Sabtu, 28 September 2013

Hegemoni Politik Guru

Hegemoni Politik Guru
Sulistyo ;  Ketua Umum Pengurus Besar  PGRI, Anggota DPD Wakil Provinsi Jateng
SUARA MERDEKA, 27 September 2013


KEPRIHATINAN Presiden SBY saat memahami hegemoni politik kepala daerah terhadap profesi guru belakangan ini patut memperoleh perhatian. Kebijakan pendidikan terus-menerus dan susul-menyusul mengambinghitamkan guru sebagai generasi bisu, inferior, dan menjadi bagian bidak-bidak kekuasaan kepala daerah. Betapa besar kuasa kepala daerah atas guru sehingga nasib pendidik senantiasa digenggam dalam arus kekuasaan.

Guru bisa menjadi bagian dari mobilisasi kekuasaan. Tetapi bila ia beroposisi terhadap kekuasaan, karier bisa terancam: dipindah, disingkirkan, dimarginalisasikan sesuai kehendak kepala daerah. Ada paradoks nasib yang bisa dialami guru dalam arus kekuasaan kepala daerah. Bila menjadi bagian mesin politik kekuasaan kepala daerah, kemungkinan guru memperoleh kesempatan mendapatkan kekuasaan. 
Meskipun, jabatan itu tak ada kaitan sama sekali dengan dunia pendidikan.

Apakah guru memang benar-benar bisa membebaskan diri dari arus besar pusaran politik kepala daerah? Selama ini guru diperlakukan sebagai komoditas kebijakan pendidikan kepala daerah. Guru diposisikan sebagai objek, bahkan dipersalahkan dalam segala kemerosotan mutu pendidikan. Desentralisasi pendidikan yang membawa dampak hegemoni politik terhadap guru telah menuai kritik tajam dari berbagai pihak.

Karena itu, Presiden SBY memerintah Mendikbud, Mendagri, serta Menpan dan RB di depan Ketua Umum PB PGRI selesai pembukaan Kongres PGRI beberapa waktu lalu untuk mencegah keberlarut-larutan hegemoni politik terhadap guru. Memerdekakan guru dari ketakutan terhadap hegemoni politik kepala daerah akan bermakna pada peningkatan mutu pendidikan, bila tak ingin mengulangi sejarah politik masa lalu, yang meletakkan guru sebagai mesin politik partai berkuasa.

Pada masa lalu, hegemoni kekuasaan terhadap guru merasuki kurikulum, bahan ajar, sikap perilaku, dan ideologi guru terhadap kekuasaan. Kurikulum yang mendukung program pemerintah, bahan ajar yang membawa harmoni bagi program pemerintah, dan perilaku guru yang memiliki loyalitas tunggal terhadap kekuasaan, menjadi syarat utama  guru semasa itu.

Niat baik pemerintah untuk meretas desentralisasi guru  mesti diikuti beberapa syarat yang memerdekakan nasib guru dari hegemoni kekuasaan yang lebih besar seperti masa lalu. Hendaknya guru kembali pada fitrah sebagai pendidik, yang tak terombang-ambing kepentingan-kepentingan politik. Guru menumbuhkan kreativitas, menumbuhkan etos siswa dalam dinamika zaman, dan memiliki kegairahan meningkatkan mutu pendidikan secara murni.

Bagaimana kita membebaskan guru dari hegemoni politik kepala daerah agar dapat memberdayakan profesinya? Tiga tokoh pemerhati pendidikan menjadi menarik untuk dikutip gagasannya. Pertama; gagasan Erich Fromm.  ìMencintai negara tanpa mencintai kemanusiaan sama saja dengan menyembah berhala,î tulisnya. Inilah gagasan Fromm dalam pendidikan agar individu tak kehilangan hakikat dirinya.

Kedua; gagasan Paulo Freire, yakni pendidikan yang membebaskan, pendidikan yang memanusiakan. Jangan sampai berkembang dehumanisasi dalam dunia pendidikan karena  dikerdilkan lewat ketidakadilan dan eksploitasi. Penerapan pendidikan yang membebaskan memerlukan kekuatan politik: proyek-proyek  pendidikan. Guru dan siswa sama-sama menjadi subjek dalam tugas menciptakan pengetahuan.

Ketiga; gagasan pemerhati pendidikan yang lain, yang tak kalah memikat datang dari Ivan Illich. Ia melihat celah alternatif persekolahan. Pengajaran yang diwajibkan di sekolah dipandang membunuh kehendak banyak orang untuk belajar secara mandiri; pengetahuan diperlakukan ibarat komoditas, dikemas-kemas dan dijajakan, diterima sebagai sejenis harta pribadi oleh yang menerimanya, dan selalu langka di pasaran.

Mengembalikan Martabat

Kritik Erich Fromm, Paulo Freire, dan Ivan Illich, merupakan katarsis bagi kita untuk menyelenggarakan pendidikan yang tak terkungkung hegemoni politik. Kita tidak perlu mengembangkan skeptisisme dan sinisme terhadap dunia pendidikan sebagaimana diulas Erich Fromm. Kita tidak perlu melakukan revolusi membebaskan diri dari institusi pendidikan—  yang diidentifikasikan sebagai kaum penindas— untuk mengembalikan humanisme seperti ditandaskan Paulo Freire. Kita juga tak perlu mengikuti paradigma Ivan Illich, untuk ìmenggulingkan sekolah mapanî atau ìmembebaskan kebudayaan dari sekolah.

Mestinya kita melihat kelemahan hegemoni politik atas guru dan institusi pendidikan supaya bisa memberi sugesti untuk mencapai mutu pendidikan yang diharapkan. Sudah waktunya kita tak memberangus institusi pendidikan sebagaimana kritik tajam Ivan Illich. Ia berhasrat mengembalikan martabat institusi pendidikan, memancarkan citra humanisme dan kebudayaan di dalamnya.

Saat ini manajemen dan perlakuan terhadap guru jelek dan tidak jelas arahnya. Jika pemerintah berkehendak memenuhi usul PGRI supaya guru ditarik ke pusat atau setidak-tidaknya ke provinsi, pemerintah harus menyiapkan sistem, perangkat, dan tenaga terpilih untuk mengurus. Penyiapan itu supaya guru tidak keluar dari mulut harimau masuk ke mulut buaya yang sangat buas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar