Sondang
Hutagalung
Budiarto Shambazy, WARTAWAN KOMPAS
Sumber
: KOMPAS, 10 Desember 2011
Mohamed
Bouazizi drop out dari SMP karena orangtuanya tak mampu bayar uang sekolah.
Untuk memperbaiki nasib, mereka pindah ke kota lebih kecil, R’gueb, dan bekerja
di peternakan saudara.
Namun,
peternakan bangkrut karena jadi korban pemerasan aparat. Merasa sia-sia,
Bouazizi dan keluarga balik lagi ke Sidi Bouzid, Tunisia tengah.
Ia
memutuskan mencoba peruntungan sebagai penjual buah dan sayur dengan modal
gerobak serta utang kanan-kiri untuk membeli dagangan. Sayang, usaha kaki lima
dilarang, gerobaknya jadi langganan disita polisi.
Jumat,
17 Desember 2010, pagi, ia tak tahan karena frustrasinya memuncak. Utangnya
sekitar Rp 1,7 juta. Ia pergi mengadu ke gubernur mengapa polisi belum
mengembalikan gerobaknya.
Namun,
ia diusir polisi. Tak ada jalan keluar lagi, Bouazizi mengambil jalan pintas.
Ia lalu membakar diri di depan kantor gubernur.
Aksi
konyol itu membuat Bouazizi menderita luka bakar parah. Rakyat marah. Sepanjang
akhir pekan setelahnya, massa melakukan demonstrasi dan menjarah.
Pembakaran
dan penjarahan segera menyebar ke seluruh negeri. Perlahan tetapi pasti, rakyat
tergerak mempersoalkan tingkat pengangguran yang tinggi dan korupsi para
pejabat.
Rezim
Presiden Tunisia Zine al-Abidine Ben Ali berupaya bertahan. Namun, percuma
karena ihwal pembakaran dan penjarahan ditiru di mana-mana karena menyebar
melalui media sosial.
Aksi
Bouazizi ditiru beberapa demonstran di Mesir dan Aljazair karena efektif memicu
revolusi. Kurang dari dua bulan, ”Revolusi Melati” di Tunisia merembet ke
sejumlah negara Timur Tengah.
Padahal,
kultur membakar diri akibat frustrasi sosial tidaklah dikenal di kedua kawasan
itu. Aksi itu lebih sering terjadi di Asia, terutama di kawasan Asia Timur dan
Asia Selatan.
Kita
jelas tak mengenal kultur bakar diri, makanya tercengang menyaksikan aksi itu
dilakukan Sondang Hutagalung. Tak pernah ada yang bakar diri di depan istana
sejak 1945.
Sudah
beberapa kali terjadi belakangan ini orang loncat dari gedung, menjatuhkan diri
dari jembatan penyeberangan, atau membakar diri sekeluarga.
Padahal,
budaya protes kita terhadap keadaan yang sumuk tidak begitu. Protes kita masih
berwatak jinak, misalnya demonstrasi ke istana yang merupakan bentuk modern
dari mépé (berjemur diri di alun-alun).
Kita
lebih kenal amarah politik yang diwarisi budaya Melayu yang lebih mengerikan,
yakni amuk (to run amok). Itulah yang terjadi, misalnya, pada 1965-1966 dan
1998.
Apa
yang dilakukan pembakar diri adalah perbuatan kurang waras dan bertentangan
dengan agama walau Bouazizi terbukti periang dan religius. Satu-satunya
motivasi mereka nekat karena putus asa akibat kondisi sosial dan ekonomi
terpuruk.
Pembakar
diri memprotes rasa ketidakadilan. Dan, yang perlu digarisbawahi, para
pemimpinlah yang bertanggung jawab atas terciptanya ketidakadilan tersebut.
Kalau
bukan para pemimpin, lalu siapa? Pasalnya, hanya jajaran pemimpin
negara—pemerintah dan parlemen yang mengawasi pemerintah serta yudikatif yang
mengemban keadilan—yang wajib mengurus rakyat.
Lihat
ketiga cabang kekuasaan kita yang sering diguyoni dengan ”Trias Poli-thieves”.
Ketiga cabang kekuasaan terdiri atas ”execu-thieves”, ”legisla-thieves”, dan
”judica-thieves”.
Tikus-tikus
koruptor menguasai ketiga cabang kekuasaan. Korupsi tak lagi sekadar mengentit
alias mengais-ngais dari anggaran belanja, tetapi juga menjarah anggaran untuk
dibagi-bagikan sejak ia ditetapkan oleh eksekutif dan yudikatif.
Korupsi
mudah ketahuan dan segera diperiksa KPK, Kepolisian, ataupun Kejaksaan. Namun,
mereka ternyata bukan sapu-sapu yang bersih sehingga sukar diharapkan menyapu
kotoran.
”Judica-thieves”?
Lihat saja sebagian keputusan Pemilu-Pilpres 2009 dan pilkada yang ternyata
diperdagangkan oleh Mahkamah Konstitusi yang kini disidik Panitia Kerja Mafia
Kursi DPR.
Betul
kata judul buku politisi Partai Golkar, Bambang Soesatyo, Perang-perangan
Melawan Korupsi. Pembasmian korupsi ibarat anak-anak yang bermain
perang-perangan semata.
Kepolisian
dan Kejaksaan menjalankan peran memainkan ”penyidik-penyidikan” sekaligus
”penyelidik-penyelidikan” skandal-skandal korupsi. KPK bertindak sebagai aktor
yang bermain ”periksa-periksaan” koruptor. Lalu Pengadilan Tipikor memainkan
peran menjalankan ”sidang-sidangan” seperti yang dilakukan terhadap M Nazaruddin.
Korupsi
makin hari makin absurd. Permainan perangan-perangan melawan korupsi sudah
berlangsung sekitar dua tahun. Sondang menjadi peringatan bagi kita bahwa
korupsi di republik ini sudah mencapai kondisi luar biasa.
Selain
membakar diri, muncul fenomena baru: dalam rangka peringatan Hari Antikorupsi
Internasional, mahasiswa dan aktivis pendemo menyatroni rumah Ketua Umum Partai
Demokrat.
Pembakar
diri seperti Bouazizi atau Sondang bukan pencari sensasi yang haus perhatian
dan ingin dikenang sebagai ”pahlawan”. Mereka disebut sebagai ”korban” yang
ingin agar rakyat ”bangkit”.
Makna
dua kata, korban dan bangkit, itulah yang menjadi esensial. Setiap perjuangan
memerlukan pengorbanan dahulu demi membangkitkan harapan rakyat agar nasib
bangsa jadi lebih baik lagi.
Kita
wajib periksa diri: walau sistem demokratis, apakah the ruling elite yang
berkuasa masih belum kapok korupsi? Percuma membanggakan demokrasi jika
tujuannya tidak lebih dari sekadar memperkaya diri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar