Kamis, 05 September 2013

Transient

Transient
Rhenald Kasali  ;   Pendiri Rumah Perubahan
KORAN SINDO, 05 September 2013


Benarkah ada yang namanya sustainability? Pertanyaan itu muncul terus-menerus dalam pikiran saya. Rita Gunther Mcgrath (2013) pun mengingatkan dunia tentang berakhirnya keunggulan yang abadi. 

Maka, ia pun bergulat dalam teori baru yang ia sebut sebagai transient advantages (keunggulan sementara). Aneh kalau para ekonom dan penguasa Indonesia menyangkal bahwa saat-saat ini kita tengah bergumul dengan krisis, yang bisa menghancurkan impian kita menjadi negara kaya yang perekonomiannya kuat. Ibarat tahap prodromal, krisis ini mengirim sinyal-sinyal kecil, lalu menguat, batuk-batuk, baru kemudian gejala besarnya datang bila demam dan rasa sakit mulai dirasakan. 

Mungkin saat ini kita baru masuk angin, belum terasa sakitnya. Jadi ketika inflasi mendekati 10%, datang bersamaan dengan merosotnya nilai tukar rupiah, defisit neraca perdagangan dan melemahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), tentu saja pikiran kita terarah ada ancaman sustainability. Harap diingat, kita hidup dalam abad persaingan dengan ledakan penduduk yang memicu konsumsi besar-besaran yang menjadikan pangan dan energi sebagai barang rebutan. 

Harap dicatat pula, semakin hari semakin cerdas bangsa-bangsa menangani perekonomiannya. Bila pada tahun 1980 hanya ada 16 negara yang mampu mengatasi inflasi (di bawah 5%), maka pada 2006 ada 103 negara. Bangsa-bangsa yang perekonomiannya tumbuh dan mampu menyediakan kesejahteraan hingga ke pelosok perbatasannya adalah bangsa yang bergumul dengan sustainability. 

Supaya pertumbuhan ekonomi itu dapat dinikmati warga negaranya, bangsa-bangsa itu menggumuli banyak hal agar jangan sampai economic growth-nya digerogoti oleh inflasi. Uang boleh saja banyak dimiliki rakyatnya, sektor-sektor ekonomi bisa diberikan seluas-luasnya kepada rakyat, tetapi jangan sekali-kali memanjakan warga negara dengan uang mudah yang membuat bangsa menjadi malas bekerja keras. 

Demikian juga subsidi, bila diberikan tanpa kesiapan memacu produktivitas, dapat menjadi pemicu conspicuous consumption yang akibatnya justru memicu inflasi. Pada saat yang bersamaan, kita perlu sama-sama menyadari bahwa early democracy yang tidak diikuti kesadaran berpolitik yang benar, dapat memicu korupsi dan easy money yang justru menghambat produktivitas. Inflasi adalah mesin penghancur sustainability, tetapi akar masalah yang dihadapi setiap bangsa berbeda-beda. Obat inflasi tak lain adalah produktivitas, boleh punya uang banyak, asalkan didasarkan inovasi, kerja keras, dan menghasilkan output yang berkualitas. 

Keunggulan Transient 

Sekembalinya dari studi di Amerika Serikat pada tahun 1998, saya diajak bertemu oleh teman-teman yang dulu bekerja di Detroit. Saat itu mereka menunjukkan masa depan mobil buatan General Motors (GM) di Indonesia. Lewat kerja keras, GM mengambil alih mobil buatan Eropa: Opel. Dan menurut orang Amerika itu, Opel akan dijadikan bendera GM untuk penetrasi mereka di Asia. Maka itu, kita pernah mengenal Opel Blazer. Tetapi waktu berjalan saya tak mendengar lagi kejayaan Opel Blazer. 

Apalagi sparepartsnya mahal. Sejak itu perlahan-lahan Opel Blazer menghilang. Sewaktu saya tanya, mereka mengatakan, terjadi perubahan paradigma di antara level pemimpin di Detroit. Rekan saya mengatakan, atasannya yang mengibarkan bendera Opel kalah bertarung memperebutkan posisi puncak, dan sejak itu nasib Opel di Indonesia pun tak jelas. Ganti orang, ganti pemimpin, koki masak pindah restoran, ganti kekuasaan, ganti pemilik bisa membuat sebuah keunggulan beralih dalam sekejap. Suasana kerja berubah, aturan hukum berganti, anggaran berubah, rezeki pun ikut bergeser. 

Demikian pula kekacauan manajemen, lemahnya koordinasi, gagalnya melanjutkan inovasi, bisa membuat sebuah keunggulan berakhir dan berpindah ke tempat lain. Fenomena ini pernah diamati oleh Adrian Slywotzky (1996) sebagai value migration dan sekarang perlu diingatkan kembali agar kita membuka kembali fenomena ini. Keunggulan daya saing berkelanjutan yang dulu jadi pegangan para MBA kita mulai usang, berganti dengan transient advantages. 

Ketika kesadaran ini muncul dalam tataran mikro, penyangkalan justru terjadi dalam dataran makro di tingkat ekonomi yang mengakibatkan banyak orang terlena dan kesejahteraannya tergusur. Bagaimana tataran makro menyadari value shift dari transient advantages ini? Dua bulan lalu di Roma, Italia (16/6/2013) Direktur Jenderal Food Agricultural Organization, Graziano da Silva menyerahkan penghargaan kepada kita karena Indonesia dinilai berhasil mencapai target pertama Millennium Development Goals (MDGs) dalam mengentaskan masyarakat dari kelaparan dan kemiskinan serta mengatasi kekurangan gizi sebelum tahun 2015. 

Di tengah penyerahan itu Menko Perekonomian Hatta Rajasa yang mewakili Pemerintah Indonesia mengatakan, ”Indonesia memegang teguh komitmennya untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan, kelaparan dan meniadakan kekurangan gizi.” Saat itu kurs dolar Amerika di bawah Rp10.000 dan Indonesia dinilai banyak negara sebagai negara yang tengah berada dalam ”radar investasi dunia” yang membuat investor berebutan datang, baik lewat foreign direct investment maupun portofolio saham. Lantas bagaimana kalau pertanian gagal ditingkatkan sementara rupiah terus melemah? 

Transient Mindset 

Rita Gunther Mcgrath mengingatkan pentingnya para pemimpin membangun transient mindset (pola pikir perubahan, kefanaan). Saya kira kita perlu mengutip pendapatnya yang dijelaskan dalam sembilan poin bagan from-to. Dari asumsi keunggulan yang selama ini ada (existing) akan terus abadi, menjadi asumsi bahwa keunggulan itu kini berada dalam tekanan serius. Ini penting dipahami para elite yang masih percaya bahwa Indonesia adalah negara tambang dan pertanian yang kaya raya, gemah-ripah loh jinawi, yang harus berdaulat penuh. 

Kini ia berada dalam tekanan yang terbelenggu dalam berbagai persoalan. Dari percakapan pada perspektif lama ke perspektif baru yang diuji kebenarannya. Dari strategi yang dirumuskan oleh kelompok kecil yang homogen pada sebuah dialog yang mendengarkan perspektif baru yang lebih beragam dan lebih segar. Dari precise but slowke fast and roughly right. Dari orientasi meramal nasib dan membuat prediksi ke prilaku yang inovatif (discovery driven). Dari perangkap net present value kepada cara-cara baru yang lebih eksploratif (options oriented). 

Dari pencarian konfirmasi, kepada diskonfirmasi. Dari perilaku yang meng-entertain ke dalam kepada langkah-langkah agresif membuka peluang ke berbagai penjuru dunia. Dari constraint-based ke opportunity-based decision. Jadi dalam perspektif kefanaan, cara berpikir kita pun harus berubah. Kita mulai dulu dari mindset perubahan, bukan dari mencetak agen-agen perubahan yang mindset-nya masih terperangkap pada cara berpikir lama. 

Ketika birokrasi akan direformasikan, maka otaknya pun harus lebih dahulu diwarnai. Ketika perusahaan mencetak gagasan-gagasan baru, cara berpikir baru perlu dibentuk. Demikian juga negeri ini, sekolah-sekolah kita, universitas-universitas kita, yang dibentuk bukan hanya oleh peraturan, tapi juga oleh pikiran. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar