|
Tulisan ini pada awalnya adalah
semacam wujud dari kegelisahan dan sekaligus ambisi untuk menemukan metode yang
dapat digunakan dalam meneliti sastra Indonesia. Hal-hal pertama yang menjadi
kegamangan peneliti dalam melakukan kajian sastra Indonesia adalah menentukan:
(1) memilih karya sastra yang akan dipilih, (2) menentukan tema atau topik apa
yang akan dipilih, (3) menemukan informasi yang lengkap tentang karya dan
pengarang, (4) menemukan sumber data dan referensi tentang sastra Indonesia
secara menyeluruh, (5) apa yang membedakan satu pengarang dengan pengarang
lain, atau (6) adakah perbedaan budaya memengaruhi karya dan pengarang satu
dengan lainnya?
Persoalan ini menjadi besar,
mengingat Indonesia tak dapat direpresentasikan dengan satu budaya khusus,
nilai sosial tersendiri, muatan karya sastra yang memiliki semangat nasional
untuk dapat dibicarakan sebagai Indonesia. Karena itu, ketika kajian-kajian
sastra Indonesia dibicarakan dalam semangat dan tema tertentu, selalu
meninggalkan pertanyaan besar apakah ia dapat merangkum keragaman dan kekhasan
budaya, dan lebih khusus lagi, apakah ia dapat membongkar isi di dalam karya
sastra yang tersebar itu?
Untuk menyusun semacam tawaran
dalam mengatasi masalah tersebut, selama beberapa tahun saya mengamati dan menyusun gagasan regionalisme sastra,
baik karena keterlibatan langsung atau juga karena sekadar dorongan untuk
menemukan jalan yang lebih jelas, dalam wilayah Sumatera Barat. Alasan
geografis merupakan langkah pertama dalam mengajukan metodologi regionalisme
sastra ini. Bagi peneliti sastra, perkembangan dan fenomena sastra yang ada dan
terjadi di sekitarnya merupakan bagian intim yang dapat digali.
Mobilitas tinggi dan kediaman yang
paling memungkinkan untuk mengeksplorasi habis-habisan persoalan di lingkungan
terdekat adalah sebuah langkah yang menguntungkan. Risiko kehilangan informasi,
melakukan dialog, diskusi, menemukan sumber karya dan informasi kesejarahan
masih dapat ditanggulangi dengan biaya dan waktu yang minim.
Peneliti juga dapat melakukan peran
lain dengan menggerakkan kesadaran komunitas dan lingkungannya untuk membangun
sejarah dan kehidupan sastra di daerahnya. Apalagi, dukungan lembaga dan
institusi yang memiliki wilayah kerja kebudayaan hampir dimiliki oleh setiap
lembaga pemerintah daerah, lembaga pendidikan, komunitas seni, lembaga swadaya,
yang bagi saya menyimpan potensi luar biasa untuk dikembangkan.
Alasan kedua adalah kebebasan yang
dimiliki oleh peneliti atau pengkaji sastra untuk menentukan sendiri apa yang
akan ditelitinya. Kebebasan ini dapat diarahkan dengan menyusun agenda, payung
penelitian, dan juga peta jalan penelitian yang secara terus-menerus dilakukan
guna melengkapi khazanah pustaka sastra sebuah wilayah.
Contoh terakhir yang saya dapatkan
adalah apa yang coba dilakukan oleh salah seorang dosen sastra Indonesia di
Kalimantan. Ia mencoba mulai memilih tawaran skripsi mahasiswa untuk meneliti
karya-karya pengarang di daerahnya. Contoh ini sangat menarik, karena membawa
napas bagi pengetahuan yang komprehensif untuk membongkar karya-karya dan
perkembangan sastra berdasarkan peta geografis. Demikian juga yang dapat
dilakukan oleh media massa atau lembaga seperti badan bahasa atau badan
pelestarian nilai budaya, yang ada di sejumlah daerah.
Jika ini dilakukan secara bersamaan
di berbagai daerah, maka akan muncul gerakan dan gelombang besar dalam
metodologi penelitian dan apresiasi sastra Indonesia. Pada tingkatan tertentu,
metode ini tidak membatasi pilihan dan kebebasan peneliti atau lembaga yang
melakukan penelitian. Apalagi, jika ada kesadaran untuk memberikan pemaknaan
lain dalam pendekatan sastra perbandingan, untuk melakukan kajian-kajian
perbandingan sastra antara satu daerah dengan daerah lain di Indonesia, untuk
kemudian memperkuat kajian sastra perbandingan di tingkat yang lebih tinggi.
Kajian yang mendalam terhadap perkembangan sastra di daerah-daerah tertentu
sebenarnya telah dilakukan oleh misalnya George Quinn, Nyoman Darma Putra,
Maman S Mahayana, dan sejumlah peneliti di Badan Bahasa. Oleh karena itu,
paparan dalam tulisan ini sebenarnya hanya menegaskan apa dan bagaimana
pendekatan penelitian sastra yang dapat dilakukan di Indonesia.
Kajian
Kajian yang terfokus, dalam hal ini
secara geografis, dapat memberikan peluang dalam menggali kekhasan dan kekayaan
estetika dan budaya, yang selama ini nyaris tidak mengemuka dalam berbagai
kajian yang dilakukan. Karena itu, jika dilakukan regionalisasi kajian,
dokumentasi, strategi pengembangan, penyediaan fasilitas pendukung dan jaringan
antar lembaga atau komunitas, upaya tersebut dalam dilakukan secara bertahap
dan teratur.
Melihat kekuatan potensi yang ada
tersebut, tidak diragukan lagi bahwa peluang untuk bersama-sama membangun
kesenian dan sastra dapat dilakukan. Namun, peta ini akan tetap kabur jika
tidak ada benang merah berupa kerja sama dan program yang efisien dalam meraih
tujuan bersama untuk mengembangkan seni dan budaya. Belakangan ini tidak pernah
terdengar lagi pertemuan atau musyawarah untuk membicarakan rencana atau desain
besar kebudayaan. Program dan desain kebudayaan biasanya muncul begitu saja,
tanpa arah dan strategi yang jelas untuk pengembangan dan kelangsungannya.
Kegiatan dan daerah yang memiliki
peluang untuk pengembangan seni budaya patut didukung secara bersama sehingga
akan muncul model strategi yang dapat dikembangkan. Sebuah daerah dapat
mengoptimalkan kekhasan budayanya untuk dikaji dan diolah, yang pada akhirnya
akan mendapatkan dialog dan dialektika, dikenal dan dipelajari, dan jika
memungkinkan menjadi ikon yang dapat dibanggakan.
Bagi pengembangan apresiasi sastra,
dari pengalaman bersama beberapa orang dalam mengadakan diskusi bergilir di
sejumlah kabupaten/kota dan juga diskusi rutin yang dilakukan, kebutuhan ruang
untuk mendiskusikan berbagai persoalan sastra masih sangat diperlukan. Banyak
generasi muda yang tertarik untuk membaca dan mengapresiasi, serta berlatih
untuk menulis karya sastra. Melalui forum dan media diskusi inilah akan lahir
pertemuan-pertemuan pikiran, pembahasan ide-ide, hingga kritik dan masukan yang
berarti bagi para sastrawan dan juga calon penulis.
Di samping itu, manfaat lain yang
meskipun sudah diketahui umum, namun belum mendapat tempat yang semestinya,
adalah segi ekonomi dari sastra dan seni. Secara profesional, sastra merupakan
karya personal. Akan tetapi, kehidupan sastra sangat berkait hubung dengan
kehidupan sosial. Bukan hanya nilai kemanusiaan dan moral, akan tetapi juga
didukung oleh aspek penerbit, media massa, pendidikan, budaya, pemerintahan,
komunitas, pembaca, hingga toko buku atau jalur distribusi.
Regionalisme sastra, membuka
peluang baru dalam merancang dan menemukan pola pengembangan sastra yang lebih
jelas. Kerja sama, tujuan yang sama, meskipun dengan cara kerja yang berbeda,
akan membuka kemungkinan pengembangan sastra menemukan bentuknya. Karena
tawaran metode regionalisme sastra Indonesia ini berangkat dari pengalaman dan
pembacaan terhadap perkembangan kesusasteraan yang terjadi, rumusan atau
konsepsi yang terangkum dari/dalam buku ini bisa jadi masih perlu
diperdebatkan. Setidaknya, tulisan ini menawarkan sebuah langkah kerja yang
mungkin dapat diterapkan. Atau karena kesalahan dalam membaca perkembangan,
tawaran ini belum merangkum semangat dan arah perkembangan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar