Senin, 30 September 2013

Saat Jalan Raya Jadi “Sekolah”

Saat Jalan Raya Jadi “Sekolah”
Fathur Rozi  ;  Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 30 September 2013



PENDIDIKAN lalu lintas kerap hanya diingat untuk kembali dilupakan. AQJ, putra musisi Ahmad Dhani, akhirnya pulang dari rumah sakit. Akan ditentukan apakah bocah 13 tahun itu kena vonis pidana karena menewaskan tujuh orang atau ada ''mukjizat'' sehingga dia tidak harus menjadi pesakitan di meja hijau. 

Kecelakaan lalu lintas (laka lantas) dengan korban atau pelaku pelajar sesungguhnya bukanlah problem hukum semata. Selain sanksi damai, tilang, atau vonis pidana, telah banyak hukuman diterapkan. Disuruh menghafalkan Pancasila atau dijemur sambil menghormat bendera. Toh, kasus laka lantas kian membubung. Penegakan hukum masih berorientasi pada penindakan. Belum benar-benar pada pencegahan agar tidak semakin banyak pelajar yang terlibat laka lantas. 

Tingginya laka lantas pelajar tetap menjadi keprihatinan saat peringatan Hari Korps Lalu Lintas pada 22 September. Pada Januari hingga Juni 2013, laka lantas yang melibatkan pelajar dan mahasiswa telah mencapai 200 ribu kasus. Dalam semester yang sama, tercatat 290 ribu atau lebih dari 1.600 pelajar per hari ditilang polisi. Kondisi tersebut bisa mengindikasikan begitu besarnya jumlah pelajar di jalanan sekaligus betapa banyaknya pelanggar. 

Dalam sebuah lomba debat tentang kelalulintasan di Polres Sidoarjo, Jawa Timur, ada peserta yang mengusulkan dispensasi persyaratan usia kepemilikan surat izin mengemudi (SIM). Mereka adalah pelajar SMP yang rata-rata masih berusia 13 tahun. Seusia AQJ. Siswa-siswi itu berharap ada SIM khusus pelajar. Batas usia kepemilikan SIM tidak perlu 17 tahun, tetapi cukup 13 tahun. Syaratnya pun bukan KTP, melainkan hanya kartu pelajar. 

Mereka beragumentasi, membawa motor sendiri meringankan beban orang tua. Biaya transpor irit. Mereka juga merasa telah mahir berkendara. Malahan, orang tua sendiri yang melatih. Sayangnya, mereka belum paham benar bahwa spirit syarat pemegang SIM sebenarnya bukan melulu soal keterampilan berkendara, tetapi juga kemampuan berlalu lintas serta kematangan psikis. 

Berlalu lintas menyangkut sikap disiplin, tertib, peduli, dan tanggung jawab. Berlalu lintas meliputi aspek hukum seperti mengetahui pasal-pasal tertentu dalam UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta memahami dan menaati rambu serta isyarat lampu lalu lintas sampai markah jalan. Kemudian, kematangan sikap sosial seperti memberikan kesempatan kepada penyeberang jalan dan tidak menyalahgunakan trotoar. Juga, aspek psikologis. Yaitu, mampu memberikan rasa aman dan nyaman bagi diri sendiri. Termasuk, kenyamanan orang lain seperti tidak main klakson atau gas serta tidak memotong jalan atau kebut-kebutan. 

Di jalanan, anak-anak berinteraksi dengan macam-macam karakter, usia, dan profesi. Jalan raya menjadi semacam laboratorium belajar. Semacam sekolah dengan para pengendara sebagai gurunya. Ketika sering melihat orang dewasa melanggar aturan lalu lintas, anak-anak berkesimpulan bahwa melanggar aturan itu adalah hal biasa. 

Apalagi, ketika di boncengan motor atau di dalam mobil, anak-anak menyaksikan sendiri ayah, ibu, atau kakak mereka melanggar lalu lintas. Lalu, lolos dari polisi lalu lintas dengan bangganya. Dalam teori belajar behaviorisme, peng­alaman yang menimbulkan efek senang akan cenderung diulangi. Jalanan adalah pembentuk karakter. Orang dewasa merupakan model terdekat. Anak-anak adalah imitator terbaik. 

Pada 2010, Kepolisian Republik Indonesia dan Kementerian Pendidikan Nasional telah menjalin kerja sama dalam MoU tentang pendidikan lalu lintas dalam pendidikan nasional. Pendidikan kelalulintasan bisa berintegrasi dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn). Bahkan, modul integrasi antara materi kelalulintasan dan PKn sudah terealisasi untuk jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs, maupun SMA/SMK/MA. Namun, masih sangat kecil sekolah-sekolah yang telah melaksanakannya. 

Sekolah-sekolah sebenarnya telah mendukung mulusnya pencapaian tersebut. Secara intrakurikuler, pendidikan kelalulintasan bisa terintegrasi dalam mata pelajaran. Bahkan bukan hanya PKn. Pendidikan kelalulintasan bisa menjadi pendidikan karakter yang termuat secara tematis-integratif de­ngan beragam mata pelajaran. Misalnya, penggunaan helm dihubungkan dengan anatomi tubuh dalam pelajaran biologi. Materi sains dan teknologi informasi disisipi bahaya berponsel ketika berkendara. Itu klop dengan bidikan Kurikulum 2013 yang menekankan pendidikan karakter. 

Memang pertambahan jumlah kendaraan sangat jomplang dengan penambahan kapasitas jalan. Kepemilikan kendaraan semakin mudah dan murah. Menyerahkan sepenuhnya kepada polisi lalu lintas? Terlalu berat. Seberapa pun polantas berguru ilmu traffic engineering, mereka tetap kewalahan jika pertumbuhan jumlah kendaraan tidak terkendali. 

Karena itu, perilaku pengendara wajib dipersiapkan sejak dini. Pendidikan kelalulintasan bisa menjadi salah satu kecakapan hidup (life skills) bagi gaya hidup (lifestyle) mereka. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar