Sabtu, 10 Desember 2011

Berharap KPI Jemput Bola


Berharap KPI Jemput Bola
Veven Sp. Wardhana, PENGHAYAT BUDAYA MASSA
Sumber : KORAN TEMPO, 10 Desember 2011




Selasa malam, 6 Desember 2011, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyelenggarakan perhelatan Anugerah KPI 2011, penghargaan untuk pelbagai produk yang ditayangkan stasiun televisi di Indonesia —yang kali sekarang memasuki tahun keempat. Saya termasuk salah satu juri untuk salah satu mata tayangan khas televisi, yakni talk show—sementara bidang lainnya: program anak, sinetron lepas, film dokumenter, liputan investigatif, ditambah khusus pengabdian atau lifetime achievement dan televisi peduli keberagaman.

Untuk peristiwa ini, sedikitnya saya punya tiga catatan. Pertama, jika kali ini merupakan perhelatan yang keempat kalinya, berarti ada yang pertama, kedua, dan ketiga—dan itu yang gaungnya boleh dikatakan kurang terasa. Gaung yang berkaitan dengan KPI selama ini lebih pada adanya pelbagai teguran KPI terhadap stasiun atau tayangan televisi itu sendiri—plus siasat stasiun televisi dalam menghadapinya.

Kedua adalah soal bagaimana mekanisme penilaian dilakukan. Catatan ketiga berkaitan dengan pemahaman penggunaan terminologi mata tayangan yang dinilai untuk disemati Anugerah KPI.

Dalam hal gaung dan gema KPI sebagai lembaga penyemprit, apa boleh buat, saya cenderung menaruh hormat mengingat kenyataan selama ini sudah begitu banyak keluhan dan kritik masyarakat terhadap mata acara televisi—terutama televisi komersial (boleh baca: televisi swasta)—yang nyaris tak digubris para pengelola penyiaran. KPI setidaknya sudah secara resmi menyuarakan kritik itu menjadi teguran, yang bisa saja memiliki konsekuensi hukum, misalnya dicabutnya atau setidaknya diistirahatkannya sebuah mata acara sebelum pengelola atau kreator melakukan pembenahan ke dalam.

Tentu, mandeknya sebuah tayangan lebih berdampak ekonomi ketimbang hukum pidana. Belum pernah terjadi, atas putusan pengadilan, sebuah stasiun televisi harus membayar ganti rugi atau pemimpinnya dijebloskan ke bui. Paling-paling, jika sebuah
acara melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan/atau Standar Program Siaran
(SPS), serta KPI memintanya “istirahat”, pasokan iklanlah yang terkena dampaknya. Toh, stasiun televisi tak pernah kurang akal. Tanpa perlu berpayah-payah benar, tayangan pusparagam Empat Mata, yang kena palu ketok teguran itu, bisa kembali muncul dalam waktu relatif ringkas dengan tambahan embel-embel dalam kurung,
sehingga menjadi (Bukan) Empat Mata—dan sepertinya mulus-mulus belaka.

Surya Citra Televisi (SCTV) rupanya punya kiat sama dan sebangun. Sesudah KPI melayangkan surat resmi teguran pada 26 Agustus 2011 atas sinetron serial Islam KTP, belakangan hari sinema televisi ini bermimikri menjadi Bukan Islam KTP (tanpa harus ada tambahan dalam kurung).Teguran diarahkan juga ke sisipan iklan—yang jauh lebih diburu stasiun penyiaran—yang akibat ekonominya pastilah jauh lebih besar. Terakhir, KPI menegur iklan “Gigi Palu Nyangkut di Buah Dada”dan “Oli Top 1 Action Matic”. Keduanya mengeksploitasi buah dada perempuan model yang sama sekali sungguh- sungguh tak ada kaitannya dengan produk yang diiklankan. Juga iklan kartu pulsa yang menggunakan ikon (lagi-lagi) Tukul Arwana, terutama ungkapan yang dianggap merendahkan, “wong ndeso!”.

Lantas, bagaimana pertimbangan pemberian penghargaan Anugerah KPI itu? Saat saya diminta menjadi salah satu penilai, kepada salah seorang panitia saya tanyakan:
apakah yang dinilai itu paket yang diseleksi oleh KPI sebagai penyelenggara ataukah berdasarkan kiriman dari masing-masing stasiun televisi. Bagi saya, mekanisme ini
sangat penting. Jika KPI yang memilihkan paket-paket untuk dinilai para juri, maknanya paket-paket tersebut sudah layak KPI, dan diharapkan tak akan ada kerja ganda jika di kemudian waktu koridor P3 dan SPS ala KPI itu ternyata memberikan catatan cacat terhadap paket-paket yang sudah kadung dinilai tim juri. Pihak panitia, sebagaimana juga Ketua KPI Dadang Rahmat Hidayat, menyatakan saat memberikan sambutannya dalam acara Anugerah KPI 2011—disiarkan langsung oleh TVRI—program yang dinilai para juri berdasarkan yang didaftarkan masing-masing stasiun televisi.

Sungguh tak berbeda dibandingkan dengan penghargaan yang pertama kali diselenggarakan KPI, pada 2007, yang kala itu menggunakan nama “asing”: KPI Awards—yang saya juga sempat diminta menjadi juri. Dibandingkan dengan perhelatan pertama Anugerah KPI, kali ini saya tak mencoba melakukan konfirmasi ke masing-masing stasiun televisi yang tidak mengirimkan karya mereka, sehingga saya tak tahu persis kemungkinan persamaan dan perbedaan yang mendasarinya tak menyertakan tayangan mereka dalam momentum penganugerahan ini. Untuk yang pertama, rata-rata stasiun televisi yang tak mengirimkan produk dan/atau program mereka disebabkan oleh kekurangpercayaan mereka atas kinerja KPI, yang menurut analisis saya lebih disebabkan masa-masa “bulan racun”(untuk melawankatakan dengan “bulan madu”) lembaga-lembaga penyiaran swasta dengan KPI, yang lahir atas amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, yang banyak pasal dan ayatnya ditentang oleh lembaga penyiaran.

Karena itu, untuk masa mendatang, KPI tak lagi perlu semata menunggu kiriman tiap stasiun televisi. KPI harus jemput antena (mestinya: jemput bola) sebagaimana ketika
mereka menilai mata tayangan yang dianggap tak layak siar karena menerabas P3 dan/ atau SPS. Momentum Anugerah KPI bukanlah diniatkan untuk mendapatkan pemenang atau juara sebagaimana laiknya sebuah lomba atau sayembara. Boleh dibilang, perhelatan ini merupakan semacam tradisi rutin untuk mengevaluasi berjenis-jenis tayangan di televisi—mestinya juga siaran radio—yang kemudian dinilai layak, sehat, dan, hmm?, bertanggung jawab terhadap publik.

Justru dengan pemilihan yang dilakukan lebih dulu oleh KPI—ini menyangkut catatan ketiga—tak bakal lagi ada jenis atau format tayangan yang salah kirim, salah kotak, atau salah terminologi, yang tak sebatas salah administrasi. Setidaknya, dalam program talk show, ada dua tayangan yang lebih cocok dikategorikan sebagai reality show. Dari program film dokumenter—sebagaimana dinyatakan Tedjabayu, salah satu penilai, juga terjadi kesalahkaprahan senada dan seirama: reality show didaftarkan sebagai film dokumenter. Di bidang sinetron atau sinema televisi, juri Maman Suherman juga membisikkan: seharusnya yang dinilai adalah yang berjenis sinetron lepas (satu tayang
usai). Namun tak sedikit stasiun televisi mengirim dan mendaftarkan berepisode-episode sinema serial bersambungan. Sesungguhnya sih tak jadi soal jika memang ada kategorisasi macam itu—dan sebaiknya memang ada mengingat Festival Film Indonesia malah menyingkirkannya sebagai sinema televisi dengan memberikan label minor bahwa sinetron itu beda kelas dengan FTV alias film televisi.

Atau KPI sendiri masih gagap dan gugup menerapkan pelbagai terminologi dan kategorisasi yang memang menjadi kekhasan budaya televisi itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar