Samad
dan Megakorupsi Mesuji
Effnu Subiyanto, MAHASISWA
PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI FEB
UNIVERSITAS AIRLANGGA
Sumber
: KORAN
TEMPO, 21
Desember 2011
Abraham Samad
akhirnya resmi dilantik secara formal pada 16 Desember
2011 di Istana
Negara oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebagai
Ketua KPK yang
baru periode 2011-2015. Janji Abraham Samad pada saat fit and proper test yang
pasti diingat publik dan disambut antusias adalah soal komitmennya untuk
menuntaskan kemelut Bank Century. Sudah dua tahun kasus ini hanya menjadi rumor
sejak pembentukan Pansus Hak Angket Bank Century pada 4 Desember 2009. Sejauh
ini tersangka yang berhasil dihadapkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
tidak sesuai dengan harapan. Sejak Menteri Keuangan Sri Mulyani “dimutasi” ke
Bank Dunia, kasus ini juga lenyap tidak berbekas.
Samad juga
menjanjikan penyelesaian tidak tebang pilih megakasus patgulipat
BLBI, dugaan
korupsi dana haji, serta kemelut korupsi Nazaruddin dan Nunun,
dalam waktu
setahun. Jika itu tidak bisa diselesaikan, ayam jantan dari timur
yang masih
berusia 45 tahun ini akan mengundurkan diri tanpa diminta.
Bagian
menariknya, setelah dilantik, Samad akan menyelesaikan secara utuh
dalam setahun
pertama kepemimpinannya, kasus-kasus kategori grand corruption. Persoalannya
mana yang termasuk dalam perspektif grand corruption? Apakah yang
merugikan negara dengan nilai tertentu, misalnya di bawah Rp 100 miliar, belum
dikategorikan grand corruption? Bagaimana jika, misalnya, merugikan
negara dalam skala kecil namun dilakukan secara berjemaah dan sistematis
seperti cek pelawat, mafia anggaran, Wisma Atlet, apakah disebut juga grand
corruption?
Di sektor
korporasi, apakah kasus Freeport, Newmont, RIM, Lapindo dan atau yang lagi
menjadi panas, duo Mesuji, bisa dikategorikan grand corruption? Hal-hal
seperti ini patut dicermati oleh Samad, karena bukan tidak mungkin rakyat akan
mempertanyakannya bahkan sejak sekarang.
Kalau menurut
literatur, definisi grand corruption sebenarnya bukan didasarkan pada
pertimbangan jumlah, melainkan pada pelakunya. Charles Kenny dan Tina Soreide
(2008), peneliti Bank Dunia, menyebutkan bahwa pelaku grand corruption adalah
high rank di birokrasi atau politikus. Para high rank ini
termasuk pejabat publik dan pejabat korporasi. Dengan demikian, jelaslah apa
yang harus
diprioritaskan Samad.
Korupsi Korporasi
Baru-baru ini
publik Indonesia dikejutkan oleh kejahatan korporasi di Sumatera Selatan dan
Lampung. Kebetulan masing-masing bernama Mesuji, sama-sama berurusan dengan perusahaan
kelapa sawit asal Malaysia, dan sama-sama jatuh korban tewas. Tujuh orang tewas
di Mesuji Sumatera Selatan dan seorang tewas di Mesuji Lampung. Rumornya,
jumlah korban itu sebenarnya mencapai 30-an orang yang tewas dibantai.
Ada dua
perspektif kejahatan yang harus secara fair diselesaikan, kejahatan sosial
atas korporasi atau kejahatan korporasi atas sosial. Faktanya, di Sumatera
Selatan, rakyat
melakukan penyerangan terhadap korporasi PT SWA, sehingga
mengakibatkan
lima pekerja PT SWA tewas. Konflik selanjutnya, karena alasan
membela diri,
dua orang rakyat Mesuji Sumatera Selatan juga tewas.
Sementara ini,
di berbagai media massa, analisis yang berkembang selalu mendiskreditkan
korporasi tanpa memahami duduk persoalannya. Publik selalu
apriori terhadap
setiap langkah yang dilakukan korporasi. Karena itu, kendati
masyarakat
melakukan perusakan aset korporasi, pembunuhan, pembakaran,
sejauh ini hal
itu dibenarkan oleh opini publik. Ini sama halnya dengan situasi psikologis
polisi yang selalu salah. Ketika polisi melepaskan tembakan kepada demonstran
dan jatuh korban, yang dipersalahkan pertama kali adalah polisi.
Polisi sama
sekali tidak memiliki hak benar, kendati toh misalnya demonstran
itu melekatkan
bom berdaya ledak tinggi di tubuhnya yang potensial membunuh
puluhan
teman-temannya sendiri. Tindakan polisi dengan menembak seorang demonstran itu
masih saja salah. Dalam hal ini, polisi tidak diizinkan memiliki teori sistemik
seperti yang dibolehkan misalnya dalam kasus Century.
Masalahnya,
ruang gerak kebebasan operasional korporasi yang terbatas itu
kini menjadi
sasaran empuk pemilik kekuasaan di organisasi pemerintah. Secara legal,
korporasi harus mematuhi segala bentuk undang-undang, peraturan pemerintah,
keputusan menteri, sampai dengan perda-perda, di mana sering
terjadi banyak
sekali peraturan yang overlapping satu sama lain.
Variabel
lingkungan, misalnya, sudah diatur dalam Undang-Undang No. 23/1999 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, namun di sisi lain perda di daerah juga
menetapkan peraturan sendiri dan bervariasi. Apakah ada harmonisasi dan sinkronisasi?
Ketika ukurannya berbeda, maka penyelesaian di lapangan adalah
transaksi.
Apakah ini tak bisa disebut grand corruption?
Kasus duo Mesuji
bisa jadi adalah akumulasi keterbatasan investor, namun di sisi lain harus
berkompetisi di pasar terbuka yang demikian bebas yang akhirnya
dalam operasi
bergesekan dengan masyarakat. Bisakah secara grand design, korporasi duo
Mesuji disalahkan secara mutlak? Jangan-jangan duo Mesuji ini
justru korban
kebobrokan dari grand corruption birokrasi Indonesia.
Prioritas
KPK jilid ketiga
ini memikul harapan seluruh rakyat yang begitu besar, mengingat begitu korupnya
negeri ini. Seluruh elemen struktur organisasi negara ini sudah tercemar
korupsi yang amat dalam. Kini para koruptor itu tidak melakukan korupsi yang
kecil, melainkan korupsi kategori besar.
Para pegawai
negeri muda yang baru beberapa tahun bekerja, bahkan masih
berusia di bawah
30 tahun, ternyata memiliki rekening mencengangkan. Dengan pembuktian terbalik
paling sederhana terhadap pendapatan resminya, rekening gendut itu tidak akan
bisa didapatkan sampai pensiun sekalipun.
Tidak mengherankan
Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 2011 hanya berada pada urutan 100 dari
183 negara yang disurvei Transparency International. Skor kita hanya 3,0 atau
naik 0,2 dari IPK tahun lalu. Kedudukan kita setara dengan negara-negara miskin
seperti Argentina, Benin, Burkina Faso, Djibouti, Gabon, Madagaskar, Malawi,
Meksiko, Suriname, Tanzania, Sao Tome, dan Principe. Membayangkan menyamai bahkan
mendekati skor Brunei, Thailand, Malaysia, apalagi Singapura, sepertinya tidak
mungkin.
Samad tentu saja
harus cermat menentukan kriteria penyelesaian perkara, jika
tidak ingin
terjebak dalam pusaran kasus remeh-temeh yang menghabiskan energi. Kasus dengan
daya rusak besar terhadap struktur sosial dan potensial menulari kelompok
masyarakat lain harus diprioritaskan penanganannya. Pejabat yang tidak
memberikan teladan baik kepada rakyat harus dimasukkan dalam kategori grand
corruption.
Untuk warming-up,
kasus duo Mesuji bisa diujicobakan agar ditangani KPK. Ada kejahatan korporasi
skala besar di balik peristiwa Mesuji. Konflik ini memiliki perspektif grand
corruption.●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar