|
Menjaga
rasa aman dan ketertiban masyarakat bukan terletak pada persoalan kemampuan
aparat kepolisian, melainkan terletak pada kemauan aparat kepolisian. Kemauan
aparat kepolisian sangat tergantung dari pimpinan satuan yang menyadari tugas
dasar kepolisian, mampu menjadi panutan, dan memiliki moralitas yang tinggi.
Hal itu diungkapkan Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal
Oegroseno tentang adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap kinerja pemerintah
dalam memberi rasa aman. Berikut petikan wawancaraKompas dengan Oegroseno,
Rabu (25/9).
Apakah polisi memang tidak mampu menjaga rasa aman?
Kalau ada penilaian masyarakat seperti itu, saya nilai wajar.
Masalahnya, bukan mampu atau tidak mampu, melainkan mau atau tidak mau. Jadi,
kita harus kembali ke dasar. Apa tujuan masuk polisi. Semua masyarakat yang
masuk polisi, entah dari tamtama, brigadir, Akademi Kepolisian, atau sarjana
yang masuk polisi, pasti sama, yaitu mengabdi kepada bangsa dan negara melalui
Polri. Itu harus diingat kembali.
Jadi, tergantung dari kita, mau atau tidak. Contoh dari diri
saya sendiri, mengapa saya bisa mengungkap kasus perampokan CIMB? Karena ada
kemauan. Kemampuan itu nomor dua menurut saya. Kemauan dari polisi mau atau
tidak menciptakan rasa aman. Kalau masih ada oknum yang melakukan penyimpangan,
masyarakat tahu. Mana ada tindakan polisi yang tidak diketahui masyarakat.
Polisi mau atau tidak menjaga rasa aman masyarakat?
Kalau saya tergantung dari pimpinan atau perwiranya. Ini
pembagian tugas dan peran. Brigadir apa, tamtama apa, perwira menengah apa,
perwira tinggi apa. Ini mungkin harus dipertegas kembali. Sampai detik ini,
meskipun saya Wakil Kepala Polri, kalau ada pelanggaran di depan saya, saya
berhenti. Saya tegur.
Contoh, pada hari libur, dia memberhentikan kendaraan
seenaknya saja. Kan, sepertinya cari-cari sesuatu. Saya tegur. Kalau razia,
ramai-ramai, jangan razia perorangan. Kita harus bisa merasakan apa yang
dirasakan masyarakat. Kemauan itu harus dibangunkan terus. Kamu harus mau dan
mampu berbuat itu. Kemampuan bisa dilatih. Kemauan kembali ke soal moral.
Bermoral dan profesional. Yang berbahaya adalah profesional, tetapi tidak
bermoral.
Apakah ada kecenderungan degradasi moral? Iya. Mengapa?
Gampanglah. Contohnya, jalan tol itu jalan bebas hambatan. Ada tidak aturan di
seluruh dunia, di jalan bebas hambatan, kecuali highway, boleh
memberhentikan kendaraan seenaknya? Kalau orang sudah masuk tol,
konsekuensinya, dia bebas hambatan. Memberhentikan kendaraan di jalan tol
menimbulkan kesan negatif.
Apa kesulitan utama dalam mereformasi kultur Polri?
Panutan. Ini kendala bagi kita. Sepertinya, bawahan melihat
wah, pimpinan itu enak, duitnya banyak. Itu yang terjadi kan.
Waktu terjadi penembakan di depan kantor KPK, saya
mengatakan, pengawalan tidak prosedural. Mengapa mengawal sendiri? Saya tidak
mengatakan Anda dilarang mencari tambahan. Tapi, isu yang muncul di bawah,
pimpinan punya duit banyak.
Siapa bilang duitnya jenderal banyak. Tapi, isu seperti itu
muncul. Karena apa? Mereka melihat kasus simulator. Ada perwira terlibat.
Namun, tidak berarti jenderal duitnya banyak. Ada juga jenderal yang susah.
Yang dikatakan banyak itu berapa? Satu juta, dua juta, tidak
jelas. Ini sudah digeneralisasi. Yang membahayakan, tidak ada kepercayaan
bawahan terhadap atasan. Semua ingin ngobyek, mencari tambahan. Itu boleh,
tetapi di luar jam dinas.
Kita bisa mengambil contoh di negara Amerika. Ada kesempatan
untuk mencari tambahan. Itu tidak dilarang, tetapi profesional. Misalnya, ada
perbaikan jalan, polisi memberi bantuan. Namun, itu harus di luar jam dinas.
Kalau sedang bertugas, semua untuk bangsa dan negara.
Kita tidak usah terlalu kaku juga. Namun, tugas pokok tidak
boleh ditinggalkan. Nanti, ada orang yang komplain, polisi kok mencari
tambahan. Bukan juga mencari tambahan yang tidak halal, tetapi harus yang
halal. Misalnya, mengatur perbaikan jalan dan jangan melupakan tugas utama.
Bagaimana dengan mencari tambahan menjadi beking tempat
hiburan malam atau perkebunan?
Jangan. Tidak boleh. Yang negatif-negatif jangan. Kalau
tempat hiburan malam, ada satuan pengamanan. Undang-undang mengatakan, polisi
dibantu satpam. Jangan kerja satpam diambil polisi. Nanti, suatu saat,
terbalik. Kerjaan polisi diambil satpam.
Penempatan tugas dan jabatan di Polri juga kurang
transparan?
Harus menggunakan teknologi. Penempatan tidak lagi melihat
muka orang. Harus dilihat prestasi dan pendidikan. Harus online. Dalam
mutasi, harus dilihat kesehatan, prestasi kerja, ranking pendidikan, pengalaman
kerja.
Ada perwira menengah yang berpangkat ajun komisaris besar
terus. Jabatannya, Kepala Bidang Telematika Polda Bangka Belitung. Padahal, teman
seangkatannya sudah brigadir jenderal. Mengapa? Karena tidak ada yang tertarik
telematika.
Mengapa kepercayaan masyarakat terhadap polisi masih
rendah?
Komunikasi tidak ada. Masyarakat masih kesulitan
berkomunikasi dengan polisi. Misalnya, saat orang melaporkan kelakuan polisi
yang menyimpang ke Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam), kadang-kadang tidak
diterima.
Makanya, saya selalu mendorong Propam untuk membuat akses ke
masyarakat. Mereka sendiri sudah mem-protect.
Solusinya, sekarang, saya buka. Polisi wajib menerima laporan masyarakat.
Bagaimana perubahan kultur harus dilakukan?
Pemimpin harus menjadi contoh dan panutan. Bangun komunikasi.
Jangan ada lagi kesenjangan komunikasi antara pimpinan dan yang dipimpin.
Mencari pemimpin yang bisa menjadi contoh memang berat. Saya pribadi, saya bisa
menggunakan barang-barang yang mahal. Namun, apakah harus dipakai?
Kalau komandan atau pimpinan menggunakan barang bermerek,
anak buah juga akan berpikir, uangnya dari mana? Padahal, waktu letnan dua,
pas- pasan. Sekarang sudah berpangkat komisaris, kendaraannya Land Cruiser.
Kita harus bisa menempatkan posisi. Waktu saya letda di Polda
Metro sampai kapten tidak membawa mobil. Larangan tidak ada, tetapi segan saja.
Saya naik bus kota, bisa ngobrol dengan kondektur dan masyarakat.
Hidup sederhana itu bukan berarti harus melarat.
Intinya, jangan ada jarak dengan masyarakat. Urusan yang
mudah malah dipersulit.
Contoh, saat kejadian penembakan di depan Gedung KPK. Mengapa
semua sopir truk dan truknya harus dibawa ke polda. Truknya dibawa. Truknya
tidak salah. Yang dipersulit, sopir, pemilik truk, pemilik barang. Yang belum
tentu ada hubungan langsung dengan peristiwa penembakan itu sendiri.
Ada kendala mengungkap kasus penembakan di depan KPK?
Kita sudah mulai mengarah pada profesionalisme. Sampai
sekarang, nilai kesulitan cukup tinggi. Kita perlu membuktikan siapa mereka.
Jangan mengarah pada kelompok mana-kelompok mana. Yang kita butuhkan pembuktian
di pengadilan. Ini bagian dari upaya menumbuhkan kepercayaan.
Ada kendala psikologis untuk mengungkap kasus itu?
Menurut saya, tidak ada. Lebih ke teknis. Rekaman CCTV hanya
membantu. Perlu peran serta masyarakat.
Menjelang Pemilihan Umum 2014, apakah ada eskalasi
kerawanan keamanan?
Sudah sejak 2012, seluruh desa sudah dijaga dengan Badan
Pembinaan Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas). Saya berharap
rekan TNI, yaitu Bintara Pembina Desa (Babinsa), juga bisa bersama- sama
Babinkamtibmas.
Polri pun harus bekerja sama. Paradigma lama harus
dihilangkan. Babinsa, kepala desa, dan Babinkamtibmas perlu duduk bersama,
saling kontrol, dan diskusi agar kalau ada kerawanan atau potensi konflik bisa
dapat dengan cepat terdeteksi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar