Selasa, 06 Desember 2011

Membanggakan Kedudukan

Membanggakan Kedudukan
Sukardi Rinakit, PENELITI SENIOR SOEGENG SARJADI SYNDICATE
Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011



Pagi, 22 November 2011. Ketika mendengar cerita Tragedi Lapangan Zakeus dari teman-teman Elsam Papua dan Persekutuan Gereja-gereja Papua, Buya Ahmad Syafii Maarif dan Salahuddin Wahid tidak bisa menahan air mata. Nurani mereka terluka.

Setelah mendengar cerita sedih itu, hampir setiap malam ingatan saya dihunjam oleh kehadiran seorang sahabat, almarhum Franky Sahilatua. Dulu di perbatasan Papua dan Papua Niugini, setelah dengan syahdu menyanyikan lagu ”Pancasila Rumah Kita”, Franky lantang menyanyikan: Tanah Papua/tanah yang kaya/di sana aku lahir/bersama angin/bersama ombak/aku dibesarkan/hitam kulit kering rambut/aku Papua/biar langit terbelah/aku Papua.

Apa yang terjadi di Papua sama seperti peristiwa lain, termasuk robohnya Jembatan Kartanegara, dari perspektif budaya politik menggambarkan karakter kepemimpinan kita saat ini. Para pemimpin, dari tingkat pusat sampai daerah, umumnya hanya menikmati kekuasaan. Mereka lupa pesan orang-orang tua di kampung dulu bahwa siapa pun yang suka ngagungake pangkate (membanggakan kekuasaannya) akan dipermalukan jika ada perubahan zaman.

Krisis Legitimasi

Keluhan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai mandeknya komunikasi politik dan sistem pelaporan membenarkan berlakunya praktik mengagung-agungkan kekuasaan di kalangan elite politik tersebut. Baik eksekutif maupun legislatif umumnya terlalu bangga pada dirinya sendiri dan kedudukan yang dipegangnya saat ini.

Semua itu berawal dari kemenangan dalam kontestasi politik. Kerasnya persaingan dan besarnya sumber daya politik yang diperlukan untuk mendapatkan kursi kekuasaan membuat pemenang terjebak dalam kebanggaan berlebihan. Mereka merasa menjadi serba ”super”. Diri mereka menggelembung menjadi lebih besar dari cita-citanya.

Akibatnya, kebijakan politik yang mereka ambil sebatas yang tampak di depan mata dan berjangka pendek. Mereka miskin visi. Kebijakan prorakyat yang diambil tak lebih dari sekadar bedak yang mudah luntur apabila kena gerimis. Pendeknya, kebatinan mereka secara umum jauh dari upaya suci untuk menyelesaikan permasalahan yang membelit rakyat. Semua serba formalitas dan artifisial. Mereka lebih suka menunjukkan identitas super dengan pakaian perlente, mobil mewah, dan rumah bagus.

Dalam konstruksi seperti itu, harapan Presiden akan bekerjanya sistem pelaporan dan komunikasi politik yang efektif adalah tidak realistis. Semua simpul dalam jalur eksekutif adalah simpul mati (kebanggaan akan kekuasaan). Tak mengherankan jika mereka tidak segera melapor kepada Presiden tentang apa yang terjadi, termasuk kekerasan di Papua, karena mereka belum mendapat laporan dari bawah. Fenomena yang sama terjadi pada jalur legislatif dan kepengurusan partai politik.

Para elite politik tersebut juga malas mengomunikasikan kepada publik semua kebijakan pemerintah karena itu bukan identitas super mereka. Tak mengherankan jika para menteri lebih suka diam setelah sidang kabinet. Dalam konteks ini, penambahan jabatan wakil menteri pada reshuffle lalu secara hipotesis tidak menipiskan sikap mengagung-agungkan kekuasaan, tetapi justru memperparahnya.

Mengerasnya kultur kebanggaan akan kedudukan di setiap simpul kekuasaan, termasuk dalam birokrasi dan koalisi partai politik, memicu munculnya anggapan bahwa pemerintah mengalami krisis legitimasi. Beberapa indikator sering ditunjuk, antara lain lemahnya penegakan hukum dalam kasus korupsi, minimnya instruksi Presiden yang dijalankan menteri, dan sistem pelaporan yang macet.

Indikator-indikator tersebut, meminjam renungan Habermas, merujuk pada terjadinya krisis rasionalitas dalam administrasi politik. Seluruh jaringan birokrasi hampir mampat dan berkarat. Akibatnya, krisis motivasi melanda bangunan sosial-budaya bangsa. Masyarakat akhirnya menjadi pesimistis.

Secara prediktif, sistem pelaporan dan komunikasi politik pemerintah diduga akan semakin buruk. Hal itu disebabkan sikap beberapa partai koalisi pemerintah, terutama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang kemungkinan kecewa terhadap Partai Demokrat yang bersikeras mengajukan parliamentary threshold (ambang batas parlemen) 4 persen. Sementara PPP dan PKB mengajukan ambang batas 2,5 persen. Mereka pantas kecewa karena loyalitas mereka tidak diimbangi oleh keberpihakan Partai Demokrat.

Uniknya, krisis legitimasi yang melanda ranah politik tersebut tidak menyebar di arena ekonomi. Di sini, yang muncul justru optimisme pelaku usaha. Dalam pandangan mereka, Indonesia saat ini begitu cantik dan menggairahkan. Jumlah kelas menengahnya 131 juta orang, ketiga terbesar di Asia setelah China dan India. Mereka bertambah rata-rata 7 juta orang dalam 10 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi tahun ini diperkirakan 6,5 persen dan inflasi 4 persen.

Banyak pihak percaya bahwa gerak positif tersebut terjadi bukan karena peran pemerintah, melainkan para pelaku ekonomi bergerak sendiri. Secara otonom, mereka membangun sistem peringatan dini guna membaca segala perubahan ekstrem yang terjadi di tingkat domestik dan global.

Itu yang belum Presiden lakukan: membangun red-line guna menghadapi elite politik yang hanya membanggakan kekuasaan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar