|
Setelah diresmikan tanggal 11 Agustus
2010, program Merauke Integrated Food and Energy Estate tidak banyak terdengar
gaungnya.
Cukup
mengejutkan, ketika sejumlah LSM nasional ataupun internasional menyurati PBB
agar menghentikan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) karena
dianggap mengancam kelangsungan hidup suku Malind (Kompas, 26/7). Program yang
diproyeksikan meliputi 1,2 juta hektar lahan untuk memproduksi bahan pangan dan
bioenergi itu pasti berdampak luas dan jangka waktu panjang. Pertanyaannya,
apakah program tersebut dapat menjamin keadilan dalam alokasi sumber daya alam
sesuai dengan semangat konstitusi? Salah satu tujuan MIFEE adalah memperkuat
cadangan pangan dan bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan
ketahanan pangan nasional serta memasuki pasar bahan pangan dunia melalui
ekspor produk pangan.
Untuk
mempercepat pelaksanaan program MIFEE diterbitkan Inpres Nomor 5 Tahun 2008
tentang Fokus Program Ekonomi Tahun 2008-2009, khususnya untuk mempersiapkan
program MIFEE dan Inpres No 1/2010 tentang Percepatan Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun 2010, yang antara lain mengamanatkan
penyusunan Grand Design Food and Energy Estate di Merauke. Dari
sekitar 46 perusahaan yang berminat berinvestasi, sampai saat ini sekitar 11
perusahaan mulai beraktivitas. Siapa yang diuntungkan dan dirugikan dari
program ini? Perusahaan jelas berpeluang diuntungkan dalam jangka panjang;
sebaliknya masyarakat hukum adat (MHA), terutama suku Malind sebagai pemilik
tanah ulayat, mulai merasakan dampak negatifnya.
Secara fisik,
pada wilayah MHA yang sudah dibuka, hutan adat untuk bahan obat, kayu bakar,
kayu perahu dan bangunan, rawa sagu, serta binatang-binatang buruan sebagai
sumber kehidupan masyarakat semua ikut (di)lenyap(kan). Hilangnya tempat-tempat
keramat sesuai kepercayaan masyarakat dan tanaman-tanaman yang berharga untuk
ritual adat jelas merupakan ancaman terhadap kepercayaan, identitas budaya, dan
simbol leluhur MHA. Permasalahannya, apakah kebijakan izin lokasi yang tak
membolehkan perusahaan menghilangkan tempat keramat dan sumber kehidupan MHA
bisa diterjemahkan di lapangan?
Dampak
sosial-ekonomi benturan antara ekonomi berbasis pasar dan ekonomi subsisten
tampak dalam beberapa hal. Pertama, hilangnya sumber kehidupan MHA, di samping
tingkat pendidikan yang rendah dan tiadanya keterampilan mengakibatkan MHA
tersingkir dari sektor pertanian berbasis pasar. Kedua, terbatasnya tenaga
kerja dari MHA mengharuskan perusahaan mendatangkan tenaga kerja dari luar
Papua, yang membuat MHA kian tersingkir dari akses terhadap sumber ekonomi.
Ketiga, peluang ekonomi yang besar untuk memperoleh jabatan dalam perusahaan
ataupun pemerintahan lebih mudah diraih orang luar Papua yang memiliki akses
ekonomi dan akses politik.
Dampak
lingkungan beroperasinya perusahaan dapat dilihat dari pencemaran air yang
mengakibatkan lenyapnya binatang-binatang air sebagai sumber kehidupan, juga
menimbulkan beragam penyakit kulit, gangguan pencernaan, dan gangguan kesehatan
lain. Mencari air bersih mengharuskan jarak tempuh yang sangat jauh, yang
berpotensi mengancam keamanan dan kenyamanan hidup MHA.
Keberpihakan
Desain program
MIFEE cenderung memihak investor yang butuh kepastian hukum dan kepastian
berusaha. Perhatian yang seimbang belum diberikan kepada MHA sebagai pemilik
tanah yang diperlukan investor. Ada sekitar 18 peraturan perundang-undangan
yang menjadi landasan hukum program MIFEE, tetapi tak satu pun dimaksudkan
untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak asasi MHA. Setidaknya perlu dua
peraturan untuk melindungi MHA ketika berhadapan dengan kepentingan investor
agar jaminan keadilan dapat diberikan bagi kedua belah pihak. Pertama, terkait
dengan kesepakatan. Selama ini, MHA mengeluh karena dalam negosiasi tak pernah
disampaikan informasi komprehensif dan obyektif oleh perusahaan terkait
kegiatan dan dampak positif maupun negatifnya.
Rencana
investasi sama sekali tak melibatkan MHA; negosiasi juga tak melibatkan MHA
secara keseluruhan. Aturan main yang harus ditempuh perusahaan terkait sejumlah
perizinan juga tak disampaikan ke masyarakat. Tidak jarang kesepakatan dihasilkan
melalui tekanan, tipu daya, atau bujuk rayu. Penandatanganan ”perjanjian”
dilakukan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (satu hari), disertai upacara
adat; isi perjanjian tidak dipahami MHA, dan salinannya tidak selalu diserahkan
kepada MHA.
Kedua, jika dua
pihak dengan posisi tawar jauh berbeda berhadapan, hak dan kewajiban setiap
pihak akan cenderung tak seimbang. Hal ini, antara lain, tampak dalam penentuan
ganti kerugian/imbalan yang diterima MHA. Contoh: untuk tanah MHA 40.000 hektar
yang diserahkan kepada perusahaan selama 25 tahun, diberikan ”tali asih” Rp 6
miliar. Jika dihitung, tanah MHA dihargai Rp 6.000 per hektar per tahun! Contoh
lain, untuk per meter kubik kayu, dihargai Rp 12.500 oleh perusahaan. Padahal,
jika masyarakat menjual kayu yang sudah dibersihkan kepada pembeli kayu yang
datang ke kampung mereka, masyarakat mendapat Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per meter
kubik kayu.
Dampak negatif
ini mengindikasikan kekurangsiapan pemerintah menyusun peraturan komprehensif
terkait: (1) tata cara melakukan negosiasi dengan MHA melalui free, prior
and informed consent (FPIC) sesuai dengan aturan main dalam sejumlah
konvensi internasional serta (2) pedoman penetapan ganti kerugian/imbalan untuk
tanah ulayat yang dimanfaatkan perusahaan. Ganti kerugian yang hanya didasarkan
nilai ekonomis tanah tak dapat diterapkan dalam kasus tanah ulayat.
MHA memberikan
nilai sosial-budaya dan magis-religius secara khusus, selain nilai ekonomis
tanahnya. Jika dikehendaki, pedoman FPIC dapat dikembangkan berdasarkan konvensi
internasional dan pedoman-pedoman yang sudah ada. Dengan FPIC, MHA dapat
memberikan persetujuan, mengusulkan perubahan, atau menolak, berdasarkan
informasi yang disampaikan dalam tahap awal, yang menjelaskan secara
komprehensif kegiatan yang akan dilakukan di atas tanahnya, meliputi dampak
positif ataupun negatif yang mungkin timbul. Penentuan besarnya ganti kerugian
tanah ulayat juga dapat merujuk pada pengalaman-pengalaman negara-negara lain.
Meski peraturan
terkait FPIC dan penetapan ganti rugi telah disiapkan, pemanfaatan tanah ulayat
harus dilandasi pemahaman yang benar terkait subyek hak ulayat sesuai struktur
kemasyarakatan MHA bersangkutan dan kepastian hukum terkait wilayah adatnya
untuk meminimalkan persoalan yang mungkin timbul.
Perlu ketegasan
Pelaksanaan
MIFEE perlu dievaluasi. Hingga kini, dari enam tujuan MIFEE, belum satu pun
menunjukkan arah ke sana, bahkan cenderung berlawanan arah, antara lain terkait
kesejahteraan masyarakat Merauke, percepatan pemerataan pembangunan, dan
penciptaan lapangan kerja. Sebelum peraturan perundang-undangan dan kebijakan
terkait hak MHA dibentuk, seyogianya program MIFEE dihentikan sementara waktu.
Terhadap perusahaan yang telah beroperasi perlu evaluasi terkait semua
perizinan yang telah terbit disertai sanksi tegas terhadap pelanggarannya.
Koordinasi, supervisi, dan evaluasi program MIFEE merupakan keniscayaan jika
pemanfaatan SDA dimaksudkan untuk tercapainya kesejahteraan, khususnya bagi
masyarakat Merauke. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar