar