|
Sejak makam Almarhum Ustaz Jeffry
Al Buchori alias Uje dipugar menjadi mewah, ruang publik di infotainment media
televisi penuh sesak dengan polemik antara istri Uje –Pipik Dian Irawati–
dengan keluarga mertuanya.
Semula polemik hanya sekadar perbedaan niat saja. Pipik merasa tidak nyaman karena bentuk bangunan makam suaminya yang mewah tidak sesuai amanah suaminya yang menginginkan makamnya sederhana sesuai akhlak sang suami yang memang penuh kesederhanaan. Sementara pihak keluarga Uje mengaku memewahkan makam sebagai bagian dari penghormatan terhadap almarhum dan memudahkan para peziarah.
Eskalasi konflik menjadi menyeruak ketika banyak para ustaz selebriti yang sering ekspose di televisi ikut nimbrung dalam persoalan keluarga Uje, seolah tak mau menyia-nyiakan magnet pemberitaan itu sebagai bagian dari pemasaran rating. Persoalan menjadi lebar dan menusuk ke masalah kilafiah, menyeret Pipik ke dalam perdebatan masalah fikih dan halal haram. Pernyataan Ustaz Guntur Bumi bahwa polemik makam Uje disebabkan adanya orang-orang yang dengki, yakni para antiziarah, menyebabkan Pipik seperti sedang dijadikan umpan untuk dimusuhi umat yang lebih luas.
Bila tidak dibendung, ini akan meluas menjadi persoalan SARA. Karena polemik makam Uje terlanjur menjadi masalah publik, banyak pertanyaan muncul di benak masyarakat. Misalnya apakah makam termasuk bagian dari harta waris yang mesti diperebutkan. Mengamati tayangan di televisi, nampaknya ada ambisi dari pihak keluarga Uje yang menggunakan makam sebagai monumen. Dalam teori relasi sosial, monumen merupakan instrumen (alat) yang kerap dipergunakan untuk menghimpun legitimasi tertentu.
Dari berbagai statement yang dilontarkan Kakak Uje, Ustaz Aswan Faisal, nampaknya hendak melegitimasi Uje sebagai ulama besar yang harus dihormati. Legitimasi ini mempunyai fungsi sosial, ekonomi, dan politik bagi pewarisnya. Karena itulah, konteks memperebutkan makam Uje sebagai warisan dapat dipahami. Perbedaannya dengan Pipik, dia ingin menghargai suaminya dengan melaksanakan amanah. Namun, justru karena semata menjalankan amanah kesederhanaan itulah, Pipik berbenturan dengan arus besar yang berada di belakang keluarga Uje.
Tampilannya yang sederhana ditanggapi secara keras oleh keluarga Uje. Pipik seolah sedang dikeroyok arus pemikiran umat laki-laki. Ustaz Aswan Faizal (Kakak Uje) bahkan mengatakan bahwa dalam kitab fikih yang membahas tentang idah, seorang istri yang ditinggal mati suaminya tidak lagi memiliki hubungan dengan keluarga suaminya. Aswan menyebut Pipik dengan sebutan ”mantan istri”.
Penonton TV tentu bertanya- tanya, begitu kejamkah ajaran Islam memperlakukan istri yang ditinggal suami. Seolah habis manis sepah dibuang. Mungkin ada hadis yang berbicara tentang terputusnya hubungan setelah ditinggal mati, tapi apakah Islam tidak memiliki sentuhan kemanusiaan. Padahal, Rasulullah SAW begitu memperhatikan para janda yang ditinggal mati suaminya karena berjihad. Nabi bahkan rela mengawani para janda tersebut demi melindungi dan memberi kejelasan masa depan.
Nabi pasti tahu dan sudah memprediksi fitnah yang ditimbulkan, misalnya seperti yang sekarang banyak dituduhkan sejarawan barat, nabi difitnah sebagai hypersex, tapi risiko itu ditempuh Nabi Muhammad SAW demi rasa kemanusiaan. Rakyat yang awam fikih pasti bertanya, lebih penting mana antara makam dengan kemanusiaan. Mengapa keluarga Uje begitu antusias memonopoli makam, sementara membiarkan Pipik menjalani hidupnya sendiri (single parent).
Alangkah manisnya syiar Islam, bila Ustaz Aswan Faisal mempertontonkan bagaimana kepeduliannya terhadap keponakan-keponakan darah daging adiknya sendiri, ketimbang menghardik mantan iparnya dengan sebutan ”mantan” (sebutan yang sungguh menyesakkan baginya, penonton saja banyak yang emosi kok). Alangkah indahnya bila infotainment mengekspos bagaimana Umi Uje mendatangi cucu-cucunya yang baru kehilangan sang ayah.
Membelai rambutnya, menyuapi makan, memeluk, dan seterusnya. Umi Uje justru mempertontonkan bagaimana sebagai seorang nenek lebih peduli pada makam ketimbang kepada yang masih hidup. Cara Pipik mempertontonkan adegan bagaimana dia membaca puisi untuk anaknya, Diba, sebetulnya sebuah sindiran terhadap keluarga Uje, bahwa sang nenek dan sang pakde masih bersambung dengan sang cucu dan sang keponakan. Ustaz Guntur Bumi, Ustaz Zaky, dan Ustaz Bucep, hadir dalam polemik makam Uje bukan memberi kesejukan tapi malah membakar umat, seolaholah Pipik di pihak yang salah.
Cobalah lain waktu, para ustaz selebriti ini ikut memberi contoh kemanusiaan, seperti yang dicontohkan Nabi. Maksudnya bukan harus mengawini mantan istri Uje, tapi datang kepada keluarga Pipik memberi perhatian pada anak-anaknya. Memang tidak ada yang melarang berziarah kubur untuk mengingatkan kematian, tapi sering kali kita berlebihan dalam memperhatikan makam.
Sangat- sangat lebih besar perhatiannya ketimbang memperhatikan anak-anak yatim, yang sedang bersedih ditinggal ayahnya. Lembaga penyiaran sesungguhnya sudah hafal betul bahwa frekuensi yang dipergunakan untuk bersiaran adalah milik publik. Karena itu dia mengemban fungsi ganda, di samping berusaha menghibur masyarakat sekaligus mendidiknya. Isi (content) tidak boleh dibiarkan liar mengikuti kemauan pihak yang bertikai.
Media mestinya ikut andil memberi arah bagaimana agar konflik sebagai tontonan dapat memberi hikmah kepada penonton. UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran sangat perhatian kepada kepentingan kaum perempuan dan anak-anak.
Dengan kemerdekaan berkamera yang dimiliki lembaga penyiaran sesungguhnya dalam kasus rebutan makam, istri almarhum Uje dan anak anaknya tidak layak dikonstruksikan sebagai pihak yang dianiaya kaum laki-laki, tak peduli dia mantan kakak ipar ataupun mereka yang bergelar ustaz. Selain itu juga tidak relevan atas nama hukum fikih penghardikan dan pemojokan kepada kaum perempuan dibiarkan oleh kamera. ●
Semula polemik hanya sekadar perbedaan niat saja. Pipik merasa tidak nyaman karena bentuk bangunan makam suaminya yang mewah tidak sesuai amanah suaminya yang menginginkan makamnya sederhana sesuai akhlak sang suami yang memang penuh kesederhanaan. Sementara pihak keluarga Uje mengaku memewahkan makam sebagai bagian dari penghormatan terhadap almarhum dan memudahkan para peziarah.
Eskalasi konflik menjadi menyeruak ketika banyak para ustaz selebriti yang sering ekspose di televisi ikut nimbrung dalam persoalan keluarga Uje, seolah tak mau menyia-nyiakan magnet pemberitaan itu sebagai bagian dari pemasaran rating. Persoalan menjadi lebar dan menusuk ke masalah kilafiah, menyeret Pipik ke dalam perdebatan masalah fikih dan halal haram. Pernyataan Ustaz Guntur Bumi bahwa polemik makam Uje disebabkan adanya orang-orang yang dengki, yakni para antiziarah, menyebabkan Pipik seperti sedang dijadikan umpan untuk dimusuhi umat yang lebih luas.
Bila tidak dibendung, ini akan meluas menjadi persoalan SARA. Karena polemik makam Uje terlanjur menjadi masalah publik, banyak pertanyaan muncul di benak masyarakat. Misalnya apakah makam termasuk bagian dari harta waris yang mesti diperebutkan. Mengamati tayangan di televisi, nampaknya ada ambisi dari pihak keluarga Uje yang menggunakan makam sebagai monumen. Dalam teori relasi sosial, monumen merupakan instrumen (alat) yang kerap dipergunakan untuk menghimpun legitimasi tertentu.
Dari berbagai statement yang dilontarkan Kakak Uje, Ustaz Aswan Faisal, nampaknya hendak melegitimasi Uje sebagai ulama besar yang harus dihormati. Legitimasi ini mempunyai fungsi sosial, ekonomi, dan politik bagi pewarisnya. Karena itulah, konteks memperebutkan makam Uje sebagai warisan dapat dipahami. Perbedaannya dengan Pipik, dia ingin menghargai suaminya dengan melaksanakan amanah. Namun, justru karena semata menjalankan amanah kesederhanaan itulah, Pipik berbenturan dengan arus besar yang berada di belakang keluarga Uje.
Tampilannya yang sederhana ditanggapi secara keras oleh keluarga Uje. Pipik seolah sedang dikeroyok arus pemikiran umat laki-laki. Ustaz Aswan Faizal (Kakak Uje) bahkan mengatakan bahwa dalam kitab fikih yang membahas tentang idah, seorang istri yang ditinggal mati suaminya tidak lagi memiliki hubungan dengan keluarga suaminya. Aswan menyebut Pipik dengan sebutan ”mantan istri”.
Penonton TV tentu bertanya- tanya, begitu kejamkah ajaran Islam memperlakukan istri yang ditinggal suami. Seolah habis manis sepah dibuang. Mungkin ada hadis yang berbicara tentang terputusnya hubungan setelah ditinggal mati, tapi apakah Islam tidak memiliki sentuhan kemanusiaan. Padahal, Rasulullah SAW begitu memperhatikan para janda yang ditinggal mati suaminya karena berjihad. Nabi bahkan rela mengawani para janda tersebut demi melindungi dan memberi kejelasan masa depan.
Nabi pasti tahu dan sudah memprediksi fitnah yang ditimbulkan, misalnya seperti yang sekarang banyak dituduhkan sejarawan barat, nabi difitnah sebagai hypersex, tapi risiko itu ditempuh Nabi Muhammad SAW demi rasa kemanusiaan. Rakyat yang awam fikih pasti bertanya, lebih penting mana antara makam dengan kemanusiaan. Mengapa keluarga Uje begitu antusias memonopoli makam, sementara membiarkan Pipik menjalani hidupnya sendiri (single parent).
Alangkah manisnya syiar Islam, bila Ustaz Aswan Faisal mempertontonkan bagaimana kepeduliannya terhadap keponakan-keponakan darah daging adiknya sendiri, ketimbang menghardik mantan iparnya dengan sebutan ”mantan” (sebutan yang sungguh menyesakkan baginya, penonton saja banyak yang emosi kok). Alangkah indahnya bila infotainment mengekspos bagaimana Umi Uje mendatangi cucu-cucunya yang baru kehilangan sang ayah.
Membelai rambutnya, menyuapi makan, memeluk, dan seterusnya. Umi Uje justru mempertontonkan bagaimana sebagai seorang nenek lebih peduli pada makam ketimbang kepada yang masih hidup. Cara Pipik mempertontonkan adegan bagaimana dia membaca puisi untuk anaknya, Diba, sebetulnya sebuah sindiran terhadap keluarga Uje, bahwa sang nenek dan sang pakde masih bersambung dengan sang cucu dan sang keponakan. Ustaz Guntur Bumi, Ustaz Zaky, dan Ustaz Bucep, hadir dalam polemik makam Uje bukan memberi kesejukan tapi malah membakar umat, seolaholah Pipik di pihak yang salah.
Cobalah lain waktu, para ustaz selebriti ini ikut memberi contoh kemanusiaan, seperti yang dicontohkan Nabi. Maksudnya bukan harus mengawini mantan istri Uje, tapi datang kepada keluarga Pipik memberi perhatian pada anak-anaknya. Memang tidak ada yang melarang berziarah kubur untuk mengingatkan kematian, tapi sering kali kita berlebihan dalam memperhatikan makam.
Sangat- sangat lebih besar perhatiannya ketimbang memperhatikan anak-anak yatim, yang sedang bersedih ditinggal ayahnya. Lembaga penyiaran sesungguhnya sudah hafal betul bahwa frekuensi yang dipergunakan untuk bersiaran adalah milik publik. Karena itu dia mengemban fungsi ganda, di samping berusaha menghibur masyarakat sekaligus mendidiknya. Isi (content) tidak boleh dibiarkan liar mengikuti kemauan pihak yang bertikai.
Media mestinya ikut andil memberi arah bagaimana agar konflik sebagai tontonan dapat memberi hikmah kepada penonton. UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran sangat perhatian kepada kepentingan kaum perempuan dan anak-anak.
Dengan kemerdekaan berkamera yang dimiliki lembaga penyiaran sesungguhnya dalam kasus rebutan makam, istri almarhum Uje dan anak anaknya tidak layak dikonstruksikan sebagai pihak yang dianiaya kaum laki-laki, tak peduli dia mantan kakak ipar ataupun mereka yang bergelar ustaz. Selain itu juga tidak relevan atas nama hukum fikih penghardikan dan pemojokan kepada kaum perempuan dibiarkan oleh kamera. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar