|
PRESIDEN SBY
akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU tentang Mahkamah
Konstitusi sebagai respons atas tertangkapnya Ketua MK (non-aktif) Akil Mochtar
atas dugaan suap penanganan sengketa pilkada.
Terbitnya
Perppu tentang MK menghadirkan banyak pro dan kontra dari sejumlah pihak. Ada
yang setuju, ada yang tidak. Beberapa teori ketatanegaraan bisa dipakai untuk
melihat kondisi MK apakah berada dalam keadaan darurat atau tidak sehingga
memaksa diterbitkannya perppu. Namun, dengan sejumlah sengketa pilkada ataupun
pengujian UU yang sedang diproses MK yang tengah dalam keadaan ”sakit”, baik
dari sisi kelembagaan maupun kepercayaan, harus ada tindakan cepat dan tepat
untuk menyembuhkannya.
Kenapa harus
cepat? Karena setiap putusan MK punya dampak dan konsekuensi meluas. Jika
putusan MK di sebuah sengketa pilkada terlahir karena faktor suap, dampaknya
akan dirasakan seluruh masyarakat dalam ruang lingkup kabupaten/
kotamadya/provinsi tertentu. Dengan demikian, warga akan dipimpin seorang
kepala daerah yang lahir dari hasil korupsi.
Bahkan, tidak
hanya terkait sengketa pilkada, jika suap terjadi dalam ruang lingkup pengujian
UU, dampaknya akan dirasakan lebih luas lagi, yakni oleh seluruh masyarakat
Indonesia. Pasal-pasal yang dibatalkan atau dipertahankan karena pengaruh suap
tentu akan memengaruhi hidup hajat orang banyak. Pada titik inilah kondisi
keadaan memaksa bisa ditunjukkan sebagai musabab lahirnya perppu.
Dampak yang
luas, dan potensi permasalahan di depan mata sudah cukup menggambarkan urgensi
lahirnya perppu. Sebagai acuan adalah lahirnya Perppu No 4 Tahun 2008 tentang
Jaring Pengaman Sistem Keuangan tahun 2008. Apakah 2008 negara ini dilanda
krisis? jawabannya tidak. Oleh karena itu, diskursus seharusnya sudah bergeser
pada konteks substansi perppu untuk menakar apakah secara substansi perppu ini
sudah menjawab berbagai persoalan yang terjadi di MK. Tak hanya soal darurat
atau bukan karena hanya akan buang energi dan kian membuat MK kehilangan
legitimasi publik.
Akar
masalah
Berkaca pada
kasus yang menyeret Akil Mochtar, setidaknya ada tiga isu krusial di MK saat
ini. Apakah tiga persoalan ini sudah dijawab di perppu? Pertama, ramainya
politisi di MK. Salah satu dampak menguatnya parlemen (executive heavy) dan parpol pasca-amandemen UUD 1945 adalah
menyebarnya politisi di berbagai lembaga negara, tak terkecuali MK. Politisi
memang bukan ”makhluk tercela”, tetapi banyaknya politisi yang terjerat kasus
korupsi membuat kepercayaan publik hilang. Bahkan, masyarakat jadi apatis
karena maraknya politisi pragmatis.
Dengan kondisi
demikian, perppu ini memberikan limitasi seorang calon hakim MK harus sudah
”pensiun” dari partai setidaknya selama tujuh tahun sebelumnya. Seorang calon
hakim yang hanya berhenti sesaat sebelum menjadi hakim konstitusi patut
dicurigai membawa misi partai mereka ke dalam MK.
Putusan MK pun
akan kental aroma politik sehingga lama-kelamaan tiang pengawal konstitusi akan
lapuk oleh penghuninya sendiri. Batasan waktu ini adalah pilihan moderat karena
sesungguhnya tidak menjadikan seorang bekas politisi dalam daftar larangan menjadi
hakim.
Kedua, tidak
transparannya proses seleksi. Hal ini dapat dilihat dari terpilihnya Akil
Mochtar dan Patrialis Akbar menjadi hakim konstitusi. Akil terpilih untuk
periode kedua setelah yang bersangkutan setuju memperpanjang masa jabatan
sehingga DPR tidak melakukan proses seleksi kembali. Sementara Patrialis
”sekonyong-konyong” menjadi hakim konstitusi tanpa proses uji kelayakan dan
pembentukan tim seleksi sehingga akses masyarakat untuk memberikan masukan dan
catatan lenyap.
Perppu ini
kemudian mengatur pembentukan panel ahli yang akan melakukan uji kelayakan
hakim konstitusi. Panel ini berasal dari sejumlah unsur, yakni MA, DPR,
presiden, dan unsur luar yang dipilih Komisi Yudisial. Dengan adanya panel ini,
kekuasaan MA, DPR, dan presiden untuk memilih hakim konstitusi bisa dikontrol
dan diawasi.
Ketiga,
ketiadaan pengawasan. Sejak KY ”dilarang” mengawasi hakim konstitusi, praktis
lembaga ini menjadi tak terawasi. Gerak-gerik hakim menjadi leluasa. Ada yang
dengan mudah mengikuti hajatan partai tanpa sadar posisi mereka saat menjadi
hakim. Di sisi lain, ketiadaan instrumen pengawasan membuat hakim konstitusi
pun kebingungan jika mendapat laporan pelanggaran rekan sejawatnya. Tengok saja
pernyataan salah satu hakim konstitusi Maria Farida Indrati yang pernah
beberapa kali mendapatkan sms dan telepon soal Akil. Hakim Maria
justru menunjukkan sms tersebut kepada Mahfud MD, bahkan kepada Akil
sendiri. Hal ini menunjukkan memang selama ini tidak ada saluran untuk
melanjutkan dan memproses laporan masyarakat.
Pengawasan
Dengan
pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat permanen, setidaknya
bisa menjawab kekosongan pengawasan ini. Walaupun di satu sisi positif, lembaga
pengawasan tersebut ke depan harus hati-hati jangan sampai menjadi ”pelampiasan
sakit hati” bagi pihak yang kalah berperkara di MK. Dilihat secara jernih,
perppu tersebut sebenarnya sudah mencoba menyelesaikan beberapa persoalan di
MK. Tinggal saat ini komitmen politik DPR untuk menerima tawaran perbaikan di
dalam perppu tersebut.
Meskipun perppu
ini positif secara substansi, publik tentu tak akan lupa ihwal kesalahan presiden
dalam menetapkan Patrialis sebagai hakim konstitusi karena tanpa prosedur
transparan dan partisipatif. Barangkali melalui perppu ini, presiden sepertinya
tengah mencoba ”menebus dosa” kesalahan tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar