Kamis, 10 Oktober 2013

Usaha Kecil-Menengah dan Liberalisasi APEC

Usaha Kecil-Menengah dan Liberalisasi APEC
Aunur Rofiq  Ketua DPP PPP Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan;
Pebisnis Sektor Pertambangan dan Perkebunan
TEMPO.CO, 10 Oktober 2013


Berbagai kalangan banyak berharap pada hasil-hasil Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Negara-negara Asia-Pasifik (KTT APEC) di Nusa Dua, Bali. KTT APEC 2013, yang mengusung tema "Resilient Asia-Pacific, Engine of Global Growth", setidaknya membahas tiga prioritas.

Pertama, berfokus pada pencapaian Bogor Goals, yaitu perluasan perdagangan dan investasi serta reformasi struktural. Kedua, berfokus pada daya saing global sektor UKM, financial inclusion, ketahanan pangan, dan kesehatan. Dan ketiga, berfokus pada isu konektivitas fisik termasuk pengembangan dan investasi infrastruktur dan konektivitas kelautan atau blue economy.

Salah satu isu strategis yang bisa dimanfaatkan oleh perekonomian Indonesia melalui forum APEC ini adalah mendorong pengembangan usaha kecil-menengah (UKM). Ingar-bingar dan gemerlap penyelenggaraan KTT APEC diharapkan tidak hanya menumbuhkan rasa optimisme di kalangan pelaku ekonomi nasional. Optimisme juga harus menyangkut nasib UKM. Jangan sampai "si kecil" bakal tergilas derasnya arus liberalisasi perdagangan di Tanah Air.

Banyak negara anggota APEC juga berkepentingan terhadap industri UKM. Bagi Indonesia sendiri, ada empat agenda yang bisa dilakukan terkait dengan UKM, yakni meliputi wanita wirausaha (womenpreneur), akses permodalan dan perbankan, distribusi produk, serta pemasaran bersama yang terkait dengan ASEAN Economy Community. 

Bagi Indonesia, potensi dan peluang pengembangan industri kecil dan menengah sangat besar, karena berlimpahnya sumber daya alam dan adanya perubahan tatanan ekonomi dunia sehingga memberi ruang bagi UKM untuk meningkatkan ekspor, mutu, dan produk.

Jumlah pelaku usaha kecil-menengah Indonesia yang berhasil melakukan ekspor produk ke negara tetangga sekitar 7.300-7.600 UKM. Angka tersebut terhitung masih sangat minim dibandingkan dengan total UMKM di Indonesia, yang seluruhnya mencapai sekitar 56,5 juta. Kontribusi sektor UKM terhadap ekspor nasional sejak 1998 hingga 2012 rata-rata masih di bawah 20 persen. Padahal, menurut data Badan Pusat Statistik, dari seluruh pelaku usaha di Indonesia, sektor UKM sangat mendominasi (99,99 persen). 

Bandingkan dengan negara tetangga, Singapura, UKM negara itu rata-rata memiliki penjualan tahunan hingga Sin$ 100 juta atau karyawan hingga 200 orang. UKM mengkontribusi 99 persen pelaku usaha di Singapura, menyumbang lebih dari 50 persen output, dan 70 persen pekerja. Berdasarkan laporan Asian Development Bank berjudul "Asian Development Outlook 2013", dalam beberapa tahun terakhir kondisi Singapura menjadi sangat menantang bagi UKM.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa kualitas UKM kita berpotensi untuk terus bisa berkembang bersaing dengan negara tetangga. Ada beberapa masalah yang dialami sektor UKM kita, antara lain permodalan, kurang terampilnya tenaga kerja, sulitnya akses ke lembaga keuangan, minimnya penguasaan teknologi, serta kurangnya informasi serta akses terhadap pasar global. Memang ada beberapa UKM yang bisa menembus pasar global, tetapi posisinya sangat rentan karena kemampuan untuk berkompetisi masih minim. 

Jumlah UKM dan kontribusinya terhadap perekonomian diharapkan terus bertumbuh dan semakin meningkat seiring dengan besarnya potensi pasar dari negara-negara anggota APEC. Apalagi jika kualitas produk dalam negeri juga tak kalah bersaing dengan produk asing. Selain itu, pemerintah dalam forum APEC ini bisa memperjuangkan diplomasi perdagangan dengan negara Asia-Pasifik agar proses perizinan ekspor dapat lebih dipermudah termasuk dalam hal keringanan perpajakan.

Meski kontribusi UKM terhadap perekonomian masih kecil, ada sejumlah keunggulan, yakni usaha ekonomi kecil tidak banyak terpengaruh oleh gejolak (krisis) ekonomi, karena mereka tidak banyak bergantung pada komponen impor, tidak bergantung pada utang luar negeri, serta memiliki muatan lokal yang tinggi. 

Sektor UKM juga memiliki kemampuan dalam menyerap tenaga kerja. Dalam ukuran yang relatif, usaha mikro mampu menyerap banyak tenaga kerja meskipun secara absolut usaha skala besar mampu lebih banyak. Dalam realitas empiris, usaha mikro mampu menyerap sekitar 90 persen pasar tenaga kerja informal. Terutama menyerap tenaga kerja di daerah dan pedesaan. 

Ketika skala bisnis usaha UKM meningkat, hal tersebut tentu saja akan berdampak positif terhadap perekonomian negara seiring dengan membesarnya kontribusi UKM untuk produk domestik bruto. Dengan kondisi tersebut, usaha kecil dan menengah bisa menjadi pilar utama dan lokomotif pembangunan ekonomi nasional.

Sebagai informasi, selama 2011-2012 terjadi pertumbuhan UKM yang cukup menggembirakan, dari 55.206.444 unit menjadi 56.534.592 unit. Dari pertumbuhan tersebut, UKM telah mampu mengembangkan kesempatan kerja dari 101.722.548 pekerja pada 2011 menjadi 107.657.509 pekerja pada 2012.

Pemerintah harus bisa mendorong forum APEC ini, khususnya dalam sektor UKM, untuk bisa memperluas jaringan dan pasar, terutama berbagi pengalaman dan pelajaran untuk meningkatkan capacity building dan mencari sumber-sumber pendanaan, baik melalui G to G, B to B, maupun kerja sama pemerintah-swasta.

Pemerintah perlu mendorong sektor usaha kecil-menengah di daerah lebih berperan dalam penopang perekonomian nasional melalui peningkatan ekspor. Kontribusi UKM bagi penguatan ekonomi daerah sangat besar, sehingga perlu upaya penguatan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. 

Daerah memiliki keunggulan komoditas ekspor yang perlu mendapat dukungan pemerintah setempat melalui kebijakan yang ramah bisnis (business friendly), sehingga kontribusi pada perekonomian lebih kuat. Selain itu, dinamika ekonomi nasional sedang menurun, terindikasi dari defisit transaksi berjalan, hingga pelemahan nilai tukar rupiah. Pada kondisi itu, sektor UKM tahan banting sehingga diharapkan menjadi penopang perekonomian.

Di sisi lain, pengusaha kecil menengah terhambat minimnya dukungan pembiayaan dan akses terbatas kepada lembaga perbankan, padahal permodalan sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Sebagian besar pelaku UKM dinilai belum layak berbank (bankable), sehingga terganjal dalam akses pembiayaan untuk mengembangkan usaha. Karena itu, UKM perlu didorong untuk memiliki akses permodalan melalui lembaga pembiayaan non-bank, tidak terpaku pada perbankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar