|
Tanggal 26 September lalu, kita dikejutkan oleh data yang
dikemukakan Komisi Pemilihan Umum bahwa ada sekitar 30 persen data pemilih yang
tidak tercatat. Dalam kasus ini, angka 30 persen itu sama dengan 65 juta orang.
Sulit rasanya untuk percaya bahwa hal seperti itu dapat terjadi.
Jika pendataan daftar pemilih tetap (DPT) dari pemilu-pemilu
sebelumnya betul, seharusnya hal seperti itu tidak boleh terjadi. Memang pemilu
berlangsung setiap lima tahun, dan dalam waktu lima tahun, ada sekian banyak
pemilih baru dan juga ada sekian pemilih yang meninggal dunia. Namun, sisanya,
sebagian besar tentunya, seharusnya tidak berubah. Bahkan, ada sebuah keluarga
dengan tiga anak, yang awalnya terdaftar sebagai penduduk suatu kelurahan,
tiba-tiba yang terdaftar hanya ayahnya saja. Istri dan tiga anaknya hilang dari
daftar.
Melihat ada kekacauan data seperti itu, pertanyaan yang
langsung muncul adalah, apakah DPT dari pemilu yang lalu tidak disimpan? Jika
tidak, lalu data itu dikemanakan. Timbul kecurigaan bahwa data itu sengaja
dikacaukan agar partai tertentu, dalam hal ini partai yang berkuasa, dapat mengambil
keuntungan dari kekacauan yang terjadi pada DPT.
Namun, kali ini, bukan hal itu yang dibahas. Kali ini, yang
dibahas adalah rendahnya kesadaran akan data, terutama data pribadi yang
sesungguhnya sangat penting. Data merupakan hal yang sering kali diabaikan di
negeri ini. Contohnya, dalam kehidupan sehari- sehari di sekeliling kita,
sangat mudah kita menemukan orang yang memiliki lebih dari satu kartu tanda
penduduk (KTP), sesuatu hal yang sesungguhnya tidak boleh terjadi.
Jika orang yang bersangkutan tertib atau taat pada peraturan,
seharusnya hal seperti itu tidak akan terjadi. Demikian juga dengan petugas
kelurahan, yang memberikan KTP. Jika petugas kelurahan itu taat pada peraturan,
tidak mungkin seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP.
Dasar dari pemberian KTP adalah kartu keluarga. Jika
seseorang memiliki kartu keluarga, barulah ia diberikan KTP. Namun, sering kali
terjadi, seseorang dapat memperoleh KTP dari suatu kelurahan tertentu, padahal
ia sudah tidak lagi tinggal di kelurahan tersebut. Dengan kata lain, ketika
seseorang, atas alasan apa pun, pindah rumah ke kelurahan lain, ia seharusnya
meminta surat pindah dari kelurahan tempatnya tinggal untuk mengurus kartu
keluarga baru di kelurahan tempatnya pindah. Setelah kartu keluarganya yang baru
selesai, ia pun memperoleh KTP baru dan KTP lamanya ditarik. Namun, yang
terjadi, orang itu tetap mempertahankan KTP lamanya walaupun ia sudah
memperoleh KTP baru. Dengan demikian, ia memiliki dua KTP. Ironisnya, ia dapat
memperpanjang KTP lamanya kendati ia sudah tak memiliki kartu keluarga lagi di
kelurahan itu.
Ketika kepadanya ditanyakan mengapa ia melakukan hal seperti
itu? Jawaban yang diberikan adalah, soalnya repot mengurus pergantian data yang
sudah tercatat di SIM (surat izin mengemudi), di STNK (surat tanda nomor
kendaraan), di rekening bank, dan masih banyak alasan lain yang dikemukakan
atas tindakannya itu. Padahal, persoalannya bukan pada repot atau tidak, tetapi
pada kenyataan bahwa ia sudah tidak tinggal di alamat yang lama lagi.
Ia tidak menyadari bahwa dengan melakukan tindakan seperti
itu, bukan tidak mungkin, ia akan tercatat sebagai penduduk di dua kelurahan,
bahkan di provinsi yang berbeda. Seandainya hal itu yang terjadi, jangan heran
jika terjadi kekacauan data pada DPT. Bukan itu saja, data sensus penduduk pun
akan kacau.
Seharusnya, begitu pindah, seseorang langsung mengubah semua
data pribadinya, baik itu KTP, SIM, STNK, di bank, ataupun di tempat-tempat
lainnya. Jika seseorang tertib, dengan sendirinya petugas kelurahan juga tidak
terdorong untuk melakukan tindakan yang melawan peraturan. Kepatuhan seperti
itu penting.
Nama pemilik lama
Hal yang juga lazim terjadi adalah, saat seseorang menjual
mobil, orang yang membeli mobil itu tetap mempertahankan nama pemilik lama
sebagai pemilik sah kendaraan itu. Dengan kata lain, ia tidak segera mengurus
surat pergantian nama pemilik kendaraan. Akibatnya, ketika mobil itu ditelusuri
berdasarkan pelat nomor polisinya, nama pemilik mobil yang lama muncul sebagai
pemiliknya yang sah.
Jika praktik seperti ini dibiarkan terus berlangsung, akan
sangat mengacaukan jika pemerintah memberlakukan ERP (electronic road pricing). Sebab, pemilik mobil yang lama yang akan
menerima tagihan yang seharusnya dibayar oleh pemilik mobilnya yang baru. Untunglah,
akhir-akhir ini, pemilik mobil lama akan langsung meminta pembeli mobilnya
untuk mengurus pergantian nama pemilik karena ia enggan terkena keharusan
membayar pajak progresif.
Bukan itu saja, kita juga tahu, sangat mudah bagi seseorang
mendapatkan KTP di Indonesia. Cukup memberikan sejumlah uang tertentu di
kelurahan, maka KTP akan diberikan. Bahkan, banyak imigran gelap yang memegang
KTP.
Ketika mengikuti program ”War
on Terrorism” di Amerika Serikat tahun 2003, Kompas sempat diberi
tahu bahwa Indonesia diberikan ”rapor
merah” untuk urusan kepemilikan kartu identitas. Itu sebabnya, orang-orang
yang memegang dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia (seperti
paspor) diberi perhatian khusus. Seharusnya kita malu dengan reputasi seperti
itu.
Sesungguhnya, masalah kepemilikan lebih dari satu KTP dapat
diatasi program e-KTP (KTP elektronik) berjalan dengan baik dan data
kependudukan terintegrasi secara nasional. Dengan terekamnya data seseorang
secara nasional, tidak mungkin baginya memperoleh lebih dari satu KTP.
Sayangnya, program e-KTP belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga
masih banyak orang yang memiliki lebih dari satu KTP. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar