|
Indeks keramahan investasi
Jawa Barat menduduki peringkat pertama dengan nilai 9,33 (skala 1-10) di antara
seluruh provinsi di Indonesia, dengan angka pertumbuhan ekonomi per kapita 9,75
persen (www.kemitraan.or.id/igi). Persaingan investasi juga relatif sehat.
Sebab, Jawa Barat menjadi salah satu provinsi yang telah menerapkan seluruh
proses pengadaan barang dan jasa pemerintahnya secara elektronik (e-procurement).
Namun kenyataan ini berbanding terbalik dengan rasio angka tingkat kesenjangan pendapatan Jawa Barat yang masih tinggi, yakni 0,36. Lebih tinggi dibanding rasio gini Bangka Belitung (0,30), Maluku (0,33), dan Maluku Utara (0,34), yang nilai indeks keramahan investasinya berada di posisi sepuluh terendah.
Ironisnya, kendati berpredikat sebagai daerah paling ramah investasi dan pertumbuhan ekonominya melebihi rata-rata nasional, hal itu tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan publik. Fakta minimnya alokasi anggaran menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas pelayanan publik.
Faktanya, dari total APBD perubahan tahun 2011 (Rp 10,2 triliun), hanya 5,4 persen (Rp 557,852 miliar) dialokasikan untuk sektor pendidikan. Padahal, menurut kebijakan pusat, minimal 20 persen. Jika dirinci lebih detail, alokasi pendidikan per siswa dalam setahun hanya Rp 44.688. Angka tersebut didapat dari total anggaran pendidikan dikurangi biaya belanja pegawai (Rp 249,451 miliar), dibagi jumlah siswa wajib belajar sebanyak 7.471.331 anak (BPS 2011-2012), dan dibagi dengan indeks kemahalan.
Jumlah alokasi tersebut hanya mampu menyekolahkan anak usia sekolah (wajib belajar 9 tahun) laki-laki selama 8,20 tahun, dan anak perempuan 7,25 tahun. Ini menandakan bahwa tidak ada satu pun anak di Jawa Barat dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun dengan bantuan dana APBD Provinsi, padahal pendidikan adalah pintu masuk perbaikan kualitas pembangunan manusia. Angka tersebut juga menunjukkan bahwa anak perempuan lebih cepat putus sekolah dibanding laki-laki. Lucunya, anak-anak usia sekolah di Provinsi Banten, yang merupakan provinsi pemecahan dari Jawa Barat, nasibnya lebih baik, anak laki-laki memiliki usia sekolah 8,57 dan perempuan 7,46.
Sementara alokasi anggaran untuk penanganan kemiskinan hanya Rp 50.726 per penduduk miskin per tahun, jumlah alokasi tersebut hanya mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Jawa Barat sebesar 0,60 persen. Anggaran kesehatan provinsi hanya sebesar Rp 9.455 per kapita per tahun, dan merupakan jumlah terendah ke-3 di antara provinsi lain di Indonesia. Salah satu akibatnya adalah tingkat kelahiran dibantu tenaga medis (dokter dan bidan) di Provinsi Jawa Barat hanya 72,63 persen, jauh di bawah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI yang rata-ratanya 88 persen.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang dapat secara cepat meningkatkan kualitas pelayanan publik di Jawa Barat? Tugas pokok seorang pemimpin adalah memanfaatkan kekuasaan dan kekuatannya untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, bukan sekadar memberi bantuan sosial, yang notabene dapat dilakukan oleh semua orang. Gubernur bersama DPRD memiliki kewenangan dalam hal membuat dan memutuskan kebijakan. Untuk itu, dia berhak menentukan besaran alokasi anggaran untuk sektor pelayanan publik yang menjadi kebutuhan masyarakat. Sedangkan birokrasi harus menjadi mesin yang mampu berjalan secara optimal untuk mendukung dan menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Ironisnya, arena pemerintah (gubernur dan DPRD), yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik secara cepat, justru menurut hasil penelitian 2012 kinerjanya menurun. Penyebabnya, dari enam prinsip yang diukur, nilai untuk prinsip akuntabilitas, transparansi, dan efektivitas menurun secara signifikan. Misalnya prinsip transparansi pemerintah, yang menurut hasil penelitian 2008 memperoleh nilai 8,40, menurun ke 5,68. Hal ini dipengaruhi oleh sulitnya akses terhadap dokumen publik (APBD, penggunaan dana aspirasi anggota DPRD provinsi), padahal akses terhadap dokumen tersebut dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Akibatnya, peringkat Jawa Barat terjun bebas dari 6 (PGI 2008) ke posisi 15 (IGI 2012), jauh tertinggal jika dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa, seperti DIY di posisi ke-1, Jawa Timur ke-2, DKI Jakarta ke-3, dan hanya lebih baik satu peringkat dari Jawa Tengah yang berposisi ke-16.
Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan kualitas pemerintahan (governance) di Jawa Barat menurun. Pertama, buruknya kualitas lingkungan, indeks kualitas lingkungan hidup Jawa Barat memperoleh nilai 4,00, hanya lebih baik daripada Bengkulu, Maluku Utara, dan Papua. Indikator penilaian kualitas lingkungan hidup adalah membandingkan indeks lingkungan hidup tahun 2011 dengan 2010 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Kedua, tingginya alokasi dana Bantuan Sosial (Bansos). Sebesar Rp 491,97 miliar dihabiskan untuk dana Bansos yang disalurkan melalui 5 SKPD (Disnakertrans, Dinkop, BPMD, Dinsos, dan Dinas Ketahanan Pangan) di luar dana bantuan bencana alam. Bandingkan dengan alokasi anggaran untuk penurunan angka kemiskinan Provinsi, yang hanya Rp 331 miliar. Ironisnya, dana sebesar itu dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) tidak ada pertanggungjawabannya. Alokasi Bansos Jawa Barat menjadi yang terbesar kedua di Indonesia, setelah Aceh. Ketiga, birokrasi biaya tinggi, seperti terlihat dari overhead sebesar 74 persen terhadap biaya program. Jika Jawa Barat adalah sebuah perusahaan, bisa jadi ia sudah bangkrut atau berada dalam kondisi runtuh (collapse) karena untuk menghasilkan produk senilai Rp 1.000, perusahaan harus mengeluarkan biaya ongkos produksi sebesar Rp 740.
Pada akhirnya, publik harus mengingatkan pemerintah bahwa sejatinya kesejahteraan masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan ekonomi, tapi juga kebebasan berpolitik dan ketersediaan akses terhadap pelayanan publik secara mudah dan murah. Jika keterlibatan masyarakat dalam hal mengawasi pemerintah sebagai bagian dari hak politik masih dibatasi, serta kualitas pelayanan publik masih rendah, pertanyaannya kemudian, untuk siapa pertumbuhan ekonomi dan investasi di Jawa Barat? ●
Namun kenyataan ini berbanding terbalik dengan rasio angka tingkat kesenjangan pendapatan Jawa Barat yang masih tinggi, yakni 0,36. Lebih tinggi dibanding rasio gini Bangka Belitung (0,30), Maluku (0,33), dan Maluku Utara (0,34), yang nilai indeks keramahan investasinya berada di posisi sepuluh terendah.
Ironisnya, kendati berpredikat sebagai daerah paling ramah investasi dan pertumbuhan ekonominya melebihi rata-rata nasional, hal itu tidak berbanding lurus dengan kualitas pelayanan publik. Fakta minimnya alokasi anggaran menjadi salah satu penyebab rendahnya kualitas pelayanan publik.
Faktanya, dari total APBD perubahan tahun 2011 (Rp 10,2 triliun), hanya 5,4 persen (Rp 557,852 miliar) dialokasikan untuk sektor pendidikan. Padahal, menurut kebijakan pusat, minimal 20 persen. Jika dirinci lebih detail, alokasi pendidikan per siswa dalam setahun hanya Rp 44.688. Angka tersebut didapat dari total anggaran pendidikan dikurangi biaya belanja pegawai (Rp 249,451 miliar), dibagi jumlah siswa wajib belajar sebanyak 7.471.331 anak (BPS 2011-2012), dan dibagi dengan indeks kemahalan.
Jumlah alokasi tersebut hanya mampu menyekolahkan anak usia sekolah (wajib belajar 9 tahun) laki-laki selama 8,20 tahun, dan anak perempuan 7,25 tahun. Ini menandakan bahwa tidak ada satu pun anak di Jawa Barat dapat memenuhi wajib belajar 9 tahun dengan bantuan dana APBD Provinsi, padahal pendidikan adalah pintu masuk perbaikan kualitas pembangunan manusia. Angka tersebut juga menunjukkan bahwa anak perempuan lebih cepat putus sekolah dibanding laki-laki. Lucunya, anak-anak usia sekolah di Provinsi Banten, yang merupakan provinsi pemecahan dari Jawa Barat, nasibnya lebih baik, anak laki-laki memiliki usia sekolah 8,57 dan perempuan 7,46.
Sementara alokasi anggaran untuk penanganan kemiskinan hanya Rp 50.726 per penduduk miskin per tahun, jumlah alokasi tersebut hanya mampu mengurangi tingkat kemiskinan di Jawa Barat sebesar 0,60 persen. Anggaran kesehatan provinsi hanya sebesar Rp 9.455 per kapita per tahun, dan merupakan jumlah terendah ke-3 di antara provinsi lain di Indonesia. Salah satu akibatnya adalah tingkat kelahiran dibantu tenaga medis (dokter dan bidan) di Provinsi Jawa Barat hanya 72,63 persen, jauh di bawah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DKI yang rata-ratanya 88 persen.
Pertanyaannya kemudian, siapa yang dapat secara cepat meningkatkan kualitas pelayanan publik di Jawa Barat? Tugas pokok seorang pemimpin adalah memanfaatkan kekuasaan dan kekuatannya untuk menjamin keadilan sosial bagi seluruh masyarakat, bukan sekadar memberi bantuan sosial, yang notabene dapat dilakukan oleh semua orang. Gubernur bersama DPRD memiliki kewenangan dalam hal membuat dan memutuskan kebijakan. Untuk itu, dia berhak menentukan besaran alokasi anggaran untuk sektor pelayanan publik yang menjadi kebutuhan masyarakat. Sedangkan birokrasi harus menjadi mesin yang mampu berjalan secara optimal untuk mendukung dan menjalankan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
Ironisnya, arena pemerintah (gubernur dan DPRD), yang diharapkan dapat memperbaiki kualitas pelayanan publik secara cepat, justru menurut hasil penelitian 2012 kinerjanya menurun. Penyebabnya, dari enam prinsip yang diukur, nilai untuk prinsip akuntabilitas, transparansi, dan efektivitas menurun secara signifikan. Misalnya prinsip transparansi pemerintah, yang menurut hasil penelitian 2008 memperoleh nilai 8,40, menurun ke 5,68. Hal ini dipengaruhi oleh sulitnya akses terhadap dokumen publik (APBD, penggunaan dana aspirasi anggota DPRD provinsi), padahal akses terhadap dokumen tersebut dijamin oleh Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Akibatnya, peringkat Jawa Barat terjun bebas dari 6 (PGI 2008) ke posisi 15 (IGI 2012), jauh tertinggal jika dibandingkan dengan provinsi lain di Jawa, seperti DIY di posisi ke-1, Jawa Timur ke-2, DKI Jakarta ke-3, dan hanya lebih baik satu peringkat dari Jawa Tengah yang berposisi ke-16.
Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan kualitas pemerintahan (governance) di Jawa Barat menurun. Pertama, buruknya kualitas lingkungan, indeks kualitas lingkungan hidup Jawa Barat memperoleh nilai 4,00, hanya lebih baik daripada Bengkulu, Maluku Utara, dan Papua. Indikator penilaian kualitas lingkungan hidup adalah membandingkan indeks lingkungan hidup tahun 2011 dengan 2010 yang dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup.
Kedua, tingginya alokasi dana Bantuan Sosial (Bansos). Sebesar Rp 491,97 miliar dihabiskan untuk dana Bansos yang disalurkan melalui 5 SKPD (Disnakertrans, Dinkop, BPMD, Dinsos, dan Dinas Ketahanan Pangan) di luar dana bantuan bencana alam. Bandingkan dengan alokasi anggaran untuk penurunan angka kemiskinan Provinsi, yang hanya Rp 331 miliar. Ironisnya, dana sebesar itu dalam Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) tidak ada pertanggungjawabannya. Alokasi Bansos Jawa Barat menjadi yang terbesar kedua di Indonesia, setelah Aceh. Ketiga, birokrasi biaya tinggi, seperti terlihat dari overhead sebesar 74 persen terhadap biaya program. Jika Jawa Barat adalah sebuah perusahaan, bisa jadi ia sudah bangkrut atau berada dalam kondisi runtuh (collapse) karena untuk menghasilkan produk senilai Rp 1.000, perusahaan harus mengeluarkan biaya ongkos produksi sebesar Rp 740.
Pada akhirnya, publik harus mengingatkan pemerintah bahwa sejatinya kesejahteraan masyarakat tidak hanya dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan ekonomi, tapi juga kebebasan berpolitik dan ketersediaan akses terhadap pelayanan publik secara mudah dan murah. Jika keterlibatan masyarakat dalam hal mengawasi pemerintah sebagai bagian dari hak politik masih dibatasi, serta kualitas pelayanan publik masih rendah, pertanyaannya kemudian, untuk siapa pertumbuhan ekonomi dan investasi di Jawa Barat? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar