Sabtu, 28 September 2013

Perhatikan Gizi Ibu Menyusui

Perhatikan Gizi Ibu Menyusui
Sandra Fikawati  ;    Staf pengajar Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat,
FKMUI, dan Sekretaris Pusat Kajian Gizi dan Kesehatan Universitas Indonesia
SUARA KARYA, 26 September 2013


Seorang ibu di daerah marginal tampak sedang menggendong anaknya yang masih dalam usia menyusu. Ibu tersebut kemudian diwawancarai oleh wartawan mengenai asupan makanannya. Ibu itu menjawab, "... untuk bayi saya kan ada air susu ibu (ASI). Untuk saya sendiri, sih... ya makan seadanya saja. Kalau ada (makanan) ya dimakan kalau tidak ada ya tidak apa-apa, sudah biasa..."

Ilustrasi tersebut tere-kam beberapa waktu lalu dalam tayangan stasiun televisi yang menggambarkan bagaimana seorang ibu di desa tidak mengetahui bahwa ASI yang dihasilkannya tergantung pada makanan yang diasupnya. Untuk dapat memproduksi ASI maka ibu harus makan dalam jumlah cukup karena ASI tidak dapat diciptakan begitu saja oleh tubuh ibu. Hal ini sesuai hukum kekekalan energi dari Joule (abad ke-18) yang menyatakan bahwa energi dapat berubah bentuk atau dipindahkan tetapi energi tidak dapat diciptakan.

Pada akhir tahun 2012 pemerintah meluncurkan program "Gerakan Nasional Sadar Gizi" dengan fokus pada Gerakan 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK). Saat ini fokus penanganan gizi bergeser dari masa 5 tahun pertama kehidupan menjadi masa dalam kandungan hingga 2 tahun pertama atau 1000 HPK. Dengan memperhatikan pergeseran tersebut, konsumsi gizi seluruh pihak yang terlibat dalam siklus 1000 HPK perlu mendapatkan prioritas termasuk gizi ibu menyusui.

Salah satu indikator keberhasilan Gerakan 1000 HPK adalah meningkatnya persentase ibu yang memberikan ASI eksklusif 6 bulan paling kurang 50 persen pada tahun 2025. Namun, pada intervensi spesifik bersifat jangka pendek yang akan dilaksanakan untuk kelompok bayi 0-6 bulan adalah hanya promosi menyusui untuk ibu (individu dan kelompok), tidak dirinci bentuk informasi apa saja yang akan disampaikan serta tidak terlihat adanya rencana pemberian suplementasi untuk ibu menyusui yang kurang gizi atau ibu menyusui pada kelompok marginal. Tampak dengan jelas bahwa target intervensi spesifik untuk ibu menyusui tidak komprehensif dan belum memadai.

Setelah hampir 10 tahun berjalan, target program pemberian ASI eksklusif masih sangat jauh dari capaian. Salah satu penjelasan mengapa status gizi ibu menyusui kurang diperhatikan adalah karena selama ini ada anggapan yang keliru bahwa semua ibu (bagaimanapun situasi status gizinya) akan mampu memberikan ASI eksklusif 6 bulan. Padahal berbagai penelitian yang dilakukan secara longitudinal di Indonesia menunjukkan bahwa kondisi gizi ibu menyusui yang kurang menyebabkan ibu tidak mampu memberikan ASI secara optimal.

Penelitian kohort 6 bulan terhadap ibu menyusui vegetarian dan nonvegetarian di Jakarta tahun 2013 menunjukkan bahwa konsumsi energi harian ibu saat menyusui memegang peranan penting dalam keberhasilan pemberian ASI eksklusif 6 bulan. Ibu yang konsumsi energi hariannya sekitar 2100 kalori memiliki kemungkinan 20 kali lebih besar untuk bisa memberikan ASI eksklusif 6 bulan. Pada penelitian tersebut juga ditemukan bahwa asupan zat gizi ibu saat menyusui lebih rendah dibandingkan saat hamil baik untuk energi, zat gizi makro maupun mikro.

Penyebab penurunan asupan bukan karena ibu ingin mengurangi berat badan (diet) tetapi karena kurangnya pengetahuan ibu bahwa kebutuhan zat gizi saat menyusui lebih besar dibandingkan saat hamil. Angka Kecukupan Gizi (AKG) di Indonesia menetapkan kecukupan energi sekitar 2300 kalori/ hari untuk ibu hamil dan 2500 kalori/hari untuk ibu menyusui. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi energi saat hamil sudah cukup baik yaitu 2250 kalori/hari, namun saat menyusui justru turun menjadi hanya sebesar 1960 kalori/hari.

Dalam keseriusan pemerintah melaksanakan Program 1000 HPK, diharapkan agar intervensi spesifik untuk mendukung pertumbuhan bayi 0-6 bulan dapat diperbaiki dengan lebih memperhatikan status gizi ibu menyusui. Upaya preventif berbasis pendekatan populasi perlu dilakukan dan terutama ditujukan pada ibu kelompok marginal di pedesaan yang memiliki status gizi kurang dan akses makanan selama menyusui terbatas.

Peningkatan program gizi bagi ibu menyusui dapat berupa program suplementasi maupun konseling menyusui, serta informasi dan edukasi tentang ASI dengan mempertimbangkan aspek-aspek geografis, sosio-kultural, dan status gizi. Perlu dilakukan peningkatan upaya promosi kepada ibu menyusui agar menjaga konsumsi energi dan zat gizinya selama menyusui minimal sama dengan saat hamil. Substansi penyuluhan agar juga menekankan aspek kuantitas (jumlah/banyak) di samping aspek kualitas (jenis) makanan yang diasup selama menyusui. Ibu kelompok marginal perlu mendapatkan perhatian khusus, suplementasi harus diberikan oleh pemerintah untuk menjamin ibu menyusui dapat mengkonsumsi energi dalam jumlah cukup untuk mendukung produksi ASI-nya selama 6 bulan.

Dalam pelaksanaannya, program dapat melibatkan berbagai unsur pemerintahan dan non-pemerintahan seperti industri. Industri yang selama ini dikuatirkan memberikan susu formula kepada bayi 0-6 bulan dapat dialihkan perhatiannya dan diminta bantuannya untuk lebih memperhatikan status gizi ibunya (bukan bayinya). Bantuan industri dalam bentuk susu untuk ibu dapat dijual dengan harga murah atau diberikan secara gratis kepada ibu menyusui.

Dengan kata lain, promosi ASI eksklusif 6 bulan mutlak terus berjalan yang disertai dengan adanya upaya khusus untuk memfasilitasi ibu agar bisa menyusui enam bulan, diantaranya melalui peningkatan status gizi dan konsumsi energi ibu menyusui. Bila status gizi dan konsumsi ibu menyusui baik diharapkan terjadi peningkatan pencapaian ASI eksklusif 6 bulan yang akan berdampak pada optimalisasi pertumbuhan dan kecerdasan bayi sesuai harapan Program 1000 HPK. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar