Jumat, 18 Oktober 2013

Fenomena Garuda Muda

Fenomena Garuda Muda
A Zaini Bisri  ;  Wartawan Suara Merdeka
SUARA MERDEKA, 17 Oktober 2013


TIM Nasional Sepak Bola U-19 menjadi fenomena. Dari berbagai aspek, Evan Dimas Darmono dkk dinilai sebagai tim istimewa. Mereka adalah generasi emas sepak bola Indonesia. Penampilannya telah menggugah kesadaran nasional bangsa ini. Dari aspek teknis, hampir semua orang sependapat bahwa permainan mereka berbeda dari timnas yang lain. Perbedaan ini menimbulkan kebanggaan nasional serta prestasi juara Piala AFF dan lolos ke putaran final Piala AFC tahun depan di Myanmar.

Penjabaran teknis permainan mereka terwakili oleh simbol-simbol kelembagaan sebuah tim yang unggul (dream team): semangat, kuat, cepat, akurat, dan bermartabat. Simbol-simbol itu memenuhi persyaratan dasar dari setiap olahraga modern: speed and power. Timnas U-19 sudah melewati hampir seluruh ujian untuk menjadi tim masa depan. Stamina sudah diuji dalam final Piala AFF melawan Vietnam selama 120 menit. Kualitas teknis dan taktis sudah dibuktikan ketika mengalahkan raksasa sepak bola Asia, Korea Selatan, dalam penyisihan Grup G Piala AFC.

Pelatih Indra Sjafri mulai menjawab pertanyaan klasik, seberapa sulitkah mencari 11 pemain dari 130 juta lebih penduduk Indonesia yang mampu mengemban misi bangsa ini di ajang dunia? Dengan blusukan ke 49 kabupaten dan kota di seluruh penjuru Tanah Air, dia menghimpun 31 remaja berbakat dalam sebuah tim yang rancak.

Kultur Baru

Misi utama telah tercapai. Indonesia ternyata bisa! Ya, Indonesia telah menunjukkan cara bermain bola yang benar. Kultur baru ini mengubur mitos bahwa tim sepak bola kita sulit menang di ajang internasional karena pemain-pemain kita lemah mental, stamina payah, kerja sama kacau, gampang kehilangan bola, dan sulit mencetak gol.

Dari aspek kultural ini, Tim Garuda Muda telah mendorong transformasi mental bangsa. Sekarang publik di negeri ini bisa membandingkan dan mencemooh timnas senior yang masih belum bisa keluar dari hambatan mental inlander. Meski dimanipulasi dengan pemain naturalisasi atau dilatih di luar negeri, karakter permainan timnas senior belum berubah.

Indra Sjafri telah berhasil membentuk karakter Timnas U-19 dengan mengeksploitasi konsep ''nasionalisme kultural''. Pemain mendapat indoktrinasi tentang nilai-nilai warisan bangsa yang adiluhung, dipadu dengan doktrin teologis yang dianut kebanyakan pemain. Maka lahirlah semboyan-semboyan yang jadi spirit mental pemain, seperti ''siapa pun bisa dikalahkan kecuali Tuhan'' dan ''jangan biarkan bangsa ini diinjak-injak oleh bangsa asing''.

Perilaku dan ekspresi individual ataupun kolektif pemain juga sangat berbeda dari timnas-timnas sebelumnya. Mereka akan sujud setelah mencetak gol. Ini bukan semata-mata meniru selebrasi bintang-bintang muslim pada kompetisi bola Eropa, melainkan simbol perilaku yang rendah hati.

Dalam sejarah negeri ini, terdapat dialektika antara ''nasionalisme kultural'' dan ''nasionalisme politik''. Menurut sejarawan Taufik Abdullah (2001), pernah muncul episode dalam perjuangan kemerdekaan ketika ''nasionalisme politik'' yang bertolak dari visi membentuk masa depan bangsa yang modern berbalik ke ''nasionalisme kultural'' Jawa.

Namun, Tim Garuda Muda justru menciptakan ''nasionalisme politik'' dari ''nasionalisme kultural'' yang tersebar di seluruh penjuru Tanah Air. Karakter mereka menciptakan identitas nasional baru bagi negara dan bangsa Indonesia dari penampilan gemilang Zulfiandi (Aceh) hingga Yabes Roni Malaifani (NTT) dan Mariando (Papua).

Sentimen Nasional

Identitas nasional bukan masalah yang sederhana dalam dunia olahraga internasional. Lincoln Allison dalam artikel ''Sport and Nationalism'' (SAGE Publications, Handbook of Sport Studies, 2000) menulis, Stalin harus menyusun program nasional peningkatan prestasi olahraga Uni Soviet setelah Perang Dunia II agar identitas nasional Negeri Beruang Merah itu tetap bertahan.

Inggris adalah negara dengan persoalan identitas nasional di dunia olahraga yang paling rumit. Akibat konsep pemisahan antara ''bangsa'' (nation) dan ''negara'' (state), Inggris menggunakan identitas nasional yang berbeda dalam pertandingan olahraga antarnegara. Tim sepak bola nasional mereka terdiri atas Inggris (England), Wales, Skotlandia, dan Irlandia (Republik Irlandia ataupun Irlandia Utara).

Olahraga menjadi ajang perebutan kebanggaan nasional. Masyarakat Wales, seperti halnya India, menganggap rugby sebagai simbol identitas nasional mereka. Warga Skotlandia bersatu mendukung timnas sepak bola mereka dan menyanyikan lagu kebangsaan ''Flower of Scotland'', ekspresi dari kenangan perang agama dan politik anti-Inggris pada abad ke-17.

Perang agama pada masa silam mewarnai perbedaan tajam identitas nasional hingga ke tingkat klub olahraga di Inggris Raya. Republik Irlandia identik dengan Katolik, sedangkan Irlandia Utara didominasi penganut Protestan. Di tingkat klub, selalu terjadi pertarungan identitas agama antara Glasgow Celtic (Katolik) dan Glasgow Ranger (Protestan). Indonesia tidak menghadapi masalah rumit itu. Konsep negara-bangsa (nation-state) sudah menyatu. Hanya penjajahan yang lama menimbulkan mental rendah diri. Persoalan prestasi olahraga negeri ini kebanyakan bertolak dari kondisi mental tersebut.

Karena itu, sentimen nasional saja tidak cukup untuk memperbaiki identitas bangsa ini. Atribut dalam pertandingan internasional, seperti bendera, lagu kebangsaan, kostum, emblem, dan suporter sebagai sarana untuk mengekspresikan identitas kolektif bangsa, harus diimbangi dengan karakter timnas yang unggul. Itulah posisi yang sedang disandang Garuda Muda. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar