|
Seorang
ibu di daerah marginal tampak sedang menggendong anaknya yang masih dalam usia
menyusu. Ibu tersebut kemudian diwawancarai oleh wartawan mengenai asupan
makanannya. Ibu itu menjawab, "... untuk bayi saya kan ada air susu ibu
(ASI). Untuk saya sendiri, sih... ya makan seadanya saja. Kalau ada (makanan)
ya dimakan kalau tidak ada ya tidak apa-apa, sudah biasa..."
Ilustrasi
tersebut tere-kam beberapa waktu lalu dalam tayangan stasiun televisi yang
menggambarkan bagaimana seorang ibu di desa tidak mengetahui bahwa ASI yang
dihasilkannya tergantung pada makanan yang diasupnya. Untuk dapat memproduksi
ASI maka ibu harus makan dalam jumlah cukup karena ASI tidak dapat diciptakan
begitu saja oleh tubuh ibu. Hal ini sesuai hukum kekekalan energi dari Joule (abad
ke-18) yang menyatakan bahwa energi dapat berubah bentuk atau dipindahkan
tetapi energi tidak dapat diciptakan.
Pada
akhir tahun 2012 pemerintah meluncurkan program "Gerakan Nasional Sadar
Gizi" dengan fokus pada Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Saat
ini fokus penanganan gizi bergeser dari masa 5 tahun pertama kehidupan menjadi
masa dalam kandungan hingga 2 tahun pertama atau 1000 HPK. Dengan memperhatikan
pergeseran tersebut, konsumsi gizi seluruh pihak yang terlibat dalam siklus
1000 HPK perlu mendapatkan prioritas termasuk gizi ibu menyusui.
Salah
satu indikator keberhasilan Gerakan 1000 HPK adalah meningkatnya persentase ibu
yang memberikan ASI eksklusif 6 bulan paling kurang 50 persen pada tahun 2025.
Namun, pada intervensi spesifik bersifat jangka pendek yang akan dilaksanakan
untuk kelompok bayi 0-6 bulan adalah hanya promosi menyusui untuk ibu (individu
dan kelompok), tidak dirinci bentuk informasi apa saja yang akan disampaikan
serta tidak terlihat adanya rencana pemberian suplementasi untuk ibu menyusui
yang kurang gizi atau ibu menyusui pada kelompok marginal. Tampak dengan jelas
bahwa target intervensi spesifik untuk ibu menyusui tidak komprehensif dan
belum memadai.
Setelah
hampir 10 tahun berjalan, target program pemberian ASI eksklusif masih sangat
jauh dari capaian. Salah satu penjelasan mengapa status gizi ibu menyusui
kurang diperhatikan adalah karena selama ini ada anggapan yang keliru bahwa
semua ibu (bagaimanapun situasi status gizinya) akan mampu memberikan ASI
eksklusif 6 bulan. Padahal berbagai penelitian yang dilakukan secara
longitudinal di Indonesia menunjukkan bahwa kondisi gizi ibu menyusui yang
kurang menyebabkan ibu tidak mampu memberikan ASI secara optimal.
Penelitian
kohort 6 bulan terhadap ibu menyusui vegetarian dan nonvegetarian di Jakarta
tahun 2013 menunjukkan bahwa konsumsi energi harian ibu saat menyusui memegang
peranan penting dalam keberhasilan pemberian ASI eksklusif 6 bulan. Ibu yang
konsumsi energi hariannya sekitar 2100 kalori memiliki kemungkinan 20 kali
lebih besar untuk bisa memberikan ASI eksklusif 6 bulan. Pada penelitian
tersebut juga ditemukan bahwa asupan zat gizi ibu saat menyusui lebih rendah
dibandingkan saat hamil baik untuk energi, zat gizi makro maupun mikro.
Penyebab
penurunan asupan bukan karena ibu ingin mengurangi berat badan (diet) tetapi
karena kurangnya pengetahuan ibu bahwa kebutuhan zat gizi saat menyusui lebih
besar dibandingkan saat hamil. Angka Kecukupan Gizi (AKG) di Indonesia
menetapkan kecukupan energi sekitar 2300 kalori/ hari untuk ibu hamil dan 2500
kalori/hari untuk ibu menyusui. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
rata-rata konsumsi energi saat hamil sudah cukup baik yaitu 2250 kalori/hari,
namun saat menyusui justru turun menjadi hanya sebesar 1960 kalori/hari.
Dalam
keseriusan pemerintah melaksanakan Program 1000 HPK, diharapkan agar intervensi
spesifik untuk mendukung pertumbuhan bayi 0-6 bulan dapat diperbaiki dengan
lebih memperhatikan status gizi ibu menyusui. Upaya preventif berbasis
pendekatan populasi perlu dilakukan dan terutama ditujukan pada ibu kelompok
marginal di pedesaan yang memiliki status gizi kurang dan akses makanan selama
menyusui terbatas.
Peningkatan
program gizi bagi ibu menyusui dapat berupa program suplementasi maupun
konseling menyusui, serta informasi dan edukasi tentang ASI dengan
mempertimbangkan aspek-aspek geografis, sosio-kultural, dan status gizi. Perlu
dilakukan peningkatan upaya promosi kepada ibu menyusui agar menjaga konsumsi
energi dan zat gizinya selama menyusui minimal sama dengan saat hamil.
Substansi penyuluhan agar juga menekankan aspek kuantitas (jumlah/banyak) di
samping aspek kualitas (jenis) makanan yang diasup selama menyusui. Ibu
kelompok marginal perlu mendapatkan perhatian khusus, suplementasi harus
diberikan oleh pemerintah untuk menjamin ibu menyusui dapat mengkonsumsi energi
dalam jumlah cukup untuk mendukung produksi ASI-nya selama 6 bulan.
Dalam
pelaksanaannya, program dapat melibatkan berbagai unsur pemerintahan dan
non-pemerintahan seperti industri. Industri yang selama ini dikuatirkan
memberikan susu formula kepada bayi 0-6 bulan dapat dialihkan perhatiannya dan
diminta bantuannya untuk lebih memperhatikan status gizi ibunya (bukan
bayinya). Bantuan industri dalam bentuk susu untuk ibu dapat dijual dengan harga
murah atau diberikan secara gratis kepada ibu menyusui.
Dengan
kata lain, promosi ASI eksklusif 6 bulan mutlak terus berjalan yang disertai
dengan adanya upaya khusus untuk memfasilitasi ibu agar bisa menyusui enam
bulan, diantaranya melalui peningkatan status gizi dan konsumsi energi ibu
menyusui. Bila status gizi dan konsumsi ibu menyusui baik diharapkan terjadi
peningkatan pencapaian ASI eksklusif 6 bulan yang akan berdampak pada
optimalisasi pertumbuhan dan kecerdasan bayi sesuai harapan Program 1000 HPK. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar