|
Salah satu peran negara yang digariskan konstitusi adalah
menjaga, melindungi, atau menyelamatkan hak hidup warga. Kalau hak hidup warga
sering sering terancam dan dijadikan obyek permainan, ini mengindikasikan
kegagalan negara dalam memerankan peran humanitas strukturalnya.
Firman Allah SWT menyebutkan, "Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka
seolah-olah ia memelihara kehidupan manusia semuanya" (QS, Al-Maidah:
32). Ayat ini ditafsirkan oleh Nurcholis Madjid, "siapa yang menghidupi satu orang, identik dengan menghidupi
manusia sejagad, dan siapa yang membunuh satu orang, identik dengan membunuh
manusia sejagad".
Interpretasi Cak Nur tersebut dapat dipahami, bahwa hidup
seseorang di muka bumi ini wajib dilindungi.
Perlundungan kepadanya, sama
dengan melindungi puluhan dan jutaan manusia lainnya. Yang tergantung pada
nyawa satu orang bukan hanya anak, isteri, atau anggota keluarga dekatnya,
tetapi juga elemen masyarakat lainnya. Ketika nyawa seorang anak manusia
tercabut, bisa terjadi, kepentingan banyak orang akan tereksaminasi.
Dalam Pasal 9 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia ayat (1) dipertegas, bahwa setiap orang berhak untuk hidup, dan
mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Ketentuan yuridis itu
menunjukkan bahwa hak untuk hidup merupakan hak mendasar yang melekat atau
dimiliki seseorang sebagai karunia Tuhan. Tuhan telah mempercayakan kepada
manusia untuk menjalani atau membangun kehidupannya dengan baik, benar, dan
bertanggungjawab, terutama saat manusia ini mendapatkan amanat publik.
Salah satu model menjalani kehidupan dengan baik adalah
dengan cara berusaha melindungi dan menjaga diri dari berbagai bentuk ancaman
atau penyakit sosial yang membahayakan diri dan keselamatannya. Salah satu
jenis penyakit sosial yang membahayakan ini adalah kemiskinan. Kemiskinan
merupakan jenis penyakit yang bisa mengakibatkan terjadinya disharmonisasi
internal keluarga maupun disharmonisasi punlik.
Kemiskinan, sebagaimana laporan Bank Dunia terbaru
menunjukkan, sebagian besar penduduk miskin di Asia Tenggara tinggal di
Indonesia. Lebih dari 110 juta orang Indonesia hidup dengan penghasilan kurang
dari 2 dolar AS atau kurang dari Rp 19 ribu per hari. Jumlah orang sebanyak itu
sama dengan total penduduk Malaysia ditambah seluruh penduduk Vietnam dan
Kamboja (Ilham Gunawan, 2011).
Meski kemiskinan termasuk penyakit sosial, namun seseorang
miskin tetap tidak boleh dibiarkan hidup hingga meninggal dunia akibat
kemelaratannya itu. Mereka yang hidup miskin ini tetaplah pelaku sejarah yang
menentukan kualitas keberlanjutan hidup diri dan elemen keluarganya. Mereka
itu, mempunyai hak hidup yang mendapatkan privilitas untuk melakukan pembebasan
dan pembaruan bagi keluarganya, seperti kewajiban mengingatkan negara saat
elemennya "membisukan" nurapninya atau merebut haknya saat didengar
ada pemimpin negara atau elit kekuasaan bermaksud membagi-bagikan dana publik
seperti bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).
Terbukti, begitu mereka mendengar adanya BLSM maka terjadi booming orang miskin dan mereka
berbondong-bondong mendatangi tempat penyaluran. Sikap seperti ini menandakan,
bahwa mereka merindukan kesejahteraan.
Sahabat Ali RA, sosok cendekiawan dan pejuang muda di zaman
Nabi Muhammad SAW pernah berkomentar, "andaikan aku bertemu kemiskinan,
tentu aku akan membunuhnya". Komentar ini dapat ditafsirkan, bahwa dalam
diri pejuang atau pemegang kekuasaan, orang-orang miskin merupakan "proyek
fundamentalnya", yang wajib diprioritaskan untuk digarap.
Orang miskin bukan hanya menjadi "proyek"
kesalehan invidual, tetapi seharusnya juga kesalehan kekuasaan. Siapa saja yang
sedang menyandang prediket aparat negara, punya kewajiban untuk membuat peran
dan kewenangannya mampu memberikan dampak perubahan di lini perbaikan ekonomi
atau kesejahteraan hidupnya.
"Orang-orang
miskin, orang-orang di jalanan, yang tinggal dalam selokan, yang kalah di dalam
pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan", demikian sajak WS Rendra, yang sebenarnya sebagai bentuk
kritik terhadap praktik pelecehan, pendiskriminasian, penindasan atau
ketidakadilan terhadap orang-orang miskin, orang-orang yang tertindas, atau
kumpulan manusia yang sedang dikalahkan oleh seseorang atau sekelompok orang
yang membangun kekuatan yang memproduk kezaliman kekuasaan berlapis-lapisnya.
Dalam kesalehan kekuasaan, setiap pejabat atau pengelola
dananya orang miskin dituntut "sahih" dalam ucapana mupun tindakan.
Antara kata dengan realitas harus menyatu menjadi bahasa yang berpihak pada
rakyat. Kesahihan kekuasaan merupakan investasi terbesar bagi kemaslahatan
publik. Rakyat miskin tidak akan pernah bisa keluar dari ketertindasannya,
selama pelaku kekuasaannya masih lebih senang dan bangga memelihara dan
membenarkan pola penindasan dan pendiskriminasian.
Apa yang sudah menjadi hak orang miskin tidak boleh
ditunda-tunda, diabaikan, ditelantarkan, dan apalagi sengaja dipermainkan,
karena sejatinya, orang miskin ini sudah tidak sabar menunggu haknya berpihak
kepadanya. Selama ini, orang miskin lebih sering dieliminasi dan alinasikan
dari bingkai amanat struktural kerakyatan.
Ketika suatu saat muncul kemarahan atau sikap radikalis
dari orang miskin, mereka cepat-cepat distigma sebagai rakyat yang tidak penyabar,
tidak membudayakan antri, atau tidak pekerja keras. Padahal mereka ini
sejatinya sudah banyak berusaha membebaskan diri dari kemiskinannya, namun
tetap kesulitan atau terkadang dibuat sulit oleh negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar