|
Awal 1980-an, model hukum neoliberal
dikembangkan IMF dan Bank Dunia di banyak negara. Tujuannya tak lain guna
mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi neoliberal, yakni pertumbuhan
ekonomi tinggi bagi kemakmuran masyarakat.
Esensi model hukum ini, hukum didayagunakan untuk efisiensi
biaya transaksi yang diperlukan bagi efisiensi alokasi sumber daya. Di satu
sisi, hukum privat difungsikan untuk memastikan pelaksanaan kontrak dan
melindungi hak atas kekayaan, serta hak-hak perdata lainnya. Di sisi lain,
hukum publik didayagunakan untuk mendisiplinkan perilaku menyimpang dan
mengubah kebijakan yang mengganggu bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas.
Selanjutnya hukum digunakan untuk efisiensi dan efektivitas penyelesaian
sengketa. Sifat hukum jadi positivis-instrumentalis dan tidak mempertimbangkan
aspek-aspek sosial, politik, dan HAM.
Di Indonesia, model hukum neoliberal diperkenalkan
pertengahan 1980-an, lewat sejumlah peraturan meliberalisasikan sektor
keuangan, perbankan, perdagangan, pasar modal, dan investasi. Deregulasi,
liberalisasi, privatisasi ekonomi adalah pilihan kebijakan yang dijalankan
penguasa Orde Baru. Melalui sarana hukum publik, pemerintah mengupayakan
perlindungan hak atas kekayaan, termasuk hak kekayaan intelektual, dan
pemberantasan pungutan liar—kecuali KKN yang di bawah otoritarianisme Orde Baru
bisa hidup berdampingan dengan ekonomi neoliberal.
Kebijakan ekonomi neoliberal dan model hukumnya terbukti
gagal memenuhi janjinya. Dalam tiga dasawarsa pertumbuhan produk domestik bruto
per orang hanya 0,99 persen per tahun di Amerika Latin dan 0,01 persen per
tahun di Afrika. Di Asia, sejumlah negara, seperti Thailand, Malaysia,
Singapura, Korea Selatan, dan Indonesia, mengalami krisis keuangan dan
perbankan yang hampir membawa kebangkrutan negara-negara itu.
Kebijakan ekonomi neoliberal telah pula memperburuk
ketimpangan pendapatan di negara-negara berkembang. Pada 1990, misalnya,
Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) melaporkan kekayaan
bersih 358 orang terkaya di dunia melampaui gabungan pendapatan tahunan
negara-negara dengan 45 persen penduduk dunia, yaitu 2,6 miliar orang (Tor Krever, 2011:300).
Menjaga pasar bebas
Kegagalan dan meluasnya kecaman terhadap kebijakan ekonomi
neoliberal telah mendesak Bank Dunia dan IMF pada pertengahan 1990-an
mendisiplinkan kebijakan ekonomi tersebut, yang kemudian disebut sebagai A Chastened Neoliberalism. Dalam konteks
itu, Kerangka Kerja Pembangunan Komprehensif (Comprehensive Development Framework) Bank Dunia mengedepankan dua
sisi agenda pembangunan, yaitu aspek keuangan dan makroekonomi serta aspek sosial,
struktural, dan manusia.
Sejalan dengan itu, penekanan lebih besar diberikan pula
terhadap masalah-masalah kesehatan, pendidikan, dan kesetaraan jender. Dengan
demikian, faktor-faktor, seperti HAM, pemerintahan yang bersih, dan kedaulatan
hukum, menjadi sentral bagi pencapaian pembangunan (Kerry Rittich, 2005: 200).
Sebagaimana dikemukakan Amartya Sen, pembangunan adalah
kebebasan dan perkembangan manusia mengharuskan adanya kesehatan yang baik,
makanan bergizi, rumah, umur panjang, serta kemampuan untuk punya kekayaan dan
bebas berperan serta dalam suatu masyarakat pasar guna mengembangkan potensi
diri dan menopang keluarga dan diri sendiri.
Dalam konteks itu, pasar berarti sebuah arena bagi
pelaksanaan kebebasan manusia, yakni kebebasan berusaha, kebebasan konsumen,
kebebasan bekerja, serta menabung untuk mendukung diri dan keluarganya. Negara
sebaiknya tidak melanggar HAM atau menghambat pasar, tetapi memperluas
kebebasan dengan menyediakan keamanan dan memajukan pemenuhan kebutuhan dasar
manusia.
Dalam perspektif ini, model pembangunan hukum
pascaneoliberal diarahkan untuk mewujudkan kedaulatan hukum, HAM, dan
demokrasi. Di satu sisi, hukum digunakan untuk menjaga sistem ekonomi pasar
bebas guna efisiensi alokasi sumber daya serta di sisi lain, kedaulatan
hukum—otonomi serta netralitas pengadilan dan institusi penegak hukum
lainnya—diupayakan guna mendisiplinkan perilaku menyimpang. Sebutlah, seperti
monopoli, manipulasi harga, suap, dan korupsi, yang semua itu mengganggu
bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas. Selanjutnya hukum didayagunakan untuk
memperkuat lembaga demokrasi dan perlindungan HAM.
Model hukum pascaneoliberal membolehkan pemerintah
mengeluarkan regulasi guna mengatasi kegagalan pasar. Sementara perlindungan
sosial diupayakan melalui pendekatan soft law atau peraturan tanpa
sanksi, seperti kode perilaku, peraturan tanggung jawab sosial perusahaan.
Walaupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya diakui, model hukum
pascaneoliberal lebih menekankan pemenuhan hak-hak sipil dan politik. Di sektor
publik, model hukum ini terus mengedepankan tata kelola pemerintahan yang baik
dan kampanye antikorupsi.
Di Indonesia, pengaruh model hukum pascaneoliberal terlihat
dalam reformasi hukum nasional sejak 1998, meliputi: (1) bidang politik, yakni
amandemen UUD 1945 dan beberapa legislasi yang dimaksudkan untuk memperkuat
landasan demokrasi dan HAM; (2) bidang ekonomi, yaitu beragam legislasi guna
mendukung bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas, tata kelola pemerintahan yang
baik, dan pemberantasan KKN; (3) bidang keadilan hukum berupa aneka legislasi
untuk mendukung kemandirian dan netralitas polisi, jaksa, dan hakim; serta (4)
bidang perlindungan sosial, yaitu beragam legislasi dan regulasi untuk
melindungi hak-hak sosial para warga.
Terjadi ketimpangan
Sebagaimana kita saksikan, implementasi model hukum
pasca-neoliberal lebih mengedepankan bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas,
pemberantasan KKN, terorisme, berbagai bentuk gangguan keamanan, dan demokrasi
prosedural, yakni pemilu sebagai transaksi pasar politik yang sarat politik
uang, yaitu ketika proses dan hasil pemilu dikendalikan para kapitalis. Adapun
perlindungan sosial dijalankan melalui kebijakan hukum lunak, seperti kode
perilaku, regulasi tanpa sanksi, dan BLSM.
Sampai di situ, kita saksikan ketimpangan model hukum
pasca-neoliberal. Ia lebih berpihak ke rezim pasar bebas dan demokrasi
prosedural dengan menelantarkan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, serta
demokrasi substansial, yakni perluasan makna kebebasan manusia dan hakikat
partisipasi publik dalam pembangunan. Keadaan ini sungguh jauh dari aspirasi
sistem ekonomi pasar sosial/demokrasi substansial sebagaimana diamanatkan
Pancasila dan UUD 1945. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar