LAPORAN AKHIR TAHUN 2011 INTERNASIONAL
Dari
Tunisia ke Mesir
Sumber : KOMPAS, 19 Desember
2011
Siang itu, 23 Januari 2011, Kompas
menginjakkan kaki di Bandar Udara Internasional Carthage di Tunisia.
Sebuah negeri Arab yang kira-kira baru
sepekan sebelumnya gerakan aksi unjuk rasa rakyatnya berhasil menumbangkan
salah satu rezim diktator di dunia Arab, yaitu Presiden Zine al-Abidine Ben
Ali. Tunisia, negara Arab kecil di Afrika Utara dengan penduduk hanya sekitar
10 juta jiwa, di luar dugaan menggores sejarah besar. Dari sanalah mata rantai
aksi unjuk rasa rakyat Arab, yang kemudian dikenal dengan sebutan ”musim semi
Arab”, terangkai dan segera ibarat sambung-menyambung dari Tunisia ke Mesir,
lalu Libya, Yaman, dan Suriah.
Satu per satu pemimpin Arab yang memiliki
nama besar bertumbangan: Presiden Tunisia Ben Ali, Presiden Mesir Hosni
Mubarak, pemimpin Libya, Moammar Khadafy, dan Presiden Yaman Ali Abdullah
Saleh. Presiden Suriah Bashar al-Assad hanya menunggu waktu. Sebagian negara
Arab monarki, seperti Maroko dan Bahrain, juga tak luput dari terjangan angin
musim semi Arab itu. Raja Maroko Mohammed VI terpaksa melakukan amandemen
konstitusi yang memberi kekuasaan lebih besar ke pemerintah sipil.
Musim semi Arab itu tak hanya mengubah
kepemimpinan di sejumlah negara Arab saat ini, tetapi juga menggeser pola
hubungan dan persepsi Barat terhadap dunia Arab. Dunia Barat, yang semula penuh
prasangka terhadap kekuatan politik islamis, kini mulai bersedia berkomunikasi
dengan berbagai kekuatan politik islamis di dunia Arab. Barat menyambut baik
pula hasil pemilu pascarevolusi di Tunisia, Maroko, dan Mesir yang dimenangi
kubu islamis.
Kajian bersama Kementerian Luar Negeri AS,
Komisi Hubungan Luar Negeri Kongres, dan Dewan Keamanan Nasional AS pada Juli
lalu menegaskan, kemaslahatan AS adalah membuka dialog dengan kubu islamis di
dunia Arab, khususnya Ikhwanul Muslimin di Mesir, seiring dengan gelombang
revolusi saat ini.
Penasihat presiden AS urusan teroris, Bruce
Riedel, kepada harian terbesar Mesir, Al Ahram, juga menegaskan, tak mungkin AS
kini mengabaikan Ikhwanul. Berbagai kajian Barat menyimpulkan, musim semi Arab
yang berhasil menumbangkan sejumlah rezim nasionalis diktator tak lebih dari
semacam peralihan kekuasaan di dunia Arab dari kubu nasionalis sekuler yang
berbaju militer ke gerakan Islam politik. Musim semi Arab yang menggegerkan
dunia itu dipicu sebuah peristiwa kecil yang sangat bernuansa lokal, yaitu
kasus pedagang asongan Mohamed Bouazizi yang bunuh diri dengan membakar diri,
17 Desember 2010, di Provinsi Sidi Bouzid (265 km arah selatan kota Tunis).
Bouazizi nekat bunuh diri ketika polisi
menyita dagangannya berupa buah-buahan dan sayur-sayuran yang menjadi
satu-satunya gantungan hidupnya. Kasus itu tampak sederhana di permukaan,
tetapi hakikatnya mengusung pesan permasalahan inti dunia Arab, yaitu sebuah
fenomena penindasan rakyat kecil oleh rezim tirani. Kasus itu pun langsung
menggerakkan hati nurani rakyat untuk segera bangkit melawan rezim, tidak hanya
di seantero Tunisia, tetapi cepat menjalar ke negara-negara Arab lain.
Rakyat Tunisia ternyata berhasil merontokkan
rezim Ben Ali dalam tempo kurang dari sebulan atau persisnya 28 hari dari
peristiwa bunuh diri itu. Jalan Habib Bourguiba di jantung kota Tunis segera
pula menjadi saksi rakyat Tunisia bebas berteriak, mengeluarkan pendapat, dan
bahkan mencaci maki pemerintah. Rakyat Tunisia seperti keluar dari penjara.
Menginspirasi
Mesir
Belum lagi rakyat Tunisia selesai menikmati
euforia kebebasan yang baru mereka peroleh, rakyat Mesir segera seperti
terinspirasi rakyat Tunisia. Mereka langsung bangkit pula melawan rezim
otoriter Mubarak yang dimulai 25 Januari 2011. Gerakan itu kemudian dikenal
dengan revolusi 25 Januari. Ketika tiba di Kairo dari Tunisia, 28 Januari 2011,
Kompas langsung melihat pemandangan sangat mengejutkan di Alun-alun Tahrir di
jantung kota Kairo. Alun-alun ini berubah jadi mimbar bebas bagi rakyat Mesir,
tak ubahnya Jalan Habib Bourguiba di Tunis.
Asumsi yang segera terpetik dalam benak,
rezim Mubarak secara de facto sudah jatuh dan kejatuhannya secara resmi tinggal
menunggu waktu. Para pemuda Mesir saat itu sudah menguasai kota Kairo,
khususnya Alun-alun Tahrir. Mubarak pun mulai merasa terjepit dan kehilangan
kendali. Ia lalu meminta bantuan militer mengembalikan keamanan. Namun, militer
secara mengejutkan akhirnya juga memihak rakyat melalui pernyataan-pernyataan
pers yang menyatakan memahami tuntutan rakyat saat itu.
Rezim Mubarak tampak makin lunglai karena
telah kehilangan sandaran utamanya, yaitu militer. Akhirnya Wakil Presiden
Mesir Omar Sulaiman pada 11 Februari 2011 mengumumkan, Mubarak menyerahkan
kekuasaan kepada Dewan Agung Militer. Perjuangan para pemuda Mesir pun berhasil
menumbangkan rezim Mubarak dalam kurun waktu hanya 18 hari.
Hanya berselang beberapa hari dari kejatuhan
Mubarak, aksi gerakan menumbangkan pemimpin Libya, Moammar Khadafy, segera
dimulai pula. Gerakan anti-Khadafy bermula dari kota Benghazi, Libya timur, 15
Februari 2011. Berselang dua hari setelah itu, 17 Februari 2011, kota Benghazi
jatuh ke tangan kaum pemuda revolusioner Libya secara penuh. Ini kemudian
disebut revolusi 17 Februari.
Jatuhnya Benghazi ibarat kekuatan magnet yang
segera memengaruhi kota-kota lain di Libya. Satu per satu kota jatuh ke tangan
kaum pemuda revolusioner, seperti Tobruk, Derna, Ajdabiya, dan Bayda di Libya
timur. Menyusul kemudian kota-kota di Libya barat seperti Misrata, Zawiya, dan
kawasan gunung Nafusa yang dihuni mayoritas etnis Berber.
Revolusi Libya kemudian segera beralih dari
gerakan damai ke konflik bersenjata antara kaum revolusioner dan loyalis
Khadafy. Ini mendorong campur tangan NATO lewat resolusi Dewan Keamanan PBB No
1973 yang turun 17 Maret 2011. Resolusi ini menegaskan diterapkannya zona
larangan terbang di atas teritorial udara Libya untuk misi perlindungan warga
sipil. Campur tangan ini lambat laun mengubah perimbangan kekuatan militer di
Libya. Loyalis Khadafy yang semula di atas angin secara militer mulai terdesak
dan akhirnya kota Tripoli jatuh ke tangan pasukan oposisi, akhir Agustus.
Puncak keberhasilan revolusi Libya adalah tatkala mereka berhasil menangkap
Khadafy di Sirte, akhir Oktober lalu, dan lalu membunuhnya.
Yaman
dan Suriah
Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh akhirnya
juga bersedia menandatangani proposal damai GCC (negara-negara Arab Teluk) di
Riyadh, Arab Saudi, akhir November, setelah mendapat tekanan gelombang
rakyatnya dan masyarakat internasional. Proposal damai itu menegaskan, Abdullah
Saleh harus menyerahkan kekuasaan kepada wakil presiden.
Adapun gelombang revolusi Suriah untuk
menumbangkan rezim Bashar al-Assad dimulai dari Masjid Umawi, pusat kota
Damaskus, 15 Maret 2011. Saat itu, ratusan pengunjuk rasa keluar dari masjid
bersejarah ini dengan berteriak-teriak menuntut kebebasan. Pada jejaring sosial
Facebook milik aktivis Suriah yang beredar tertulis status ”revolusi Suriah
melawan rezim Bashar Assad tahun 2011”. Para aktivis mengklaim memiliki 40.000
anggota dalam jejaring sosial itu. Gerakan anti-Assad juga cepat menjalar ke
kota lain, seperti Daraa, Hama, Homs, Latikia, Aleppo, dan wilayah pedesaan di
Suriah. Revolusi Suriah hingga kini terus berlanjut dan bahkan semakin
berdarah. ● (Musthafa
Abd Rahman)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar