Menuju
HAM Hijau
Andang L. Binawan, PENGAJAR SEKOLAH TINGGI FILSAFAT DRIYARKARA, ANGGOTA THE CLIMATE
REALITY PROJECT
Sumber
: KOMPAS, 10 Desember 2011
Hak
asasi manusia, dalam pengertian yuridis sampai hari ini, lebih dipahami dalam
konteks relasi kekuasaan individu dengan negara. Suatu pemahaman yang menjadi
terlalu sempit dalam kehidupan modern saat ini.
Merunut
dari sejarahnya, paham HAM memang muncul dalam dua konteks penting. Di satu
sisi berupa penyalahgunaan kekuasaan negara—terutama kekuatan politik—terhadap
warganya yang semakin besar. Di sisi lain, kesadaran akan martabat individu
yang semakin tinggi.
Dalam
perjalanannya, pemahaman itu menjadi terlalu sempit karena kekuasaan pada zaman
modern tidak lagi menjadi monopoli negara. Hal itu bisa muncul dalam wujud
kekuasaan ekonomi yang juga sangat besar pada korporasi-korporasi bisnis. Dalam
kaitan itulah, jaminan HAM ke depan juga semakin luas.
Konteks
Baru
Sudah
banyak dibicarakan bagaimana banyak korporasi bisnis berkembang menjadi
raksasa. Pada tahun 2000 saja, laporan penelitian Sarah Anderson dan John
Cavanagh yang berjudul Top 200: The Rise of Corporate Global Power menyebutkan,
ada 51 korporasi bisnis yang masuk dalam 100 kekuatan ekonomi dunia. Itu
berarti sudah melewati jumlah 49 negara yang menjadi kekuatan ekonomi.
Anderson
dan Cavanagh juga menemukan bahwa 200 korporasi bisnis terbesar ini tumbuh
lebih cepat dibanding aktivitas ekonomi yang lain. Jika penjualan mereka
ditotal, hasilnya lebih besar daripada total ”penjualan” semua negara dikurangi
10 negara terbesar. Data itu jelas menggarisbawahi bahwa kekuasaan ekonomi
korporasi bisnis sangatlah besar. Dengan demikian, dampaknya pada jaminan HAM
tentu juga besar.
Makin
menjulangnya kekuasaan ekonomi korporasi bisnis itu sangat mudah dipahami.
Perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi memungkinkan pertumbuhan
korporasi bisnis melampaui batas-batas politis dan geografis suatu negara.
Digitalisasi uang memegang peran paling penting dalam pertumbuhan itu karena
membuka peluang penumpukan modal menjadi tak terbatas.
Jika
tidak cepat tanggap, kekuasaan ekonomi itu juga menjadi tak terbatas. Potensi
ancamannya tinggi, terutama jika mengacu pada Lord Acton: power tends to
corrupt and absolute power corrupt absolutely: orang yang memiliki kekuasaan
cenderung jahat, dan apabila kekuasaan itu demikian banyak, kecenderungan jahat
semakin menjadi-jadi. Kekuasaan politis tidak lagi bisa mengaturnya.
Sekarang
saja dampaknya sudah sangat terasa, baik terhadap individu manusia maupun
terhadap lingkungan, langsung maupun tidak langsung. Pembatasan dan pengaturan
yang lebih ketat dan terkoordinasi menjadi semakin mendesak, terutama karena
pengaturan yang ada masih terkesan parsial, belum sinergis.
Nilai
Bersama
Meski
demikian, besarnya kekuatan dan perkembangan zaman yang bergerak cepat membuat
pengaturan eksternal atau pemaksaan dari luar tidak selalu efektif. Maka
pertanyaannya kemudian, mungkinkah ada pengaturan dari dalam, yang berarti
internalisasi pembatasan kekuasaan tersebut?
Hal
itu tidak akan gampang dipahami mengingat pembatasan kekuasaan berarti
pembatasan upaya meraih laba sebanyak-banyaknya, yang selama ini dipahami
sebagai esensi dari sebuah korporasi bisnis. Corporate social responsibility
(CSR)—semacam upaya perusahaan untuk lebih bertanggung jawab pada lingkungan
sosialnya—masih berkesan sebagai upaya memoles diri.
Mark
Kramer dan Michael Porter, dua akademisi Amerika Serikat, menawarkan upaya
membatasi penyalahgunaan kekuasaan secara internal ini melalui creating shared
value (CSV) atau pengembangan nilai bersama. Muncul tahun 2006, konsep ini
makin matang dalam artikel mereka di Harvard Business Review edisi Februari
2011.
CSV
bertolak dari keprihatinan bahwa kapitalisme dipahami dan dijalankan secara
sempit, berpusat pada keuntungan finansial korporasi semata. Akibatnya, bukan
hanya membahayakan pihak lain, melainkan juga diri sendiri. Prinsip saling
tergantung menjadi penting di sini.
Pengembangan
CSV juga bertolak dari terlalu minimnya CSR. CSV memang secara mendasar berbeda
dari CSR dalam beberapa pokok. Menurut kedua penulis itu, ada enam perbedaan.
Yang terpenting adalah bahwa dalam CSR, nilai yang mau diperjuangkan ”hanya”
berbuat baik. Sebaliknya, CSV mendasarkan diri pada nilai bahwa keuntungan
ekonomis dan keuntungan sosial punya kaitan erat, termasuk dalam hal
pembiayaan. Karena itu, nilai yang diperjuangkan sebuah korporasi tidak bisa
terpisah dari nilai dalam masyarakat.
HAM
Hijau
Pokok
penting dari konsep CSV yang diluncurkan Kramer dan Porter itu memberi angin
optimisme bagi jaminan HAM yang lebih menyeluruh. Kesadaran yang lebih mendalam
bahwa lembaga atau korporasi bisnis terkait secara integral dengan bagian
”dunia” yang lain berimplikasi bahwa keprihatinan dunia adalah juga
keprihatinan sebuah perusahaan. Mengingat HAM adalah salah satu nilai penting
yang diperjuangkan dunia, tidak terlalu sulit nantinya lembaga bisnis
mengadopsi nilai HAM dalam perjuangannya.
CSV
mungkin masih jauh untuk Indonesia. Akan tetapi, beberapa pokok gagasan CSV
bisa dikembangkan, terutama dalam rangka negosiasi memadukan kepentingan
masyarakat dan perusahaan. Dalam hal ini, sangatlah mungkin, misalnya, gagasan
CSV diadopsi oleh perusahaan semacam Freeport yang menghadapi banyak konflik
untuk bernegosiasi dengan pemerintah dan masyarakat setempat.
Lebih
jauh, dalam konteks HAM, berpijak pada kesamaan pandangan akan
kesalingtergantungan antara lembaga bisnis dan masyarakat, individu dan negara,
manusia dan alam, sekat-sekat yang selama ini menghalangi penegakan HAM bisa
makin relatif. HAM lalu tidak hanya dipahami dalam konteks hidup individu
vis-a-vis negara, tetapi juga vis-a-vis lembaga bisnis, khususnya yang besar,
dan di situ pula konsep HAM menjadi jauh lebih luas dan integral.
HAM
akan makin hijau karena juga terkait dengan jaminan pemeliharaan lingkungan
demi hidup manusia, baik yang sekarang maupun generasi mendatang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar