|
Di halaman gedung kampus Ubaya (Universitas Surabaya), Sabtu -
Minggu pekan lalu, sekitar 200 pejuang sosial melakukan temu nasional. Sebagai
ketua umum AKSI (Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia), saya adalah orang
yang paling gembira.
Bagaimana tidak, ketika benih-benih yang disemai mulai tumbuh, hasilnya bisa segera dirasakan masyarakat dan perubahan yang kita impikan bisa menjadi kenyataan.
Kalau tahun lalu tuan rumahnya di Semarang adalah jaringan Rumah Usaha, di Surabaya jaringan ini dipusatkan di Ubaya dan dikoordinasi Pusdakota yang dipimpin Cahyo Suryanto. Pusdakota, sebagai social entrepreneur, sangat aktif membina petani kota dan desa, lengkap dengan pelestarian nilai-nilai budaya melalui jaringan para aktivis.
Di sebelah saya saat itu duduk Bambang Ismawan, founder AKSI, yang sudah lebih dari 50 tahun mengabdikan ilmunya sebagai pejuang sosial. Pak Bambang dulu mengaku dirinya sebagai LSM. Tapi, kini dia lebih senang menyebut dirinya social entrepreneur. Di bawah Yayasan Bina Swadaya, telah banyak anak perusahaannya yang mampu mandiri dengan omzet per tahun lebih dari setengah triliun rupiah
Tapi, nanti dulu. Ini bukan bisnis biasa. Juga bukan bisnis berkedok sosial. Ini usaha mandiri untuk mengentas kemiskinan, tidak untuk diambil dividennya demi kepentingan pemegang saham. Juga, bukan usaha kapitalisme yang melulu berfokus pada pembesaran kapital.
Apakah semua itu mudah dicapai? Bambang Ismawan tersenyum. Dia menceritakan kesulitan demi kesulitan yang sehari sebelumnya juga saya dengar dialami keluarga Hartono yang mengawali usahanya dalam bidang rokok di Kudus. Bisnis dan sosial ternyata sama pusingnya.
Tradisi Wiwitan
Pada acara pembukaan, kami disuguhi tradisi yang khusus didatangkan dari sebuah desa di daerah Sleman (Jogjakarta) yang dibina komunitas Pepen. Di desa itu, anak-anak muda bekerja dengan para petani, mengembalikan kesejahteraan yang dulu digeluti nenek moyang mereka. Mereka tidak hanya bertani, melainkan juga mengembangkan budaya yang hampir punah.
Bertani, menari, dan membentuk komunitas kesenian. Jadi, tarian itu berisi jeritan suara petani yang berjuang habis-habisan ditekan mahalnya harga benih, maraknya pemakaian pestisida, dan ''raksasa-raksasa'' lain yang digambarkan secara halus.
Kita semua tahu, dunia pertanian Indonesia tengah mengalami ujian berat. Pertanian lumpuh berarti kelaparan di depan mata, alam berpotensi rusak, dan warisan budaya pun terputus. Mereka itu semua gelisah. Namun, kegelisahan social entrepreneur tersebut dituangkan dalam usaha kemandirian.
Mereka bukanlah ahli pembuat proposal dan peminta sumbangan. Melainkan pelaku-pelaku usaha yang melihat masalah sebagai peluang perubahan. Peluang untuk mengembalikan kemandirian. Maka, bisnis pun digeluti. Bukan bisnis asal kaya atau jurus-jurus cepat kaya, melainkan bisnis yang adil, yang dibangun dari kerja keras, kejujuran, serta inovasi. Bukan ATM, apalagi ATP (amati, tiru, plek-plek). Juga bukan jual beli pakai kartu kredit yang ditambal sulam. Ini bisnis untuk menyambung hidup.
Di depan saya juga ada Ibu Cici Farha, pejuang sosial dari Jember, yang gelisah melihat anak-anak kampung yang berubah menjadi kasar dan liar ditinggal orang-orang tua mereka menjadi buruh migran di Malaysia. Anak-anak itu, kata Cici, menjadi mudah marah dan saling memukul.
Cici tidak membuang waktu. Dia segera mengumpulkan anak-anak di Desa Tanoker Ledokombo. Mereka diajak berkreasi dengan bambu dan kayu. Ternyata, mereka begitu cepat belajar. Di atas egrang bambu setinggi 2 meter, mereka bisa menabuh gendang, bermain pedang-pedangan, dan seterusnya. Cici pun mendanai mereka, memberikan sentuhan koreogratif, musik, aksesori, dan seterusnya. Tontonannya menjadi indah.
Kini tinggallah upaya membangun rasa percaya diri. Dari tiada, dari serba bermasalah, menjadi sebuah kesenian yang bisa diwariskan. Barangkali ini kelak bisa saja menjadi seperti Saung Angklung Udjo yang kini setiap hari didatangi ribuan turis mancanegara di Bandung. Dulu Udjo juga memulainya dari tiada. Bahkan, dia membawa anak-anaknya sendiri berkesenian dari kampung ke kampung.
Cici membangun festival egrang bertahun-tahun sampai egrang dikenal sebagai ikon ketiga Kota Jember setelah Jember Fashion Carnaval yang juga dibangun social entreprenuer Dynand Fariz yang pernah diberi penghargaan oleh Ashoka Foundation.
Sebentar lagi Cici bersama anak-anak itu berangkat ke Thailand, melakukan show di sana. Anak-anak kecil di Desa Tanoker Ledokombo yang tidak dikenal pun bisa melanglang buana. Melihat dunia dari jendela mereka yang kecil di sebuah desa.
Gelisah dan Bergerak
Pejuang sosial hari ini memang berbeda dengan hari-hari kemarin. Kalau dulu mereka antibisnis, kini pejuang-pejuang tersebut tahu persis bahwa mereka bisa menggunakan kewirausahaan untuk melakukan perubahan. Karena itu, mereka harus bisa menemukan produk-produk yang inovatif dan menciptakan value kepada semua stakeholder-nya.
Mereka harus bisa memanfaatkan jurus-jurus camera branding, namun tentu saja harus bisa memenuhi human needs dan wants yang semakin kompleks. Mereka harus bisa memberikan pelayanan yang lebih baik, inovatif, dan dengan manajemen usaha layaknya bisnis.
Bedanya dengan aktivis biasa, saat gelisah, mereka itu justru bergerak dan memperbarui sesuatu. Mereka tidak mempersoalkan ideologi, melainkan berjuang jatuh bangun. Apa salahnya menghadapi kesulitan-kesulitan? Yang jelas, mereka tidak pernah berhenti. Mengeluh hanya sewaktu-waktu untuk menghela napas. Selebihnya, mereka menggunakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi sebagai tantangan.
Karena itu, saat Indonesia resah melihat birokrasi yang lambat menyelesaikan masalah-masalah sosial, kita bisa menaruh harapan kepada para pejuang sosial tersebut. Apalagi, sekarang sudah ada ''mesin penghubung kebaikan'' yang juga dirintis anak muda pejuang sosial lainnya dari UI. Anda bisa membuka website-nya (kitabisa.co.id) dan terlibat di dalamnya.
Untuk melakukan perubahan-perubahan besar-besaran, kita memang membutuhkan kolaborasi besar-besaran. ●
Bagaimana tidak, ketika benih-benih yang disemai mulai tumbuh, hasilnya bisa segera dirasakan masyarakat dan perubahan yang kita impikan bisa menjadi kenyataan.
Kalau tahun lalu tuan rumahnya di Semarang adalah jaringan Rumah Usaha, di Surabaya jaringan ini dipusatkan di Ubaya dan dikoordinasi Pusdakota yang dipimpin Cahyo Suryanto. Pusdakota, sebagai social entrepreneur, sangat aktif membina petani kota dan desa, lengkap dengan pelestarian nilai-nilai budaya melalui jaringan para aktivis.
Di sebelah saya saat itu duduk Bambang Ismawan, founder AKSI, yang sudah lebih dari 50 tahun mengabdikan ilmunya sebagai pejuang sosial. Pak Bambang dulu mengaku dirinya sebagai LSM. Tapi, kini dia lebih senang menyebut dirinya social entrepreneur. Di bawah Yayasan Bina Swadaya, telah banyak anak perusahaannya yang mampu mandiri dengan omzet per tahun lebih dari setengah triliun rupiah
Tapi, nanti dulu. Ini bukan bisnis biasa. Juga bukan bisnis berkedok sosial. Ini usaha mandiri untuk mengentas kemiskinan, tidak untuk diambil dividennya demi kepentingan pemegang saham. Juga, bukan usaha kapitalisme yang melulu berfokus pada pembesaran kapital.
Apakah semua itu mudah dicapai? Bambang Ismawan tersenyum. Dia menceritakan kesulitan demi kesulitan yang sehari sebelumnya juga saya dengar dialami keluarga Hartono yang mengawali usahanya dalam bidang rokok di Kudus. Bisnis dan sosial ternyata sama pusingnya.
Tradisi Wiwitan
Pada acara pembukaan, kami disuguhi tradisi yang khusus didatangkan dari sebuah desa di daerah Sleman (Jogjakarta) yang dibina komunitas Pepen. Di desa itu, anak-anak muda bekerja dengan para petani, mengembalikan kesejahteraan yang dulu digeluti nenek moyang mereka. Mereka tidak hanya bertani, melainkan juga mengembangkan budaya yang hampir punah.
Bertani, menari, dan membentuk komunitas kesenian. Jadi, tarian itu berisi jeritan suara petani yang berjuang habis-habisan ditekan mahalnya harga benih, maraknya pemakaian pestisida, dan ''raksasa-raksasa'' lain yang digambarkan secara halus.
Kita semua tahu, dunia pertanian Indonesia tengah mengalami ujian berat. Pertanian lumpuh berarti kelaparan di depan mata, alam berpotensi rusak, dan warisan budaya pun terputus. Mereka itu semua gelisah. Namun, kegelisahan social entrepreneur tersebut dituangkan dalam usaha kemandirian.
Mereka bukanlah ahli pembuat proposal dan peminta sumbangan. Melainkan pelaku-pelaku usaha yang melihat masalah sebagai peluang perubahan. Peluang untuk mengembalikan kemandirian. Maka, bisnis pun digeluti. Bukan bisnis asal kaya atau jurus-jurus cepat kaya, melainkan bisnis yang adil, yang dibangun dari kerja keras, kejujuran, serta inovasi. Bukan ATM, apalagi ATP (amati, tiru, plek-plek). Juga bukan jual beli pakai kartu kredit yang ditambal sulam. Ini bisnis untuk menyambung hidup.
Di depan saya juga ada Ibu Cici Farha, pejuang sosial dari Jember, yang gelisah melihat anak-anak kampung yang berubah menjadi kasar dan liar ditinggal orang-orang tua mereka menjadi buruh migran di Malaysia. Anak-anak itu, kata Cici, menjadi mudah marah dan saling memukul.
Cici tidak membuang waktu. Dia segera mengumpulkan anak-anak di Desa Tanoker Ledokombo. Mereka diajak berkreasi dengan bambu dan kayu. Ternyata, mereka begitu cepat belajar. Di atas egrang bambu setinggi 2 meter, mereka bisa menabuh gendang, bermain pedang-pedangan, dan seterusnya. Cici pun mendanai mereka, memberikan sentuhan koreogratif, musik, aksesori, dan seterusnya. Tontonannya menjadi indah.
Kini tinggallah upaya membangun rasa percaya diri. Dari tiada, dari serba bermasalah, menjadi sebuah kesenian yang bisa diwariskan. Barangkali ini kelak bisa saja menjadi seperti Saung Angklung Udjo yang kini setiap hari didatangi ribuan turis mancanegara di Bandung. Dulu Udjo juga memulainya dari tiada. Bahkan, dia membawa anak-anaknya sendiri berkesenian dari kampung ke kampung.
Cici membangun festival egrang bertahun-tahun sampai egrang dikenal sebagai ikon ketiga Kota Jember setelah Jember Fashion Carnaval yang juga dibangun social entreprenuer Dynand Fariz yang pernah diberi penghargaan oleh Ashoka Foundation.
Sebentar lagi Cici bersama anak-anak itu berangkat ke Thailand, melakukan show di sana. Anak-anak kecil di Desa Tanoker Ledokombo yang tidak dikenal pun bisa melanglang buana. Melihat dunia dari jendela mereka yang kecil di sebuah desa.
Gelisah dan Bergerak
Pejuang sosial hari ini memang berbeda dengan hari-hari kemarin. Kalau dulu mereka antibisnis, kini pejuang-pejuang tersebut tahu persis bahwa mereka bisa menggunakan kewirausahaan untuk melakukan perubahan. Karena itu, mereka harus bisa menemukan produk-produk yang inovatif dan menciptakan value kepada semua stakeholder-nya.
Mereka harus bisa memanfaatkan jurus-jurus camera branding, namun tentu saja harus bisa memenuhi human needs dan wants yang semakin kompleks. Mereka harus bisa memberikan pelayanan yang lebih baik, inovatif, dan dengan manajemen usaha layaknya bisnis.
Bedanya dengan aktivis biasa, saat gelisah, mereka itu justru bergerak dan memperbarui sesuatu. Mereka tidak mempersoalkan ideologi, melainkan berjuang jatuh bangun. Apa salahnya menghadapi kesulitan-kesulitan? Yang jelas, mereka tidak pernah berhenti. Mengeluh hanya sewaktu-waktu untuk menghela napas. Selebihnya, mereka menggunakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi sebagai tantangan.
Karena itu, saat Indonesia resah melihat birokrasi yang lambat menyelesaikan masalah-masalah sosial, kita bisa menaruh harapan kepada para pejuang sosial tersebut. Apalagi, sekarang sudah ada ''mesin penghubung kebaikan'' yang juga dirintis anak muda pejuang sosial lainnya dari UI. Anda bisa membuka website-nya (kitabisa.co.id) dan terlibat di dalamnya.
Untuk melakukan perubahan-perubahan besar-besaran, kita memang membutuhkan kolaborasi besar-besaran. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar