|
“KITA telah
melafalkan hukum utama. Mari kita sekarang menerapkannya dalam hidup ini.“ Demikian ajakan Edwin Markham, yang ditujukan kepada
setiap pengemban amanat negara di jagat yuridis atau pilar-pilar yudisial
(peradilan) untuk menegakkan dan menyejarahkan produk hukum dalam kehidupan
kemasyarakatan dan kenegaraan.
Pengemban amanat yuridis (yudisial) seperti pilar-pilar KPK
merupakan kumpulan sosok manusia yang sudah pintar dan fasih melafalkan hukum,
tetapi belum tentu militan dalam mengimplementasikannya. Mereka ini bisa hafal
di luar kepala sejumlah pasal atau buku-buku tebal berisi ragam regulasi,
tetapi dalam ranah das sein belum tentu bernyali militan dan independen dalam
memperjuangkan penegakannya.
Para petinggi KPK itu sah-sah saja berjanji secepatnya akan
menggulung dan menahan siapa saja penjahat kerah putih yang merugikan negara
sebesar Rp6,7 triliun ini. Akan tetapi, saat betul-betul dihadapkan kepada
sekumpulan sosok elitis yang memproteksinya, boleh jadi mereka tiba-tiba tidak
fasih lagi sebagai penghafal norma yuridis atau mengidap virus kegagapan
instan.
Sebelum KPK berjanji akan melakukan ini, ekspektasi publik
terhadap terbongkarnya kasus Century sangat besar. Publik berkali-kali
mempertanyakan, seperti masih adakah komunitas elitis kita yang mengingat
Century sebagai salah satu kasus besar yang menyita perhatian dalam negeri dan
internasional? Akankah nasib Century menyusul BLBI yang juga tidak jelas
‘riwayatnya’? Tidak malukah kita yang secara konstitusional menyebut diri
berlabelisasi negara hukum, tetapi kasus sejenis ‘gajah di pelupuk mata’
(seperti Century) makin tidak kunjung jelas penanganannya?
Di awal munculnya kasus Century, ekspektasi publik terhadap
KPK sangat tinggi. Pasalnya, KPK merupakan ‘pilar istimewa yudisial’ yang
bertanggung jawab secara fundamental terhadap perjalanan kasus Century. Rakyat
Indonesia pun berkewajiban memotivasi militansi moral aparat penegak hukum
(KPK/ Komisi Pemberantasan Korupsi) supaya Century tidak sampai terkerangkeng
dalam ranah mati suri.
Dengan banyaknya kasus korupsi yang terus bersemai dan
memadati kantong pekerjaan rumah KPK, seperti kasus Gayus, Hambalang, korupsi
di kepolisian, di samping kasuskasus korupsi lainnya yang kelasnya di atas satu
miliar rupiah yang lebih menjadi kompetensi istimewa KPK, jelas bahwa KPK
seperti berada dalam lingkaran setan kasus korupsi.
Atmosfer publik sekarang yang kian diam dan cenderung
‘mati’ terhadap kasus Century seharusnya ditempatkan sebagai eksaminasi moral
pada KPK agar tidak diabaikan. KPK wajib mengingatkan dan mencerdaskan dirinya
supaya tidak membiarkan dan sekadar menempati ranah sebagai ‘kasus mengambang’ (floating case).
KPK wajib mengkritik dirinya secara radikal supaya tidak kecil
nyali dan tetap menjaga sikap militansi dan independensi kinerjanya dalam
menangani Century. Janji yang pernah berkali-kali diucapkan pimpinan KPK
sekarang, yang dengan tegas dan lantang mampu menyelesaikan kasus Century
(pernah berjanji bisa selesai pada 2012), benarbenar sedang ditunggu oleh
publik negeri ini.
Janji haruslah ditepati. Janji menuntaskan kasus besar,
sebesar apa pun kasus itu, merupakan ikrar yang wajib dipenuhi. Untuk memenuhi
janji ini, kinerja maksimal, tanpa kenal takut, dan berani melawan segala
bentuk intervensi yang bermaksud mematikan semangat juangnya adalah bagian dari
modal dan model kinerja yang bisa dituntaskannya. Masalahnya, benarkah KPK
memang masih bermilitansi tinggi guna menyelesaikan Century atau menyeret siapa
pun yang telah membuat `tidak jelasnya' penggunaan uang triliunan rupiah?
Pertanyaan itu hanya KPK sendiri yang bisa menjawabnya.
Niat, tekad, dan semangat menyelesaikannya ada di internal KPK. KPK sudah
menerima pekerjaan berat dari rakyat, bahwa kasus korupsi, siapa pun pelakunya
atau tersangkanya, harus ditangani. Siapa pun yang bermaksud menghalangi,
menginter vensi, atau mematahkan kinerjanya, wajib ditolak dan dikalahkannya.
Selama ini, dalam realitas di jagat hukum pertiwi ini,
manusia pintar yang hafal hukum, meski jumlahnya dari hari ke hari semakin
banyak, masih sulit diajak menerapkan dalam tugas dan kewenangannya. Terutama
saat hukum dihadapkan pada elemen penjahat berkategori pelaku extraordinary
crime seperti koruptor-yang koruptor ini mempunyai hubungan istimewa dengan
elemen kekuasaan mapan.
Tidak sedikit dari mereka itu yang berpendidikan tinggi dan
mengikuti berbagai pelatihan melawan koruptor dan pelatihan mengenai pemahaman
kode etik profesi, tetapi ternyata gagal mengedukasikan dirinya jadi
pemberantas. Namun sebaliknya, malah jadi objek yang diragukan komitmennya
dalam melakukan ‘bela negara’ dari
serangan koruptor.
Mereka itu bahkan sudah dibaiat untuk mendedikasikan
dirinya sebagai subjek terdepan dalam penanganan korupsi serta sudah dibayar
mahal oleh negara. Namun, akibat rumitnya ‘lingkaran setan’ megaskandal korupsi
yang harus ditanganinya, mereka terbaca oleh publik cenderung menerapkan
politik gradualitas dalam pemilihan dan pengalihan kasus korupsi.
Sejak semakin surutnya elemen KPK dalam menginformasikan
atau memberitakan perjalanan kasus Century, publik lantas membuat pemetaaan
yang antara lain menempatkan KPK sedang mengabaikan atau bahkan mematikan
sendiri ‘khitah’ moral historis yang mengikatnya. KPK dinilai oleh publik
sedang tergoda dalam memilih kasus yang dianggapnya lebih mudah dan cepat
ditangani dengan resiko kecil jika dibanding yang dianggapnya lebih mudah dan
cepat ditangani dengan resiko kecil jika di banding kan dengan harus menangani
perkara besar, seperti Century dengan risiko berlipat-lipat.
Secara yuridis KPK memang tidak sampai bersalah jika
menggunakan opsi manajemen pemilahan atau prioritas kasus. Pasalnya, KPK memang
mempunyai otoritas istimewa dalam menentukan kasus mana yang membutuhkan
penanganan secepatnya. Namun, ini tidak lantas membiarkan kasus Century tanpa
ada kabar beritanya ke publik. KPK mempunyai tanggung jawab pada publik.
Pasalnya, publik adalah pemegang hak kedaulatan memperoleh informasi atas
kinerjanya dalam penanganan kasus yang telah merugikan negara.
Begitu besarnya tanggung jawab yang diemban KPK membuat KPK
wajib diposisikan sebagai lembaga yang layak dikontrol secara terus menerus,
tidak boleh dibiarkan punya hak imunitas, atau dipraduga absolut sebagai
institusi paling bersih yang tidak mungkin ternoda atau tergoda oleh limbah
korupsi. Dalam kasus Century pun demikian, ketika KPK terbaca oleh publik
sedang ‘adem ayem’ dalam penanganan
kasus ini, wajib ada elemen rakyat, ormas, LSM, atau siapa pun orangnya yang
menyuarakan kritik keras kepadanya.
Sejarah telah memberi pelajaran besar kepada rakyat,
minimal sejak zaman Orde Baru, yakni bahwa lembaga-lembaga yang dibentuk oleh
pemerintah atau mendapatkan amanat untuk mengawasi kinerja birokrasi dan aparat
penegak hukum agar tak terjerumus dalam malversasi manajemen kasus, ternyata
tidak cukup tangguh dalam melakukan pengawasan akibat yang diawasinya pun telah
memberikan ‘investasi’ politik dan kekuasaan yang menguntungkan kepadanya. Ada
simbiosis mutualisme berskala eksklusif yang membuatnya tidak perlu sampai
‘berani mati’ dalam mempertaruhkan profesinya untuk dijadikan garansi penuntasan
kasus korupsi.
KPK pun merupakan lembaga yang ‘diberi hidup’ oleh negara
(pemerintah) sehingga publik berhak mencurigainya kalau elemen KPK bukanlah
malaikat yang tidak melakukan salah dan khilaf. Elemen KPK juga manusia yang
bisa saja kecil nyali ketika menghadapi kasus yang melibatkan banyak kekuatan
dahsyat dan bersindikasi fundamental.
Karena posisi KPK demikian itu, pengawasan atau kritik
radikal internal KPK ataupun publik dapat menjadi eksaminasi istimewa pada KPK
untuk kembali menghidupkan kinerjanya yang berintegritas moral tinggi. Century
hanya merupakan ‘sampel’ ujian bagi KPK, bahwa rakyat atau pencari keadilan di
negeri ini telah memberikan amanat mulia yang menempatkan KPK sebagai kumpulan
pejuang korupsi dan bukan komisi pengambangan (kasus) koruptor.
Apa yang dilakukan koruptor selama ini jelas bukan
disebabkan kesulitan ekonomi, tetapi dominan oleh keserakahan dalam
mengumpulkan pundi-pundi kekayaan sebanyakbanyaknya tanpa mempertimbangkan
dampaknya kepada rakyat dan negara. Di samping, di dalam dirinya, mengental
keyakinan bahwa elemen penegak hukum di negara ini lebih mudah dikalahkan dan
ditaklukkan serta diajaknya menjadi ‘mitra
istimewa’. Sikap koruptor demikian ini seharusnya dijadikan tantangan
terbuka atau ‘hinaan’ kepada KPK, yang hinaan atau tantangan ini bisa
dijawabnya dengan cara memaksimalkan kinerjanya dalam memberantas (membongkar)
korupsi atau meruntuhkan panji-panji kebesaran korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar