|
Banyak cara membangun pencitraan.
Mulai dari tampil di sejumlah media, turun ke basis-basis pemilih, hingga
membanjiri area publik dengan beragam peraga kampanye.
Seantero bumi pertiwi nyaris
seragam: disesaki spanduk dan baliho yang muncul bak cendawan di musim hujan.
Ada pencitraan yang taat aturan, banyak pula yang serampangan menabrak etika
politik dan regulasi kampanye yang telah ditetapkan. Praktik tak etis ataupun
pelanggaran aturan kerap kali disamarkan dengan beragam modus.
Modus pencitraan
UU No 8/2012 Pasal 83 memang
memberi peluang kampanye pemilu legislatif sejak 11 Januari 2013 hingga 5 April
2014. Setelah itu akan ada agenda kampanye untuk pemilihan presiden/wakil
presiden. Wajar, jika partai politik sudah memanaskan mesin pemenangannya. Salah
satu metodenya melalui pemasaran politik para caleg dan capres.
Yang patut disikapi secara kritis
adalah sejumlah perilaku pencitraan yang jelas-jelas menerabas kepatutan dan
melanggar aturan. Idealnya kampanye jadi bagian pendidikan politik masyarakat dan
dilaksanakan secara bertanggung jawab. Realitasnya, dengan mudah kita bisa
mengidentifikasi sejumlah modus pencitraan yang menjengkelkan.
Pertama, konsep publisitas politik
pejabat publik yang kian hari kian intensif. Di sepanjang jalan utama di banyak
kota, terpampang baliho dan reklame besar-besaran mengatasnamakan program
kementerian. Misalnya narasi untuk mencintai produk Indonesia. Sekilas tak ada
masalah, tapi kian hari intensitas iklan jenis ini kian marak di berbagai
saluran komunikasi.
Bisa saja sang menteri berkilah,
tak ada aturan yang dilanggar karena modusnya memakai pendekatan publisitas
politik, bukan kampanye pemilu yang lazimnya mengumbar visi/misi, program, dan
mengajak orang untuk memilih. Tapi jika diraba lebih dalam, ada konflik kepentingan
dalam publisitas politik tersebut, yakni soal kepatutan sang menteri yang
menjadi penunggang bebas popularitas.
Jika iklan kementerian tersebut
membutuhkan endorser yang bisa memalingkan perhatian publik pada isi
pesan, sesungguhnya bisa menggunakan publik figur lain yang tidak tumpang
tindih dengan kepentingan politik partisan. Hal seperti ini tidak hanya
dilakukan oleh beberapa menteri SBY, juga pimpinan DPR, DPRD, dan kepala daerah
yang jadi petahana.
Kedua, modus pemanfaatan akses
teknologi simulasi realitas. Ini terkait dengan media yang banyak ditunggangi
secara serampangan oleh para pemiliknya. Memang sejak lama para pengkaji
menilai, media sebagai ”medan pertempuran” banyak hal. Jhon Sinclair dkk (New Patterns in Global Television: Peripheral
Vision, 1996) menyebutkan, televisi sebagai medium cangkokan yang
megah.
Lebih umum lagi, media massa dalam
tulisan Michael Schudson (The Power of
News, 1995), dipandang sebagai ”sebab”
terjadinya pendistribusian informasi dengan memilih konsumen yang visible dan terukur. Karakteristik
media seperti ini, biasa dibaca secara ganda, sebagai sumber daya ekonomi
sekaligus politik. Saat media mengalami konsentrasi kepemilikan di grup besar
yang dikendalikan oleh pengusaha-politisi, maka sempurnalah media-media
tersebut menjadi jejaring pencitraan, bahkan manipulasi.
Jangan heran jika beragam momentum
yang disediakan media-media yang bergabung di grup media milik politisi
pengusaha tersebut bagi lingkaran elite utama partainya.
Gurita media sang pengusaha politisi
mampu menggilas aturan main yang sesungguhnya sudah ada.
Misalnya, pada Pasal
96 UU No 8/2012, diatur soal larangan menjual blocking
segment dan blocking time. Pada Pasal 97, batas maksimum pemasangan
iklan kampanye pemilu di TV secara kumulatif sebanyak
10 spot berdurasi paling lama 30 detik, untuk radio
10 spot berdurasi paling lama 60 detik per hari.
Pun demikian di Peraturan KPU
(PKPU) Nomor 1 Tahun 2013 yang sudah direvisi menjadi PKPU No 15/2013, di mana
pedoman pelaksanaan kampanye sudah jelas. Namun, aturan tinggal aturan: anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.
Terlebih KPU, Bawaslu, KPI, Dewan Pers pun kerap kali hanya bersikap normatif
sehingga akhirnya pelanggaran pun menjadi hal lumrah dan dianggap biasa saja.
Mekanisme kampanye
Satu hal lagi yang sepatutnya
mendapat perhatian publik, yaitu penunggang bebas popularitas selama perhelatan
konvensi milik Demokrat. Selama delapan bulan ke depan, Partai Demokrat tentu
akan memanfaatkan konvensi ini sebagai etalase citra politiknya. Partai yang
dipimpin SBY ini akan menggenjot popularitas dan elektabilitasnya melalui
konvensi yang dikampanyekan mereka sebagai mekanisme demokratis dalam pencarian
capres.
Kekhawatiran publik soal penunggang
bebas mulai terkonfirmasi dengan munculnya kontroversi siaran tunda konvensi
oleh TVRI. Tindakan TVRI tersebut dianggap membahayakan eksistensinya sebagai
Lembaga Penyiaran Publik, sebagaimana diamanatkan UU No 32/2002. Bukan semata
soal pelanggaran etika, melainkan ditabraknya sejumlah regulasi siaran.
Harus ada kejelasan yang mengatur
mekanisme kampanye para kontestan di luar jadwal komite konvensi. Jika tak
diatur, akan berpotensi besar berbenturan dengan aturan kampanye yang ada saat
ini.
Semua peserta konvensi harusnya
memelopori transparansi anggaran kampanye. Siapa saja pihak ketiga penyumbang
dana kampanye mereka. Jika tidak transparan, sangat mungkin muncul ”investor hitam” dan ”penunggang gelap” di konvensi Demokrat.
Pencitraan politik boleh-boleh saja dilakukan, tetapi tidak dengan melanggar
aturan dan mencederai kepatutan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar