|
Pelemahan nilai tukar rupiah dan laju inflasi yang tinggi
akhir-akhir ini telah mendorong sejumlah asumsi makro ekonomi ikut berjalan
terseok-seok. Tahun ini, Bank Dunia memproyeksikan inflasi tahunan akan
mencapai di atas 9 persen, IMF memproyeksikan mencapai 9,5 persen, dan Bank
Indonesia memperkirakan bisa menembus 7,69 persen.
Inflasi tinggi ini telah mendorong pelemahan nilai tukar
rupiah. Goldman Sachs, salah satu perusahaan investasi terbesar di Amerika
Serikat, memperkirakan rupiah akan kembali melemah hingga level Rp 11.800 per
dolar AS pada tahun depan, jauh lebih dalam dibandingkan estimasi sebelumnya di
Rp 10.500 per dolar AS.
Bank Dunia, IMF dan Bank Indonesia juga sudah mengoreksi
target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 di bawah 6 persen. Bank Dunia
memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 5,9 persen dari sebelumnya 6,2
persen. IMF juga menurunkan target pertumbuhan ekonomi tahun 2013 menjadi
sekitar 5,25 persen dari sebelumnya 6,3 persen.
The Economist dalam edisi terbarunya menurunkan target pertumbuhan ekonomi
Indonesia tahun ini dari 5,8 persen menjadi 5,1 persen. Bank Indonesia (BI) juga
kembali merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia. Jika awalnya bank
sentral ini memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan berada di kisaran 5,8
persen-6,2 persen, maka kali ini pertumbuhan ekonomi diturunkan jadi 5,5
persen-5,9 persen.
Bagaimana dengan defisit transaksi berjalan? IMF memproyeksikan defisit
transaksi berjalan sebesar 3,5 persen dari PDB, dari proyeksi sebelumnya
sebesar 3,3 persen PDB. Pada kuartal II 2013, defisit neraca pembayaran Indonesia
mencapai 4,4 persen dari PDB, naik signifikan dari kuartal I sebesar 2,6 persen
dari PDB. Sementara, cadangan devisa juga terus menurun dan per Agustus, menurut
Bank Indonesia (BI), Indonesia memiliki cadangan devisa per akhir Agustus 2013
sekitar 92,9 miliar dolar AS atau mencapai Rp 920 triliun.
Cadangan devisa Indonesia tercatat cukup rendah ketimbang negara-negara seperti
India, Thailand, dan
Malaysia.
Cadangan devisa India pada Mei 2013 tercatat mencapai 287,8
miliar dolar AS atau setara dengan Rp 2.878 triliun. Kemudian, Thailand pada
Juli 2013 memiliki cadangan devisa sebesar 172,2 miliar dolar AS atau setara
dengan Rp 1.722 triliun. Malaysia memiliki ca - dangan devisa hingga 137,84
miliar dolar AS atau mencapai Rp 1.378 triliun. Ca - dangan devisa kerap dikaitkan
dengan stabilitas nilai tukar dan kekuatan pem- bayaran utang luar negeri.
Cadangan forexBI yang sebesar 92,9 miliar dolar AS per
akhir Agustus-- turun 18 persen tahun ini menurut Bloomberg--seharusnya cukup
untuk memenuhi kewajiban utang Indonesia dan menyokong rupiah. Pemerintah juga
dapat meminta bantuan dari anggota ASEAN lainnya melalui sebuah sistem swap yang didirikan usai krisis 1997. Meski
demikian, cadangan devisa tersebut tidak akan cukup jika tidak dipakai dengan
benar.
Dilema yang dihadapi Indonesia saat ini sama seperti 16
tahun lalu. Kebijakan moneter kerap kali menjadi alat untuk mencapai dua
tujuan--menstabilkan rupiah dan menyehatkan ekonomi domestik. Namun, saat krisis
kepercayaan tiba dan menimbulkan konflik, BI harus memprioritaskan kestabilan
rupiah jika tidak ingin sepenuhnya gagal. Dengan kata lain, jika BI mengikuti
saran standar IMF dan membiarkan rupiah terus meroket, tidak ada yang tahu
seberapa besar kejatuhannya. Depresiasi mata uang adalah pilihan utama IMF untuk
menghentikan krisis keseimbangan neraca pembayaran. Teorinya, fenomena ini akan
mempermurah ekspor dan mempermahal impor.
Situasi saat ini berbeda dengan krisis tahun 1998 lalu.
Saat itu inflasi menyentuh 60 persen dan nilai tukar rupiah turun tajam. Hingga
menyentuh 17 ribu per dollar AS dan otoritas moneter juga menerapkan suku bunga
tinggi. Kini, pasar sekali lagi mengalami guncangan dan apakah kebijakan moneter
dapat melewati badai ini dengan aman atau harus lagi-lagi menghadapi krisis.
Bank Indonesia pada Kamis (12/9) lalu kembali memutuskan menaikkan suku bunga
acuan, BI Rate, 25 basis poin (bps) menjadi 7,25 persen.
Ini artinya hanya dalam waktu empat bulan, suku bunga acuan
Bank Indonesia melonjak 125 basis poin (bps), dari 6 persen menjadi 7,25
persen. Selain itu, BI juga menaikkan bunga Fasilitas Simpanan Bank Indonesia
(Fasbi) sebesar seperempat poin persen menjadi 5,50 persen. Kenaikan suku bunga
ini adalah cerminan komitmen BI yang difokuskan untuk pengendalian inflasi,
melindungi rupiah di tengah sentimen global yang rapuh dan mengurangi defisit
transaksi berjalan ke level yang masih bisa ditangani. Namun, apakah pengetatan
kebijakan merupakan langkah yang tepat?
Memang, krisis 1998 lalu tampaknya tidak akan terulang.
Saat itu, rupiah anjlok dan pemerintahan Soeharto harus mengemis dana talangan
kepada Dana Moneter Internasional (IMF). Namun, terdapat beberapa kesamaan
antara situasi 1997 dengan saat ini. Indonesia pun masih sangat rentan terhadap
krisis akibat ketimpangan neraca pembayaran. Kebijakan quantitative easing yang
dirilis bank sentral Amerika Serikat, Federal Reserve, membuka arus investasi
asing hingga membanjiri Indonesia. Dana ini secara perlahan mengangkat rasio
kredit terhadap produk domestik bruto (PDB) kembali ke titik tertingginya pra-krisis
1997.
Laju ekspansi ini memang masih jinak ketimbang di sejumlah negara lain.
Namun, rencana The Fed yang akan
mengetatkan moneternya telah pula mendorong pembalikan modal sehingga ikut
mendorong penurunan nilai tukar rupiah dan pasar saham,.
Sekarang pemerintah juga dipusingkan oleh melebarnya
defisit anggaran berjalan yang pada kuartal II mencapai 4,4 persen PDB. Dengan
inflasi sekitar 9 persen, suku bunga riil masih negatif, yang berarti investasi
masih murah--dan masih ada kemungkinan rupiah kian melemah. IMF memproyeksikan
defisit transaksi berjalan sebesar 3,5 persen dari PDB, dari proyeksi
sebelumnya sebesar 3,3 persen PDB. Pada kuartal II 2013, defisit neraca
pembayaran Indonesia mencapai 4,4 persen dari PDB, naik signifikan dari kuartal
I sebesar 2,6 persen dari PDB. Defisit transaksi berjalan yang besar adalah
indikasi bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia relatif sangat tinggi jika
dibandingkan dengan ekspansi ekonomi di negara lain.
Berbagai negara telah merevisi pertumbuhan ekonomi, seperti
AS, Cina, dan negara-negara Eropa yang memprediksi adanya penurunan pertumbuhan
ekonomi di semester II tahun ini. Amerika Serikat mengoreksi pertumbuhan ekonominya
dari 1,9 persen menjadi 1,7 persen. Sementara itu, Cina mengoreksi pertumbuhan
ekonominya dari 8,1 persen menjadi 7,8 persen. Penurunan pertumbuhan perekonomian
mengakibatkan mereka akan sulit menyerap ekspor nonmigas dari Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar