Rabu, 23 Oktober 2013

Pengebirian Demokrasi

Pengebirian Demokrasi
Saeful Millah  ;   Staf Pengajar IAIN Cirebon dpk Universitas Suryakancana (Unsur), 
Ketua ICMI Orda Cianjur
 
KORAN SINDO, 22 Oktober 2013


Meski tak pernah bakal sepi dari kontroversi karena akan dianggap sebagai upaya membangun politik dinasti, kemunculan para istri bupati atau wali kota untuk maju dan tampil dalam pertarungan politik guna menggantikan sekaligus melanjutkan kekuasaan suaminya tampaknya akan sulit dibendung. 

Di Jawa Barat saja, misalnya, setelah Anna Sophanah, istri Bupati Indramayu dan Atty Suharti, istri Wali Kota Cimahi, berhasil tampil menjadi kepala daerah melanjutkan kekuasaan suaminya, belum lama ini Uche Choeriah Suganda yang telah ditetapkan KPU Kabupaten Kuningan sebagai bupati terpilih yang akan menggantikan suaminya, Aang Hamid Suganda. Bukan hanya itu, sebelumnya juga kita mencatat keberhasilan Ade Uu Sukaesih yang terpilih akan menggantikan sekaligus melanjutkan kepemimpinan suaminya, Herman Sutrisno, sebagai Wali Kota Banjar. 

Sekadar untuk menyebut beberapa yang lainnya, dari Jawa Tengah juga kita mencatat nama Widya Kandi Susanti yang pada 2010 berhasil terpilih menjadi Bupati Kendal menggantikan suaminya, Hendry Boedoro. Sementara dari Yogyakarta, kita bisa mencatat nama Sri Suryawidati yang dalam waktu yang relatif bersamaan berhasil dilantik menggantikan posisi suaminya Idham Samawi sebagai Bupati Bantul. 

Hal yang sama juga terjadi di Jawa Timur. Haryanti Sutrisno berhasil menggantikan suaminya menjadi Bupati Kabupaten Ngawi. Pertanyaan yang kemudian muncul, sampai sejauh mana para istri bupati atau wali kota yang lainnya punya kans yang sama sekaligus bisa diterima sebagai sebuah tren dalam pemilihan pemimpin secara demokratis? 

Jawabannya singkat, tergantung cara dan besarnya modal yang dimilikinya. Bukan hanya modal materi, yang lebih penting lagi – meminjam istilahnya Francis Fukuyama (1995) – adalah modal sosial dalam bentuk trust atau ke-percayaan. Bukan semata kepercayaan dari parpol yang akan mengusungnya, yang lebih penting lagi adalah kepercayaan dari rakyat yang bakal memilihnya. 

Bisa diterima 

Dua kepercayaan itu akan tercipta manakala dalam dua periode kepemimpinan suaminya, seorang istri bupati atau wali kota berhasil memosisikan dirinya sebagai pendamping suami sekaligus pemimpin. Keberhasilan dalam memimpin beberapa organisasi sosial kemasyarakatan yang biasanya dipercayakan kepada istri bupati atau wali kota, terutama organisasi kemasyarakatan bernama Gerakan Pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga. Gerakan PKK adalah salah satu kuncinya. 

Bayangkan, organisasi plat merah yang banyak dihuni kaum ibu ini tidak saja memiliki struktur organisasi sampai tingkat kecamatan dan desa atau kelurahan, tetapi juga memiliki jaringan yang bisa menjangkau sampai dengan tingkat RW dan RT. Bukan rahasia lagi kalau yang namanya kader-kader posyandu yang ada di setiap RW itu, misalnya, adalah juga kader-kadernya PKK. 

Dengan penjelasan itu, saya ingin menegaskan bahwa faktor popularitas sekaligus kapabilitas seorang istri bupati atau wali kota yang ditunjukkan dengan kemampuannya dalam menggerakkan organisasi yang dipimpinnya adalah modal sosial paling utama yang akan banyak mendukung keberhasilan mereka bisa mewujudkan hasrat politiknya. 

Bukan kemampuan menggerakkan karena piawai bisa memanfaatkan kekuasaan suaminya, melainkan karena dia sendiri yang memang memiliki kapabilitas untuk menjadi seorang pemimpin, di samping tentunya punya kapasitas dan inte-gritasnya yang memadai. Dalam konteks itulah, banyaknya istri bupati atau wali kota yang maju dan berhasil menggantikan sekaligus melanjutkan kekuasaan suaminya, secara demokratis sesungguhnya tidak harus dipersoalkan. 

Bentuk pengebirian 

Modal sosial penting lain yang selama ini sering menjadi faktor penentu keberhasilan karier politik seorang istri bupati atau wali kota adalah kadar popularitas, di samping tentunya besarnya kekuasaan yang dimiliki sang suami terkait dengan kepemimpinannya sebagai seorang bupati atau wali kota. Di sini berlaku tesis sebagai berikut: semakin besar popularitas yang dimiliki sang suami dalam menjalankan kepemimpinannya, akan semakin besar pula pengaruhnya bagi sang istri untuk bisa membangun dan meningkatkan citra serta popularitas dirinya. 

Di sini kelemahan dan kekurangan yang dimiliki seorang istri bupati atau wali kota bisa terbungkus dan tersilaukan oleh kelebihan dan popularitas sang suami. Dalam konteks itulah permasalahan akan muncul ketika modal popularitas yang melekat kepada para istri bupati atau wali kota itu hanyalah dampak ikutan dari popularitas yang dimiliki para suaminya. Di sini pula autentisitas kepemimpinan dan kemampuan para istri bupati bisa dipertanyakan dan bahkan dipersoalkan. 

Bahkan, akan tambah berat dan bahaya ketika para istri bupati atau wali kota itu terpilih bukan karena memang didukung oleh kemampuan kepemimpinan yang dimilikinya, melainkan lebih karena pengaruh keberhasilan sang suami dalam memobilisasi kekuasaan yang dimilikinya, kira-kira persis seperti keberhasilan rezim Orde Baru yang pernah sukses melanggengkan kekuasaannya lebih dari tiga dekade. 

Saya katakan berbahaya karena dengan cara itu, demokrasi yang menurut Fukuyama (1992) disebut dengan “akhir sejarah” itu bisa kembali berubah bentuk menjadi semacam otorianisme baru, bahkan sentralisasi kekuasaan. Dengan cara itu pula, akan sulit bagi pihak lain untuk bisa memperoleh peluang yang sama seperti peluang yang dimiliki para istri bupati atau wali kota karena di situ – meminjam bahasanya sejarawan sekaligus pengamat politik Anhar Gonggong – tidak ada lagi sharing power dan distribusi kekuasaan yang sangat diniscayakan dalam proses demokrasi. 

Itu pula sebabnya, bisa dipahami kalau saat ini banyak pihak yang dengan tegas menolak praktik politik dinasti karena tegas-tegas akan meracuni kesehatan hidup berdemokrasi. Bahkan, banyak pakar politik yang menilainya sebagai proses pengebirian demokrasi. Wallahu a’lam bish-sawab.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar