Demokrasi
Model Indonesia?
Boni Hargens, Pengajar Ilmu Politik UI; Sedang Belajar di Humboldt Universität-zu
Berlin, Jerman
Sumber : KOMPAS, 6 Desember 2011
Ketika
berada di Jakarta, Presiden Jerman Christian Wulff menyebut Indonesia model
demokrasi di tengah negara Islam lain (Deutschlandradio, 1/12).
Dia
juga mengulang apa yang pernah dikatakannya sebelumnya bahwa Islam adalah
bagian dari Jerman sebagaimana Kristen dan Yahudi. Dengan kata lain, Wulff mau
menjelaskan Indonesia adalah sahabat Jerman.
Memang
tak semua sepakat. Bahkan, guru besar di Universitas Humboldt, Prof Dr Boike
Rehbein, menyebut itu propaganda seusai kuliah Struktur Sosial dan Politik di
Asia Tenggara. Bagaimanapun, kita sambut baik pujian politisi Partai Kristen
Demokrat ini sebagai terobosan untuk kerja sama bilateral yang mangkus dan
berguna ke depan.
Sebenarnya
ada kesamaan kondisi kedua negara belakangan ini. Media Jerman minggu-minggu
terakhir ramai memberitakan ”Neo-Nazi Trio”: tiga anggota Neo-Nazi (Beate
Zschäpe, Uwe Böhnhardt, dan Uwe Mundlos), yang baru terungkap melakukan
pembunuhan berantai beberapa tahun terakhir di Jerman. Tahun 2000-2006 mereka
membunuh delapan pengusaha keturunan Turki dan tahun 2007 menewaskan dua polisi
di Heilbronn. Dua pemuda dari tiga pelaku sudah membakar diri dalam mobil.
Beate Zschäpe yang masih hidup menyerahkan diri ke polisi.
Hadapi
Radikalisme
Kanselir
Angela Merkel nyaris tiap hari mengomentari soal penguatan sistem keamanan
sosial menghadapi radikalisme kanan ke depan. Indonesia pun masih bermasalah
dengan radikalisme. Ahmadiyah diserang dan rumah ibadah dibakar adalah
contohnya. Namun, Wulff kok memuji.
Pujian
juga pernah diterima Indonesia pada paruh pertama 1990-an dengan sebutan ”Macan
Asia”. Tahun 1997-1998 fondasi ekonomi roboh dan krisis politik menghancurkan
semua pujian.
Memang
betul, sesudah 1998, transisi politik pada tataran struktural berjalan normal.
Barangkali kekaguman terhadap Indonesia karena kemampuan mengelola ini. Dimensi
kebebasan sipil dan hak politik dipuji sejak 2004 oleh Freedom House di
Washington. Kita punya banyak media dan segudang parpol.
Soal
pemerintahan baik dan bersih, Indonesia adalah model kalau KPK dan BPK jadi
patokan. Hitung saja, berapa mantan menteri (meski belum ada satu pun mantan
presiden!), gubernur, dan bupati/wali kota diperiksa dan dipenjara. Namun, mari
kita lihat tataran substansial. Berapa kasus serius besar merugikan negara dan
rakyat terungkap tuntas? Bagaimana dengan kasus BLBI,
Century,
Lapindo, penggelapan pajak Gayus? Bagaimana kadar kebebasan sipil bagi
minoritas? Berapa jumlah riil orang miskin dan kehilangan pekerjaan?
Berapa
manusia diperbudak di berbagai industri dengan jaminan keselamatan dan upah tak
manusiawi, serta pekerja wanita di aneka industri hiburan yang luput dari
perlindungan hukum?
Kejahatan
Kemanusiaan
Belum
lama (22/11/2011), Saskia Schäfer, pemerhati Islam di Asia Tenggara, membuat
presentasi di Universitas Freie di Berlin soal Ahmadiyah di Indonesia. Pelaku
kekerasan terhadap Ahmadiyah di Temanggung cuma dihukum 4-5 bulan penjara.
Model demokrasi macam apa yang mempertimbangkan kejahatan kemanusiaan lebih
ringan dari kejahatan konvensional seperti mencuri telur di pasar?
Tentu
kita tak berpretensi meminta Wulff memikirkan pertanyaan ini, termasuk kalaupun
keesokan harinya ia lupa pernah memuji Indonesia. Sama seperti ketika dalam
tiap kasus orang asing dibunuh oleh mereka yang terindikasi bagian dari
jaringan Neo-Nazi di Jerman, pihak keamanan akan selalu mengatakan, ”Kami
sedang telusuri apakah korban terlibat sindikat kriminal tertentu.” Toh, tak
ada yang bertanya mengapa korban selalu diduga kriminal? Kenapa tak fokus ke
pelaku saja?
Jubah
demokrasi masih cukup lebar untuk membalut masalah seperti ini. Di atas kertas,
demokrasi tak diukur dari apa kata korban, tapi dari apa kata pelaku. Maka tiap
penilaian adalah sah. Bahkan, kalaupun tiap hari presiden mau memberi
penghargaan kepada tiap kroni atau famili dengan judul ”pahlawan demokrasi”,
itu pun sah. Tak ada yang salah, meski tak juga benar. Toh, demokrasi
ditentukan pelaku.
Akan
tetapi, sekali kita berpikir tentang demokrasi dari dimensi korban, kotak
pandora akan terbongkar. Bahwa elite demokrasi kita betul berhasil membuat kita
merdeka berpikir, tetapi tidak berhasil memikirkan kemerdekaan kita.
Kemerdekaan sebagai manusia dan sebagai subyek politik. Benarkah demokrasi
seperti ini cuma model atau ini cuma demokrasi model kita? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar