|
Belum lama
ini, ayah saya yang sudah terserang stroke
beberapa tahun lalu, mengalami stroke lagi. Sebagaimana tradisi keluarga, saya
dan adik-adik beserta anggota keluarga lainnya berperan bahu-membahu.
Tentu ada berbagai hal yang bisa dikontribusikan ketika
seorang sanak keluarga sakit, mulai dari mengantar, menunggui, berkomunikasi
dengan dokter, membiayai tagihan rumah sakit, dan sebagainya.
Usia
ayah saya yang sudah 64 tahun, dengan “bekas” operasi tiroid yang pernah
dialaminya, bisa dikata berada dalam situasi yang butuh perhatian lebih,
apalagi selalu saja ada kemungkinan setengah badan ayah tidak akan lagi
berfungsi seperti sediakala. Jelaslah perhatian tulus menjadi salah satu obat
mujarab untuk menyemangatinya.
Diam-diam
saya memperhatikan bagaimana tiap individu berperan menghadapi peristiwa sakit
ayah kali ini. Ada namboru (istilah
dalam suku Batak untuk menyebut adik perempuan ayah) yang tiap hari bangun
subuh memasak nasi, sayur, dan lauk-pauk untuk dibawa ke rumah sakit, demi
memastikan mereka yang menunggui ayah, tetap terjaga kesehatannya karena makan
dengan baik.
Ada
pula namboru yang mengurus pakaian-pakaian kotor ayah. Ada adik yang menjadi
semacam koordinator, untuk terus memperbarui informasi kondisi ayah kepada
anggota keluarga. Ada yang mengurus askes ayah, administrasi, sampai jadwal
dokter yang padat luar biasa.
Tak
lama seorang sahabat mengirim pesan lewat ponsel saya. Setelah menyatakan
empati dan doa untuk ayah, kami sempat berbincang. Sahabat saya bilang, ayahnya
sudah tiga kali stroke dan sekarang cuma bisa berbaring di tempat tidur. Dia
juga bilang, “Limpahan kasih biasanya
menjadi semangat paling kuat.”
Saya
lalu ingat salah satu percakapan saya dengan suami. Waktu itu saya tertegun
membaca artikel di sebuah majalah yang mengangkat profil orang-orang
“inspiratif”—menurut majalah tersebut—yang telah “memiliki” penghasilan jutaan
dolar di usia kepala tiga.
Saya
tak habis pikir mengapa “memiliki” penghasilan besar menjadi indikator
inspiratif. Suami saya lalu bercerita tentang kenalannya yang melupakan orang
tuanya karena telah “memiliki” harta berlimpah.
Saya
jadi prihatin. Jangan-jangan benar, segala yang “besar”, “wah”, “bernilai uang”
tengah jadi hal yang mesti dikejar dan dimiliki orang-orang sekarang. “Memiliki” (to have) jauh lebih penting dibanding “menjadi” (to be). Ada
ibu yang mendukung anaknya bercita-cita jadi orang kaya. Ada juga ayah yang
mendorong anaknya menjadi pejabat atau dokter atau pengacara atau insinyur
supaya bisa kaya.
Betapa
melelahkannya hidup jika semata berorientasi “memiliki”. Begitu banyak hal yang
dianggap “kecil” dan “remeh”, sesungguhnya adalah esensi mengapa kita hidup.
Apalah
gunanya rumah besar tanpa keluarga yang saling mengasihi? Apa artinya pesta
megah tanpa kesetiaan dua sejoli pada janji perkawinan sebagai modal utama
mereka mengarungi seluk beluk dunia perkawinan?
Apa
makna ranjang mewah tanpa tidur nyenyak karena cemas satu hari akan diseret
aparat kejaksaan atau Komisi Pemberantasan Korupsi? Apa nilai status
beristri/bersuami pejabat, jika kehidupan rumah tangga tak lebih dari sinetron
menutupi fakta pasangan berselingkuh?
Apalah
artinya jika orientasi “memiliki” mematikan makna “menjadi”. Kita lupa
bagaimana “menjadi” pejabat yang mengabdi pada rakyat, anak yang mengasihi
orang tua, menantu yang mencintai mertua, orang tua/mertua yang mengayomi
anak/menantu, pemimpin agama yang mendengar dan menyebar damai substantif pada
umat, pemberi kerja yang memenuhi hak pekerja, dan sebagainya.
Dengan
orientasi “menjadi”, kita berfokus pada kemanusiaan dan mempertanyakan apa yang
bisa kita kontribusikan bagi kemanusiaan. Kita tahu misalnya, sebagian besar
rakyat menuntut jaminan sosial yang memastikan haknya dijamin oleh negara.
Kita
pedih menyaksikan ibu tak bisa membawa pulang bayinya karena tak mampu melunasi
biaya rumah sakit, buruh migran perempuan bertaruh hidup tanpa jaminan
perlindungan optimal, sementara segelintir orang terus menghisap kekayaan
negeri untuk kantung pribadi. Di mana kemanusiaan kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar