|
MINYAK dan gas bumi (migas) merupakan
salah satu sektor yang menjadi andalan pendapatan bagi negara untuk
pembangunan, paling tidak Rp294,8 triliun atau sebesar 19,3 % pendapatan negara
dalam APBN Tahun 2013 bersumber dari sektor migas. Artinya, begitu penting
sektor ini untuk menjamin keberlangsungan pembangunan di Indonesia. Untuk itu,
harus dijamin agar migas yang merupakan industri dengan karakteristik
tersendiri yang memerlukan teknologi, biaya, dan risiko yang tinggi berlangsung
kondusif.
Faktor teknologi, biaya, dan risiko yang tinggi menyebabkan
pemerintah Indonesia tidak dapat langsung mengelola sendiri kekayaan migas yang
ada di bumi Nusantara. De ngan begitu, diperlukan kerja sama dengan pihak
investor (nasional ataupun asing). Pelaksanaan kerja sama pengelolaan migas
antara pemerintah dan investor dilandasi melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun
2001 tentang Migas dan
Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang
Kegiatan Usaha Hulu Migas.
Ikatan kerja sama pengelolaan migas antara pemerintah
Indonesia yang diwakili oleh SKK Migas (dahulu BP Migas) dan investor
berdasarkan kese pakatan-kesepakatan yang dituangkan dalam sebuah kontrak yang
disebut dengan kontrak bagi hasil atau production
sharing contract (PSC). Keberadaan kontrak ini adalah untuk mengatur hak
dan kewajiban bagi pemerintah Indonesia dan investor yang bertindak sebagai
kontraktor serta untuk menjamin kepastian hukum bagi para pihak.
PSC sebagai kontrak bisnis pada umumnya berisi pengaturan
segala hal terkait dengan kerja sama pengelolaan migas. Di antaranya tentang
mekanisme operasional, bagi hasil, finansial, audit, dan penyelesaian sengketa
atau perselisihan pelbagai pihak. Dalam PSC juga diatur kewajiban kontraktor
untuk menyediakan dana dan teknologi untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
migas serta menanggung risiko bila terjadi kegagalan. Dengan kata lain, bila
terjadi kerugian karena tidak dapat memproduksi migas, pemerintah Indonesia
tidak mengganti biaya yang telah dikeluarkan pihak kontraktor.
Sebaliknya, bila telah berhasil memproduksi migas, kontraktor
berhak mendapatkan kembali biaya operasi yang telah dikeluarkan yang disebut
dengan cost recovery. Sesuai yang
diatur dalam PSC, cost recovery
adalah pengembalian biaya operasi yang meliputi biaya-biaya yang diperlukan
untuk eksploitasi dan produksi migas yang akan diperhitungkan dalam bentuk
natura (minyak) atas produksi minyak yang dihasilkannya.
Perdebatan tentang mekanisme cost recovery kerap disuarakan oleh berbagai pihak, baik yang pro
maupun yang kontra. Dalam beberapa waktu terakhir ini, cost recovery juga menjadi pokok bahasan yang menarik, bukan karena
pengaruhnya terhadap pendapatan atau pengeluaran migas bagi negara, tapi
terkait dengan kasus biore mediasi PT Chevron Paciļ¬ Indonesia yang merupakan
kontraktor migas di Riau. Kasus ini telah berlangsung cukup lama, dari awal
2012 hingga saat ini masih berlangsung. Pelaksanaan proyek bioremediasi Chevron
dianggap terdapat tindak pidana korupsi karena telah menyebabkan kerugian
negara dengan menggunakan mekanisme cost
recovery. Hal inilah yang memicu polemik dan perdebatan panjang di kalangan
industri migas.
Kita sepakat bahwa pemberantasan korupsi harus didukung,
tetapi dari kasus bioremediasi Chevron ini patut untuk menjadi perhatian, baik
dari sisi hukum dalam pengelolaan migas maupun dari sisi pengaruhnya bagi
industri migas. Dari sisi hukum, anggapan bahwa telah terjadi kerugian negara
karena cost recovery proyek
bioremediasi Chevron yang menyebabkan hal ini menjadi kasus pidana adalah
pandangan yang tidak tepat. Cost recovery
telah diatur dalam PSC. Pandangan yang mengira penggantian biaya operasi
dibayar tunai dan berasal dari APBN adalah sangat keliru. Dalam mekanisme
penggantian biaya operasi terdapat tiga proses yang saling terkait, yaitu (1)
proses pengambilan hak atas minyak mentah atau lifting, (2) proses pelaporan biaya aktual dan (3) proses
penyelesaian kelebihan/kekurangan pengambilan atau over/under lifting. Proses lifting dilakukan baik oleh pemerintah
maupun kontraktor dengan langsung mengambil minyak mentah bagiannya untuk
dimuat ke dalam tanker masing-masing.
Jika merujuk proses cost
recovery tersebut, meskipun kontraktor telah mendapatkan penggantian biaya
operasi, tetapi jumlahnya tidak sesuai atau seharusnya tidak dapat
dikategorikan sebagai biaya operasi, pemerintah masih dapat menarik kembali
jumlah selisih tersebut melalui mekanisme over/under
lifting settlement. Dengan demikian, jika terjadi dugaan penyimpangan
pelaksanaan operasi migas oleh kontraktor, biayanya tidak mendapatkan
penggantian oleh pemerintah. Jika biaya tersebut telah dibayarkan, pemerintah
masih dapat mengambil kembali biaya yang telah dibayarkan tersebut melalui
mekanisme over/under lifting settlement.
Jadi sebenarnya PSC telah mengatur dengan baik tentang hal tersebut sehingga
telah jelas bahwa tidak terjadi kerugian negara dalam konteks ini.
Berkaca pada kasus biore-mediasi Chevron, jika terdapat
permasalahan dalam pelaksanaannya, penyelesaiannya harus kembali membuka
pasalpasal dalam PSC. Sesuai asas hukum pacta
sunt servanda, yaitu kedudukan kontrak merupakan undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya, pihak pemerintah dan Chevron sudah selayaknyalah mengacu
kepada PSC. Akhir kata, mari kita terus mendukung pemberantasan korupsi, tetapi
tetap melindungi industri migas dengan menghormati kontrak kerja sama yang
telah ditandatangani bersama dengan kontraktor. Tanpa adanya kepastian hukum,
industri migas akan terganggu, investor akan menjauh dari Indonesia dan lifting/pendapatan negara akan berkurang
yang tentunya akan mengganggu pembangunan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar