|
Tahun 2013 bisa disebut sebagai "tahun politik"
karena pada tahun 2014 akan diselenggarakan pemilu presiden/wapres dan pemilu
legislatif. Agenda politik itu pasti memerlukan dana yang sangat besar,
terutama dalam rangka kampanye, termasuk "kampanye terselubung" yang
mengatasnamakan berbagai kegiatan; mulai dari konsolidasi terhadap konstituen
sampai bakti sosial atau kegiatan amal lainnya.
Untuk kegiatan itu, partai politik (parpol) bisa
mendapatkan dana dari pendukungnya, baik perseorangan maupun perusahaan atau
perkumpulan lainnya yang oleh UU Parpol diperbolehkan untuk menerima sumbangan.
Untuk itu, harus ada peraturan tentang transparansi
pendanaan dan pengawasan yang menjamin agar sumbangan yang masuk ke parpol
harus jelas sumbernya, jangan sampai berasal dari hasil kejahatan. Di samping
itu, bukan sekadar tidak melampaui jumlah yang diizinkan--dari perseorangan
bukan anggota parpol paling banyak 1 miliar rupiah per tahun anggaran dan dari
perusahaan atau badan usaha paling banyak 7,5 miliar rupiah.
Dalam upaya agar uang hasil kejahatan, apalagi dari hasil
korupsi, tidak sampai masuk ke kas parpol, maka sumber dana itu harus jelas,
teridentifikasi secara pantas dan memadai, baik yang berkaitan dengan identitas
penyumbangnya maupun bagaimana cara perolehannya (sumbernya). Parpol tidak
boleh menutup mata atas asal-usul sumbangan yang masuk pada keuangan partai.
Mereka harus transparan kepada publik tentang dana yang diterima dan
peruntukannya.
Bahayanya apabila sumbangan partai tidak jelas asal-usulnya
dan tetap diterima dan nanti terungkap, maka partai bisa terkena ketentuan
Pasal 5 ayat (1) UU No 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Ini
bisa berakibat adanya pembubaran partai sesuai ketentuan Pasal 7 ayat (2).
Tentu, ini sangat jauh dari harapan suatu pesta demokrasi.
Memang, selalu saja ada kemungkinan para koruptor
menyembunyikan hasil kejahatannya di salah satu parpol. Setelah mereka yakin
dananya masuk dalam kas partai, mereka ada yang ikut pemilihan umum karena
yakin kebal dari tuntutan hukum. Setelah itu, akan terjadi hubungan sinergi
antara para koruptor dan pemegang kekuasaan. Dampaknya bisa dipastikan bahwa
pemerintah tidak mungkin lagi bisa melakukan kontrol terhadap para koruptor.
Jika sampai benar-benar terjadi adanya dana yang masuk ke
parpol, maka upaya pemberantasan korupsi yang sedang gencar dilakukan akan
menghadapi sandungan besar. Karena, pemerintah akan menghadapi para koruptor
yang mendanai partai, yang telah menguasai suatu parpol. Bahaya lain yang lebih
besar akan muncul apabila ternyata parpol yang pendanaannya telah tercemari
oleh uang koruptor tadi justru menjadi pemenang pemilu. Atau, paling tidak,
kader parpol itu menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan yang terbentuk
dari hasil pemilu.
Uang hasil korupsi (dan juga kejahatan lain) bisa sangat
menggiurkan bagi calon anggota legislatif maupun bagi partai serta
capres/cawapres. Sedangkan bagi penjahat, proses demokrasi ini adalah way out untuk mengamankan diri, agar
terhindar dari jeratan hukum yang selama ini membayangi keselamatan mereka dan
"usaha"-nya.
Kalau uang hasil korupsi masuk pada kas partai dan
digunakan untuk kegiatan partai dan apalagi kalau untuk mendanai kampanye dan
pihak yang mendapat dana itu menang, maka bisa dibayangkan bahwa pemerintahan
atau parlemen akan sulit bergerak memberantas korupsi karena akan di bawah
tekanan koruptor. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar