Membanggakan
Kedudukan
Sukardi Rinakit, PENELITI SENIOR SOEGENG SARJADI SYNDICATE
Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011
Pagi,
22 November 2011. Ketika mendengar cerita Tragedi Lapangan Zakeus dari
teman-teman Elsam Papua dan Persekutuan Gereja-gereja Papua, Buya Ahmad Syafii
Maarif dan Salahuddin Wahid tidak bisa menahan air mata. Nurani mereka terluka.
Setelah
mendengar cerita sedih itu, hampir setiap malam ingatan saya dihunjam oleh
kehadiran seorang sahabat, almarhum Franky Sahilatua. Dulu di perbatasan Papua
dan Papua Niugini, setelah dengan syahdu menyanyikan lagu ”Pancasila Rumah
Kita”, Franky lantang menyanyikan: Tanah Papua/tanah yang kaya/di sana aku lahir/bersama
angin/bersama ombak/aku dibesarkan/hitam kulit kering rambut/aku Papua/biar
langit terbelah/aku Papua.
Apa
yang terjadi di Papua sama seperti peristiwa lain, termasuk robohnya Jembatan
Kartanegara, dari perspektif budaya politik menggambarkan karakter kepemimpinan
kita saat ini. Para pemimpin, dari tingkat pusat sampai daerah, umumnya hanya
menikmati kekuasaan. Mereka lupa pesan orang-orang tua di kampung dulu bahwa
siapa pun yang suka ngagungake pangkate (membanggakan kekuasaannya) akan dipermalukan
jika ada perubahan zaman.
Krisis
Legitimasi
Keluhan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai mandeknya komunikasi politik dan
sistem pelaporan membenarkan berlakunya praktik mengagung-agungkan kekuasaan di
kalangan elite politik tersebut. Baik eksekutif maupun legislatif umumnya
terlalu bangga pada dirinya sendiri dan kedudukan yang dipegangnya saat ini.
Semua
itu berawal dari kemenangan dalam kontestasi politik. Kerasnya persaingan dan
besarnya sumber daya politik yang diperlukan untuk mendapatkan kursi kekuasaan
membuat pemenang terjebak dalam kebanggaan berlebihan. Mereka merasa menjadi
serba ”super”. Diri mereka menggelembung menjadi lebih besar dari cita-citanya.
Akibatnya,
kebijakan politik yang mereka ambil sebatas yang tampak di depan mata dan
berjangka pendek. Mereka miskin visi. Kebijakan prorakyat yang diambil tak
lebih dari sekadar bedak yang mudah luntur apabila kena gerimis. Pendeknya,
kebatinan mereka secara umum jauh dari upaya suci untuk menyelesaikan
permasalahan yang membelit rakyat. Semua serba formalitas dan artifisial.
Mereka lebih suka menunjukkan identitas super dengan pakaian perlente, mobil
mewah, dan rumah bagus.
Dalam
konstruksi seperti itu, harapan Presiden akan bekerjanya sistem pelaporan dan
komunikasi politik yang efektif adalah tidak realistis. Semua simpul dalam
jalur eksekutif adalah simpul mati (kebanggaan akan kekuasaan). Tak
mengherankan jika mereka tidak segera melapor kepada Presiden tentang apa yang
terjadi, termasuk kekerasan di Papua, karena mereka belum mendapat laporan dari
bawah. Fenomena yang sama terjadi pada jalur legislatif dan kepengurusan partai
politik.
Para
elite politik tersebut juga malas mengomunikasikan kepada publik semua
kebijakan pemerintah karena itu bukan identitas super mereka. Tak mengherankan
jika para menteri lebih suka diam setelah sidang kabinet. Dalam konteks ini,
penambahan jabatan wakil menteri pada reshuffle lalu secara hipotesis tidak
menipiskan sikap mengagung-agungkan kekuasaan, tetapi justru memperparahnya.
Mengerasnya
kultur kebanggaan akan kedudukan di setiap simpul kekuasaan, termasuk dalam
birokrasi dan koalisi partai politik, memicu munculnya anggapan bahwa
pemerintah mengalami krisis legitimasi. Beberapa indikator sering ditunjuk,
antara lain lemahnya penegakan hukum dalam kasus korupsi, minimnya instruksi
Presiden yang dijalankan menteri, dan sistem pelaporan yang macet.
Indikator-indikator
tersebut, meminjam renungan Habermas, merujuk pada terjadinya krisis
rasionalitas dalam administrasi politik. Seluruh jaringan birokrasi hampir
mampat dan berkarat. Akibatnya, krisis motivasi melanda bangunan sosial-budaya
bangsa. Masyarakat akhirnya menjadi pesimistis.
Secara
prediktif, sistem pelaporan dan komunikasi politik pemerintah diduga akan
semakin buruk. Hal itu disebabkan sikap beberapa partai koalisi pemerintah,
terutama Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa
(PKB), yang kemungkinan kecewa terhadap Partai Demokrat yang bersikeras
mengajukan parliamentary threshold (ambang batas parlemen) 4 persen. Sementara
PPP dan PKB mengajukan ambang batas 2,5 persen. Mereka pantas kecewa karena
loyalitas mereka tidak diimbangi oleh keberpihakan Partai Demokrat.
Uniknya,
krisis legitimasi yang melanda ranah politik tersebut tidak menyebar di arena
ekonomi. Di sini, yang muncul justru optimisme pelaku usaha. Dalam pandangan
mereka, Indonesia saat ini begitu cantik dan menggairahkan. Jumlah kelas
menengahnya 131 juta orang, ketiga terbesar di Asia setelah China dan India.
Mereka bertambah rata-rata 7 juta orang dalam 10 tahun terakhir. Pertumbuhan
ekonomi tahun ini diperkirakan 6,5 persen dan inflasi 4 persen.
Banyak
pihak percaya bahwa gerak positif tersebut terjadi bukan karena peran
pemerintah, melainkan para pelaku ekonomi bergerak sendiri. Secara otonom,
mereka membangun sistem peringatan dini guna membaca segala perubahan ekstrem
yang terjadi di tingkat domestik dan global.
Itu
yang belum Presiden lakukan: membangun red-line guna menghadapi elite politik
yang hanya membanggakan kekuasaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar