|
Setelah hampir satu dekade ujian
nasional dilaksanakan, tidak ada bukti meyakinkan bahwa kualitas pendidikan
nasional meningkat.
Ujian nasional
(UN) telah menggerogoti otentisitas proses belajar, melucuti kinerja dan
menghancurkan moral guru, membuat pendidikan nasional sistematis hancur
pelan-pelan karena kultur nonedukatif telah menginvasi dan menghancur- kan
sendi pendidikan kita.
Akibatnya,
dalam setiap tes di tingkat internasional, siswa kita selalu berada di urutan
terbawah. Tak satu alasan pun memperta- hankan UN!
Ibarat tsunami
Konvensi UN
yang akan dilaksanakan pemerintah, jika diibaratkan, seperti tsunami di depan
rumah, tetapi Kemdikbud tak melihatnya! Akibatnya, han- cur tak terelakkan
karena kepongahan dan ketidaktahuan ini. Tepat kata Benjamin Franklin, ”The
only thing more expensive than education is ignorance”.
Ketidaktahuan
dan ketidaksadaran bahwa UN telah gagal total dari berbagai segi telah
meninggikan ongkos sosial, moral, dan psikologis yang harus ditanggung banyak
pemangku kepentingan pendidikan, seperti siswa, guru, dan orangtua. Ketika
dampak UN sistematis merusak dan menghancurkan sendi-sendi pendidikan kita,
Konvensi UN yang diadakan pemerintah hanya menjadi semacam pengingat bahwa
pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini adalah orang-orang yang tidak
memikirkan kualitas pendidikan bangsa ini di masa depan ketika mereka tetap
keras kepala dan bersikukuh mengadakan UN.
Era
standardisasi pendidikan sejatinya telah memasuki masa senja. Di banyak negara,
seperti Amerika Serikat, standardisasi pendidikan justru telah melahirkan
berbagai macam dampak merusak. Sebutlah skandal pencontekan yang dilakukan para
pendidik di sejumlah tempat, seperti Georgia dan Philadelphia.
Kasus di
Georgia dan Philadelphia, di mana terjadi kasus contek terstruktur dan
sistematis, sudah terjadi di Indonesia sejak awal pengadaan UN. Sambil
tersenyum kita bisa membayangkan bahwa guru-guru di AS justru belajar berbagai
macam metode mencontek dari kasus Indonesia. Kita kiblat dan
jagonya nyontek, apalagi yang sistematis!
Dari segi teori
pembelajaran, ujian standar memiliki prinsip yang bertolak belakang dengan
otentisitas pengalaman belajar yang melahirkan kreasi dan inovasi yang
dibutuhkan bangsa ini di masa depan. Finlandia, negara yang terkenal
berkualitas tinggi di bidang pendidikan, telah lama meninggalkan kebijakan yang
memaksa siswa melakukan ujian standar. Mereka hanya menjalankan satu ujian
standar yang dilakukan ketika siswa akan masuk universitas atau politeknik.
Mungkin dalam
Konvensi UN ada argumentasi seperti ini, ”Nah, di Finlandia, negara yang maju
pendidikannya saja ada ujian yang sifatnya high stakes? Mengapa Indonesia
tidak?”
Membandingkan
sistem ujian standar negara lain dengan yang dilakukan di Indonesia, apalagi
hanya menunjukkan bahwa di negara lain juga ada ujian standar, merupakan
argumentasi politis, berbau kekuasaan, arogan, dan keras kepala, serta tak
meli- hat inti persoalan evaluasi pendidikan di Indonesia. Membandingkan untuk
legitimasi inilah yang akan dilakukan Kemdikbud dalam Konvensi UN.
Di mana salahnya?
Pertama,
perbandingan bersifat tak adil jika hanya mengambil sebagian kebijakan.
Membandingkan sebuah kebijakan pendidikan tak akan berguna dan juga tak akan
efektif karena konteks dan latar tiap negara berbe- da. Kalau mau membandingkan
Indonesia dengan Finlandia, supaya adil, kita juga harus membandingkan budaya
pendidikan, sistem pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, sistem perekrutan
guru, penggajian, dan pengembangan profesional dan karier guru, serta
sarana-prasarana di sekolah Finlandia.
Kedua,
tampaknya, Konvensi UN hanya akan jadi alat menun- jukkan bahwa di negara lain
juga ada ujian standar. Karena itu, di Indonesia harus ada! Argumen ini sangat
lemah dan menunjuk- kan unsur kekuasaan dan arogansi karena UN bukanlah
persoalan ada atau tidak, melainkan ”ada”-nya itu untuk apa? Dan ”ada”-nya itu
sekarang ini telah terbukti tak meningkatkan kualitas pendidikan, malah
menghancurkan seluruh sendi pendidikan kita.
Banyak kajian
ilmiah dan data di lapangan menunjukkan bahwa UN yang bersifat menghakimi siswa
ini melahirkan banyak dampak merusak. Perbaikan UN selama ini tidak fundamental
dan hanya tambal sulam serta tidak menyangkut persoalan pokok.
Kritik bahwa UN
hanya terpusat dan ditentukan pemerintah sudah dijawab dengan pembagian 60
persen dan 40 persen porsi kewenangan negara dan sekolah. Hitung-hitungan ini
tidak menjawab persoalan utama, apakah kalkulasi ini berdampak bagi peningkatan
kualitas pendidikan? Di banyak sekolah, porsi 40 persen justru dipakai sebagai
sarana menggelembungkan nilai agar siswa sekolah bisa lulus UN. Kultur
manipulatif diwadahi melalui kebijakan kalkulasi porsi penilaian ini.
Persoalan utama
pendidikan kita adalah tidak adanya fokus pada makna pembelajaran otentik.
Inilah yang membuat kualitas pendidikan kita merosot. Pendidikan otentik tidak
muncul selama kebijakan UN diterapkan, apa pun bentuk, jenis, dan variasi yang
dilakukan. Karena itu, UN harus dihapuskan dulu. Ketika ujian yang sifatnya
nasional dihapuskan, orangtua, sekolah, dan guru akan bertanya, lalu ujian apa
yang dipakai untuk menilai kriteria kemajuan siswa dan sekolah?
Banyak kajian,
evaluasi, dan best practices terkait alternatif kebijakan ini.
Kemdikbud bisa mengundang para akademisi, praktisi, dan pemerhati pendidikan
membahas tema ini melalui Konvensi Setelah Penghapusan UN. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar