Impor
Ikan untuk Siapa?
Muhamad Karim, Direktur Pusat Kajian Pembangunan Kelautan Dan Peradaban Maritim (PK2PM)
Sumber : SINAR HARAPAN, 5 Desember 2011
Pembangunan
kelautan dan perikanan kini mengalami kekisruhan akibat pemerintah hendak
mengimpor ikan dari negara lain. Ironis memang sebagai negara kelautan di
dunia.
Dalih
yang dikeluarkan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kita kekurangan bahan
baku untuk industri perikanan. Alasan yang klise, sebab sejak dua dasawarsa
silam soal kekurangan bahan baku sudah menghiasi jagad perikanan Indonesia.
Jadi,
itu amat retoris dan mengada-ada. Padahal, bila mengurusi perikanan ini dengan
pendekatan yang tepat, tak mungkin kekurangan bahan baku. Apa masalahnya?
Problem
Kekurangan Bahan Baku
Soal
kekurangan bahan baku ikan dalam industri perikanan telah bersifat struktural.
Setiap tahunnya sejak revolusi biru hingga kini, kekurangan bahan baku kerap
kali menggoyang eksistensi industri pengolahan ikan kita. Simaklah BUMN
Perikanan Usaha Mina yang hingga kini bubar tak ketahuan rimbanya.
Pemerintah
pun tak mampu menjelaskan akar persoalan sesungguhnya hingga kini. Apakah
memang Indonesia benar kekurangan ikan? Mungkinkah kita dikibuli negara asing
yang mencuri ikan di perairan Indonesia? Atau pengusaha penangkapan ikan yang
beroperasi ikan di Indonesia tak pernah melaporkan hasil tangkapannya secara
benar demi menghindari pajak?
Sangat
terbuka kemungkinan mafia perikanan sudah menggurita dalam bisnis perikanan
Indonesia sehingga pemerintah bengong saja. Hingga kini pemerintah gagal
mengungkap mafia perikanan Indonesia, kendati telah membentuk satgas mafia
hukum.
Problem
ekonomi politik semacam ini merupakan konspirasi aparat, korporat (domestik dan
asing), dan politikus dalam bisnis perikanan tangkap. Korbannya adalah industri
perikanan nasional. Menurut hemat penulis, alasan kekurangan bahan baku
sebenarnya menjustifikasi ketidakmampuan pemerintah.
Amat
kontras bila dibandingkan dengan usaha perikanan rakyat yang berkembang baik
sebagai industri rumahan hingga usaha mikro yang tak mengeluh soal kekurangan
bahan baku. Apakah pernah usaha ikan kayu, ikan asap, ikan pindang, maupun ikan
asin mengeluhkan kekurangan bahan baku?
Mengapa
pemerintah tak pernah berupaya memberdayakan usaha perikanan rakyat yang sudah
berkembang dalam keluarga nelayan perikanan tangkap, terutama di kawasan timur
Indonesia? Umpamanya, di Maluku, Sulawesi Utara, hingga Papua.
Namun
pemerintah justru membuat kebijakan aneh yang belum tentu menuai hasil baik.
Contohnya, kebijakan minapolitan hingga kini mau mengembangkan industrialisasi
kelautan dan perikanan.
Pasalnya,
kebijakan semacam itu tak berdasarkan realitas masyarakat dan kondisi perikanan
Indonesia yang bersifat multispesies. Pengambil kebijakan kelautan dan
perikanan di Indonesia ini gemar mencontoh hal-hal yang belum tentu adaptif dan
implementatif dengan kondisi Indonesia.
Simaklah,
pertama, model pengelolaan wilayah pesisir yang dicontek dari Amerika
Serikat sejak 1996 itu, apa ada hasilnya? Apa betul wilayah pesisir Indonesia
menjadi bertambah baik dan degradasi berkurang? Fakta membuktikan justru
sebaliknya.
Pesisir
Indonesia makin rusak dan proyek-proyek pesisir itu hanya menghasilkan
dokumen-dokumen dan malah menambah daftar utang Indonesia.
Kedua, program COREMAP, soal pengelolaan
terumbu karang. Hasilnya pun tak signifikan bagi perbaikan ekosistem terumbu
karang dan kesejahteraan nelayan. Padahal program itu dananya bersumber dari
utang luar negeri.
Penulis
mau mengatakan, pemerintah Indonesia cenderung “latah” dalam membuat kebijakan
pembangunan kelautan dan perikanan. Mestinya pemerintah mempertimbangkan
aspek-aspek sosiokultural dan historis empiris dalam membangun kebijakannya.
Lantas bagaimana semestinya?
Pendekatan
Heterodoks
Dalam
kepustakaan ekonomi politik, pendekatan heterodoks muncul sebagai kritik atas
teori arus utama (klasik, neoklasik, dan keynesian) yang gagal
menjelaskan problem pembangunan di negara dunia ketiga. Kebijakan
industrialisasi kelautan dan perikanan yang hendak diusung KKP kini dipastikan
akan menuai kegagalan di masa datang.
Ini
karena, pertama, konsep industrialisasi kelautan dan perikanan dengan
dukungan impor bahan baku sejatinya mengadopsi strategi industri subtitusi
impor (ISI). Kaum heterodoksian mengkritiknya karena itu merupakan manifestasi
dari konsep keseimbangan pasar.
Permintaan
bahan baku tinggi sementara persediaan kurang, solusinya impor. Kaum
heterodoksian memandang kekurangan bahan baku ikan tak bisa hanya dijelaskan
dengan konsep hukum keseimbangan pasar yang amat matematis itu, tetapi ada
komponen lain, mulai soal politik, mafia perikanan, hingga pasar gelap yang
mempengaruhi harga ikan.
Kedua, merujuk teori regulasi
(heterodoks)-nya Robert Boyer, pasar bukan hanya sebagai institusi ekonomi,
melainkan juga berperan sebagai institusi sosial dan politik. Simaklah dalam
tradisi relasi patronase antara juragan sebagai patron dan anak buah kapal
sebagai klien.
Memang
di berbagai daerah hubungan ini ada kecenderungan eksploitatif, tetapi relasi
patronase ini juga memproduksi hubungan sosial yang selaras dengan habitus
masyarakat pesisir yang tak bisa diabaikan.
Kebijakan
politik pembangunan kelautan dan perikanan mestinya memandang pola relasi
masyarakat di wilayah pesisir tak hanya sebatas ekonomi an sich,
melainkan sisi habitusnya perlu dipertimbangkan, karena telah menstruktur dalam
kehidupan masyarakat secara turun-temurun.
Ketiga, pendekatan heterodoks juga
mengharamkan teori neoklasik dalam pasar tenaga kerja yang merasionalisasikan
eksploitasi atas buruh oleh pemilik modal. Konsep industrialisasi kelautan dan
perikanan sejatinya akan berujung pada rasionalisasi pasar tenaga kerja yang
otomatis berujung pada eksploitasi atas buruh nelayan dan industri penangkapan hingga
pengolahan ikan.
Sejumlah
Saran Solusi
Lantas
bagaimana pendekatan heterodoks dalam pembangunan kelautan dan perikanan?
Pertama, kebijakan pembangunan kelautan dan
perikanan mestinya dibangun atas dasar realitas yang berkembang di masyarakat
pesisir dan kondisi geografi Indonesia (aliran regulasi), sehingga tak
menjadikan negara maju sebagai referensi pembangunannya.
Umpamanya,
kebijakan industrialisasi perikanan lebih berorientasi pada industri skala
menengah dan industri rumahan semacam industri ikan kayu, ikan asap, ikan
pindang, dan ikan asin yang berorientasi memenuhi konsumsi ikan domestik.
Seharusnya
tak perlu impor ikan karena memang hingga kini industri perikanan rakyat tak
mengeluhkan bahan baku. Itu hanya keluhan pejabat KKP dan intelektual yang
hanya beretorika di media publik.
Sumber
daya ikan Indonesia pun berbeda dengan Jepang di wilayah subtropis yang
keragamannya spesiesnya rendah ketimbang Indonesia di daerah tropik yang
keragamannya tinggi. Karena itu, konsep pengelolaan sumber daya dan
pengembangan ekonominya bersifat pluralis/majemuk.
Kedua, kebijakan pembangunan kelautan dan
perikanan mesti mengedepankan nilai-nilai lokal, agama, dan tradisi lokal,
terutama dalam pengelolaan sumber daya. Lee (2003) menyatakan kesuksesan Jepang
dalam pembangunan ekonominya karena perwujudan nilai-nilai kebajikan (virtue)
yang terkandung dalam ajaran konfusianisme dan peran negara dalam pembangunan.
Nilai-nilai
yang diangkat antara lain kedermawanan, kepatuhan terhadap otoritas patriarkis
(semangat kekeluargaan), nepotisme, otoriter, kesadaran nasional, semangat
komunitas, kegairahan pendidikan, kerja keras, dan gaya hidup hemat.
Indonesia
belum tentu sukses jika mengadopsi nilai-nilai ala Jepang ini. Nilai-nilai yang
dikembangkan seharusnya nilai-nilai ke-Indonesiaan, seperti gotong royong,
semangat kekeluargaan, relasi patron client egaliter berbasis agama
(Lutfi, 2010), hingga kesadaran nasionalisme ekonomi. Bila hal ini berkembang,
kebijakan industrialisasi berbasis impor ikan mestinya harus dibuang jauh-jauh.
Ketiga, mendayagunakan UKMK dan LSM
lokal/nasional sebagai fasilitator dan katalisator pembangunan ekonomi kelautan
dan perikanan. Pemerintah tak perlu menganggap LSM sebagai ”musuh” karena kerap
kali mengkritik pemerintah. Mestinya, LSM sebagai mitra kritis pemerintah dalam
mensukseskan kebijakan pembangunan kelautan dan perikanan.
Keempat, pemerintah tak bisa berpangku tangan
membiarkan mekanisme pasar bekerja secara bebas (liberalisasi) dalam
industrialisasi perikanan. Kebijakan KKP hendak mengimpor ikan dengan alasan
kekurangan bahan baku, bukti KKP berkiblat pada mekanisme pasar bebas.
Negara
melepaskan tanggung jawabnya sebagai vektor penentu arah dalam kebijakan
pembangunan dengan membiarkan impor. Siapa yang dikorbankan?Otomatis usaha
perikanan tangkap domestik dan perikanan rakyat yang berupa industri rumahan
dan keluarga.
Bahkan,
nelayan-nelayan penangkap ikan akan pengangguran karena pasti harga ikan impor
lebih murah ketimbang harga ikan domestik. Pasalnya, biaya proses penangkapan
ikan amat mahal akibat pemerintah tak memberikan perlindungan dan subsidi BBM.
Sejatinya,
negara berperan sebagai instruktur terhadap pasar dan mengatur ekonomi yang
mendasar, khususnya industri perikanan rakyat di daerah. Bukan sebaliknya,
pasar yang menjadi instruktur negara dan mengorbankan rakyat kecil, khususnya
nelayan tradisional dan pengolah ikan industri rumahan.
Dengan
pendekatan heterodoks ini akan mereposisikan pembangunan kelautan dan perikanan
sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar