|
Muncul penilaian, peran DPR untuk
menentukan pejabat publik melalui fit and
proper test telah meningkatkan skala korupsi dan penyuapan-penyuapan yang
sangat menjijikkan di Indonesia.
Seperti diketahui, saat ini untuk menjadi pejabat-pejabat negara seperti hakim agung, hakim konstitusi, anggota BPK, komisioner KPU, komisioner Komisi Yudisial, gubernur Bank Indonesia, deputi gubernur Bank Indonesia, penentuan duta besar, dan lain-lain harus dilakukan melalui persetujuan atau pertimbangan dari DPR. Sebenarnya pemberian wewenang kepada DPR untuk ikut menentukan pejabat-pejabat publik dilatarbelakangi oleh upaya pembalikan terhadap sistem yang dilakukan oleh Orde Baru dibawah PresidenSoeharto.
Kalaitu, semuapejabat publik sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh Presiden Soeharto sehingga semua ”bisa jadi” asal diinginkan, disetujui, ataumau manutpada Pak Harto. Yang tidak dimaui dan dianggap berpotensi tidak manutpada Pak Harto bisa tersingkir dari arena politik dan pemerintahan. Dalam soal diplomatik misalnya, di era Orde Baru sering kali terasa dijadikan hadiah atau isolasi politik oleh Pak Harto.
Orang-orang yang berjasa pada Pak Harto tetapi tak tertampung lagi di kabinet bisa dijadikan duta besar; sebaliknya orang yang dirasa potensial mengancam kekuasaan Pak Harto karena sikap kritis dan langkah-langkahnya di dalam negeri bisa dibuang menjadi dubes. Pada zaman Orde Baru sangat populer istilah ”didubeskan”. Itulah sebabnya pada era reformasi kita membalik cara pengangkatan pejabat itu dengan mengurangi hak-hak prerogatif presiden.
Presiden tidak lagi diberi wewenang penuh untuk mengangkat pejabat publik, termasuk mengangkat panglima TNI dan kapolri serta pejabat-pejabat penting lainnya, namun harus dengan pertimbangan dan persetujuan DPR. Celakanya, dalam praktiknya, ikut sertanya DPR dalam penentuan jabatan-jabatan publik itu telah melahirkan korupsi-korupsi dan kolusi yang sangat menjijikkan.
Jauh lebih buruk daripada yang dilakukan oleh Pak Harto. Kalau di zaman Orde Baru pertimbangannya lebih banyak pada upaya menjaga kekuatan politik Pak Harto, tetapi pada saat ini sudah diwarnai oleh permainan uang, suap-menyuap yang sangat gila dan menjijikkan. Betulkah? Tentu saja betul. Buktinya sudah banyak yang masuk penjara karena penyuapan dalam pengangkatan pejabat yang sebelumnya diseleksi oleh DPR. Kasus cek pelawat atau kasus pemilihan pejabat BI bisa disebut sebagai contoh yang sudah ada bukti hukumnya.
Kasus pemilihan calon hakim agung yang dilontarkan oleh Imam Ansori Saleh dari Komisi Yudisial serta isu-isu yang hampir sama bisa disebut sebagai pertandanya. Akibat buruk dari pemberian suap untuk menjadi pejabat publik tidak berhenti pada suapmenyuap itu sendiri, tetapi berakibat lebih jauh.
Selain bisa dipengaruhi oleh pejabat yang disuap saat memilihnya menjadi pejabat untuk melakukan halhal bertentangan dengan tugasnya, dia bisa juga ikut melakukan korupsi setelah menjabat untuk mengembalikan modal yang telah disuapkannya. Kalau dia jadi hakim, entah hakim konstitusi atau hakim agung, bisa menjual kasus dengan penyuapan. Kalau di bagianpemeriksaan, bisasaja menjual status hasil pemeriksaan dengan halus. Itulah sebabnya korupsi dan suap-menyuap menjadi lingkaran setan yang sulit diurai ujung pangkalnya.
Maka itu, banyak kalangan yang menghendaki agar DPR tidak dilibatkan lagi dalam pemilihan pejabat publik. Apalagi, dalam acara-acara yang disorot media massa secara langsung, pertanyaan-pertanyaan dalam fit and proper test yang diajukan oleh sementara anggota DPR kelasnya adalah kelas anak SMA, bukan kelas penguji calon pejabat. Terus terang, yang diuji dan yang menguji jauh lebih pandai yang diuji.
Ada yang mengusulkan agar UUD 1945 diubah lagi guna menghapus kewenangan DPR dalam ikut menentukan pejabat publik. Saya setuju sepenuhnya agar penentuan pejabat publik itu tidak usah melibatkan DPR lagi, tetapi saya tak sependapat kalau harus menunggu amendemen kembali atas UUD 1945. Tanpa mengubah kembali UUD 1945, kita bisa menghentikan keterlibatan DPR dalam penentuan pejabat publik melalui UU. Ketentuan bahwa memberi ”persetujuan” dan ”pertimbangan” itu dilakukan melaluifit and proper testtidak ada di dalam UUD melainkan hanya diatur di dalam UU dan kebijakan DPR.
Pengaturan yang demikian memang kebablasan karena melalui fit and proper test inilah terjadi berbagai kolusi dan penyuapan-penyuapan. Pemberian persetujuan atau pertimbangan oleh DPR sebenarnya cukup melalui surat pimpinan DPR saja. Oleh karena keharusan itu tidak ada di dalam UUD 1945, peniadaan fit and proper test oleh cukup dilakukan dengan mengubah berbagai UU yang terkait dengan itu.
Khusus untuk hakim MK yang diusulkan oleh DPR sudah lama saya risau kalau diseleksi oleh DPR melalui fist and proper test seperti sekarang. Selain penyeleksinya tidak proper karena tak sekelas dengan yang diseleksi, potensi politisasi dan penyanderaannya juga besar. Maka itu untuk seleksi hakim MK yang dari DPR, sebaiknya dilakukan tim seleksi independen yang dibentuk oleh DPR sendiri dan DPR tinggal mengesahkannya dengan kewenangan memveto kalau ada hal-hal yang luar biasa. ●
Seperti diketahui, saat ini untuk menjadi pejabat-pejabat negara seperti hakim agung, hakim konstitusi, anggota BPK, komisioner KPU, komisioner Komisi Yudisial, gubernur Bank Indonesia, deputi gubernur Bank Indonesia, penentuan duta besar, dan lain-lain harus dilakukan melalui persetujuan atau pertimbangan dari DPR. Sebenarnya pemberian wewenang kepada DPR untuk ikut menentukan pejabat-pejabat publik dilatarbelakangi oleh upaya pembalikan terhadap sistem yang dilakukan oleh Orde Baru dibawah PresidenSoeharto.
Kalaitu, semuapejabat publik sepenuhnya ditentukan secara sepihak oleh Presiden Soeharto sehingga semua ”bisa jadi” asal diinginkan, disetujui, ataumau manutpada Pak Harto. Yang tidak dimaui dan dianggap berpotensi tidak manutpada Pak Harto bisa tersingkir dari arena politik dan pemerintahan. Dalam soal diplomatik misalnya, di era Orde Baru sering kali terasa dijadikan hadiah atau isolasi politik oleh Pak Harto.
Orang-orang yang berjasa pada Pak Harto tetapi tak tertampung lagi di kabinet bisa dijadikan duta besar; sebaliknya orang yang dirasa potensial mengancam kekuasaan Pak Harto karena sikap kritis dan langkah-langkahnya di dalam negeri bisa dibuang menjadi dubes. Pada zaman Orde Baru sangat populer istilah ”didubeskan”. Itulah sebabnya pada era reformasi kita membalik cara pengangkatan pejabat itu dengan mengurangi hak-hak prerogatif presiden.
Presiden tidak lagi diberi wewenang penuh untuk mengangkat pejabat publik, termasuk mengangkat panglima TNI dan kapolri serta pejabat-pejabat penting lainnya, namun harus dengan pertimbangan dan persetujuan DPR. Celakanya, dalam praktiknya, ikut sertanya DPR dalam penentuan jabatan-jabatan publik itu telah melahirkan korupsi-korupsi dan kolusi yang sangat menjijikkan.
Jauh lebih buruk daripada yang dilakukan oleh Pak Harto. Kalau di zaman Orde Baru pertimbangannya lebih banyak pada upaya menjaga kekuatan politik Pak Harto, tetapi pada saat ini sudah diwarnai oleh permainan uang, suap-menyuap yang sangat gila dan menjijikkan. Betulkah? Tentu saja betul. Buktinya sudah banyak yang masuk penjara karena penyuapan dalam pengangkatan pejabat yang sebelumnya diseleksi oleh DPR. Kasus cek pelawat atau kasus pemilihan pejabat BI bisa disebut sebagai contoh yang sudah ada bukti hukumnya.
Kasus pemilihan calon hakim agung yang dilontarkan oleh Imam Ansori Saleh dari Komisi Yudisial serta isu-isu yang hampir sama bisa disebut sebagai pertandanya. Akibat buruk dari pemberian suap untuk menjadi pejabat publik tidak berhenti pada suapmenyuap itu sendiri, tetapi berakibat lebih jauh.
Selain bisa dipengaruhi oleh pejabat yang disuap saat memilihnya menjadi pejabat untuk melakukan halhal bertentangan dengan tugasnya, dia bisa juga ikut melakukan korupsi setelah menjabat untuk mengembalikan modal yang telah disuapkannya. Kalau dia jadi hakim, entah hakim konstitusi atau hakim agung, bisa menjual kasus dengan penyuapan. Kalau di bagianpemeriksaan, bisasaja menjual status hasil pemeriksaan dengan halus. Itulah sebabnya korupsi dan suap-menyuap menjadi lingkaran setan yang sulit diurai ujung pangkalnya.
Maka itu, banyak kalangan yang menghendaki agar DPR tidak dilibatkan lagi dalam pemilihan pejabat publik. Apalagi, dalam acara-acara yang disorot media massa secara langsung, pertanyaan-pertanyaan dalam fit and proper test yang diajukan oleh sementara anggota DPR kelasnya adalah kelas anak SMA, bukan kelas penguji calon pejabat. Terus terang, yang diuji dan yang menguji jauh lebih pandai yang diuji.
Ada yang mengusulkan agar UUD 1945 diubah lagi guna menghapus kewenangan DPR dalam ikut menentukan pejabat publik. Saya setuju sepenuhnya agar penentuan pejabat publik itu tidak usah melibatkan DPR lagi, tetapi saya tak sependapat kalau harus menunggu amendemen kembali atas UUD 1945. Tanpa mengubah kembali UUD 1945, kita bisa menghentikan keterlibatan DPR dalam penentuan pejabat publik melalui UU. Ketentuan bahwa memberi ”persetujuan” dan ”pertimbangan” itu dilakukan melaluifit and proper testtidak ada di dalam UUD melainkan hanya diatur di dalam UU dan kebijakan DPR.
Pengaturan yang demikian memang kebablasan karena melalui fit and proper test inilah terjadi berbagai kolusi dan penyuapan-penyuapan. Pemberian persetujuan atau pertimbangan oleh DPR sebenarnya cukup melalui surat pimpinan DPR saja. Oleh karena keharusan itu tidak ada di dalam UUD 1945, peniadaan fit and proper test oleh cukup dilakukan dengan mengubah berbagai UU yang terkait dengan itu.
Khusus untuk hakim MK yang diusulkan oleh DPR sudah lama saya risau kalau diseleksi oleh DPR melalui fist and proper test seperti sekarang. Selain penyeleksinya tidak proper karena tak sekelas dengan yang diseleksi, potensi politisasi dan penyanderaannya juga besar. Maka itu untuk seleksi hakim MK yang dari DPR, sebaiknya dilakukan tim seleksi independen yang dibentuk oleh DPR sendiri dan DPR tinggal mengesahkannya dengan kewenangan memveto kalau ada hal-hal yang luar biasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar