Rabu, 16 Oktober 2013

Dua Kubu Transparansi

Dua Kubu Transparansi
Mohamad Mova Al’Afghani Anggota dari Koalisi Keterbukaan Informasi Indonesia, PhD Ilmu Hukum dari Universitas Dundee, Inggris
REPUBLIKA, 28 September 2013


Hari Hak untuk Tahu Internasional (International Right to Know Day) akan dirayakan tanggal 28 September nanti. Mayoritas negara di dunia saat ini sudah memiliki Undang-Undang Kebebasan Memperoleh Informasi. Di Indonesia sendiri Undang-Undang Tentang Keterbukaan Informasi Publik sudah berlaku sejak 2010. 

Hampir semua pihak mendukung trans paransi. Institusi donor seperti Bank Dunia sudah sejak tahun 1991-- dalam dokumen yang membahas tentang tata kelola (governance)--memandang perlu adanya transparansi dan akses informasi publik terhadap pemerintahan. Tiga orang ekonom terkemuka, George Akerlof, Michael Spence, dan Joseph E Stiglitz, memenangkan nobel ekonomi pada 2001 atas karyanya mengenai informasi asimetris dalam pasar. 

Kalangan masyarakat sipil serta organisasi nonpemerintah juga sangat mendukung gerakan transparansi. Transparansi dan kebebasan informasi dianggap sebagai bagian dari hak asasi manusia dan dipercaya mutlak diperlukan dalam suatu negara demokratis. Transparansi juga dianggap diperlukan untuk membasmi korupsi. 

Menarik untuk diamati bahwa gerakan masyarakat sipil--yang biasanya kritis terhadap program-program "neo liberal" dari lembaga donor internasional--justru tampak selaras dan seiringan dalam isu transparansi. Apakah hal ini disebabkan karena adanya kesamaan agenda antara lembaga donor internasional dan aktivis masyarakat sipil lokal? Lebih penting lagi, apakah lembaga donor internasional seperti Bank Dunia memiliki ide dan visi yang sama dengan masyarakat sipil lokal perihal transparansi?

Sebenarnya, terdapat dua ide dasar yang sama sekali berbeda dalam gerakan transparansi. Ide yang pertama memandang transparansi dan akses informasi diperlukan agar pasar dapat bekerja secara baik. Contoh dari penjabaran ide ini adalah dalam regulasi perlindungan konsumen yang mewajibkan produsen atau penjual untuk mengungkapkan isi kandungan, spesifikasi, atau kondisi dari suatu produk. Tujuannya tidak lain agar konsumen (dengan asumsi mereka rasional) atau calon pembeli dapat memiliki informasi yang cukup. 

Contoh lain dari ide transparansi untuk pasar banyak ditemukan dalam peraturan lelang atau peraturan mengenai lowongan pekerjaan. Tujuan dari transparansi ini adalah agar setiap pihak yang ingin melamar pekerjaan atau mengikuti lelang dapat berkompetisi secara adil dengan mengondisikan aturan main yang rata dan sama bagi setiap orang. Dari contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa transparansi untuk pasar memiliki satu tujuan, yakni `efisiensi'. 

Berbeda dengan ide transparansi untuk pasar, ide transparansi untuk demokrasi menjadikan akses informasi sebagai hak dasar manusia yang wajib dipenuhi--terlepas dari pertimbangan efisiensi. Perbedaan ide dasar ini memiliki akibat praktis di lapangan. Karena efisiensi menjadi tujuan dari ide transparansi pasar, sejauh efisiensi itu sudah dicapai, transparansi tidak diperlukan.

Ide transparansi pasar juga tidak menyetujui transparansi apabila prosesnya mengakibatkan ketidakefisienan. Oleh karena itu, dalam banyak peraturan lelang dan pengadaan barang dan jasa di beberapa negara di dunia, kita menemukan adanya jaminan transparansi bagi peserta lelang, tapi tidak ditemukan jaminan transparansi perihal urgensi dan/atau konsekuensinya bagi masyarakat. Bahkan, dalam banyak kontrak pengadaan barang dan jasa ditemukan klausul-klausul kerahasiaan yang hanya boleh diketahui pemerintah dan kontraktor.
Klausul-klausul kerahasiaan juga banyak ditemukan dalam kontrak eksploitasi sumber daya alam, seperti kontrak konsesi air atau kontrak bagi hasil migas. Mereka yang menganut transparansi pasar menilai bahwa informasi seperti itu tidak perlu dibuka karena dapat berakibat pada ketidakefisienan dan gangguan pada iklim investasi. 

Sebaliknya, mereka yang menganut transparansi demokrasi berkeyakinan bahwa informasi tersebut perlu untuk dibuka sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada rakyat. Para penganut transparansi pasar juga menganggap perlunya perlindungan terhadap kerahasiaan perusahaan, rahasia dagang dan hak atas kekayaan intelektual lainnya. Sementara, pengikut transparansi demokrasi beranggapan bahwa perlindungan tersebut tidak diperlukan apabila membahayakan akuntabilitas publik. 

Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik 14/2008 (UU KIP) sebenarnya memberikan dua macam tes berjenjang untuk menguji apakah informasi dapat dibuka ke publik: uji konsekuensi kerugian dan uji kepentingan publik. Uji konsekuensi kerugian menilai apakah pembukaan informasi tersebut mengakibatkan kerugian tertentu. Apabila memang terdapat kerugian (misalnya kepada perusahaan, pemerintah, atau individu), maka tidak secara otomatis informasinya dinyatakan tertutup karena masih harus diuji di tahap kedua perihal apakah kepentingan publik menghen- daki informasi tersebut untuk dibuka.
Tidak terdapat solusi mudah ketika terjadi pertentangan nilai antara kedua kubu transparansi ini. Metodologi pembuktian biasanya akan cenderung berpihak kepada penganut transparansi pasar.
Bagaimanakah cara menilai bahwa suatu kepentingan itu "lebih besar"?
Cara yang umum diterima adalah dengan menjustifikasikannya secara ekonomi dan moneter. Dalam hal ini, penganut transparansi pasar sangat diuntungkan. Dengan mewajibkan perbandingan besar-kecilnya kepentingan akibat membuka dan menutup informasi, uji kepentingan publik dalam UU KIP memegang prinsip utilitarian. 

Dalam beberapa kasus keterbukaan informasi di Inggris, "kepentingan" dalam frasa "kepentingan publik" dapat ditafsirkan mencakup kepentingan atas persaingan usaha sedangkan "publik" dapat ditafsirkan mencakup para pemegang saham dan investor. Dalam hal ini, bukan mustahil bahwa di Indonesia iklim investasi, persaingan usaha, pertumbuhan ekonomi, penyerapan tenaga kerja, dan banyak hal lainnya yang terkait dengan berfungsinya pasar ditafsirkan sebagai "kepentingan publik" yang "lebih besar". 


Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa asal muasal gerakan transparansi didasarkan atas dua ide yang berbeda. Aktivis dan masyarakat sipil berkolaborasi dengan organisasi donor internasional dengan asumsi bahwa dua ide tersebut dapat berjalan seiringan. Asumsi ini tidak sepenuhnya benar karena dalam hal-hal tertentu pertentangan akan muncul. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar