Senin, 30 September 2013

Food Safety AS dan Kesiapan RI

 Food Safety AS dan Kesiapan RI
Achmad Rachman  ;  Atase Pertanian KBRI Washington, DC 
REPUBLIKA, 23 September 2013


Tidak bisa disangkal bahwa pasar domestik Indonesia yang sangat besar menjadi incaran berbagai jenis barang impor, tidak terkecuali produk makanan, baik segar maupun hasil olahan. Seberapa dominan bahan makanan impor dalam komposisi makanan yang kita konsumsi sehari-hari, sampai saat ini belum ada jawaban yang pasti. Namun, yang hampir pasti adalah bahwa komposisi impor dibanding produk lokal akan makin meningkat dalam dekade mendatang. Pertanyaannya, seberapa siap pemerintah dalam melindungi rakyatnya dari serbuan produk impor terutama dalam kaitannya dengan perlindungan kesehatan melalui penjaminan keamanan pangan (food safety), baik terhadap manusia maupun hewan.

Pada Januari 2011, pemerintah AS menerbitkan satu undang-undang, yaitu Food Safety and Modernization Act (FSMA). Aturan itu lahir antara lain dilatar-belakangi adanya kekhawatiran akan makin meningkatnya komposisi impor dibanding produk lokal dalam menu makanan sehari-hari di AS yang saat ini secara umum sudah mencapai 15 persen, khusus untuk buah-buahan segar mendekati 75 persen. Dengan makin meningkatnya komposisi impor, maka risiko masuknya berbagai penyakit (manusia, tanaman, dan hewan), hama tanaman, dan kontaminan lainnya dalam produk makanan yang diimpor makin besar. 

Cara-cara pencegahan masuknya berbagai produk impor yang tidak sesuai standar yang dilakukan sebelum terbitnya FSMA yaitu mencegah masuknya barang tersebut di pintu masuk, seperti pelabuhan, bandara, dan perbatasan, dianggap tidak memadai lagi. Pada 2011, diperkirakan sekitar 24 juta kapal merapat di sekitar 300 pintu masuk AS membawa produk impor yang berada dalam pengawasan US Food and Drug Adminstration (USFDA) dan berasal dari 150 negara. Jumlah kapal pembawa barang impor tersebut meningkat empat kali lipat dalam 10 tahun terakhir dan diperkirakan akan meningkat sebesar 15 persen tiap tahunnya. 

FSMA memberi kewenangan yang lebih besar kepada USFDA, antara lain kewenangan melakukan inspeksi mengikuti alur rantai produksi, mulai dari tahapan produksi di tingkat petani sampai pada proses dan pengepakan, ke negara asal komoditas sebelum masuk AS. Visi FSMA adalah pencegahan-- mencegah munculnya masalah food safety sebelum terjadi--lebih baik dari bereaksi saat masalah itu sudah terjadi. 

Produk-produk yang diproduksi tidak sesuai dengan standar AS berdasarkan hasil inspeksi USFDA akan dilarang masuk AS. Dengan cara ini, maka pemerintah AS berkeyakinan dapat melindungi rakyatnya dari mengonsumsi produk yang tidak sesuai dengan standar mereka.

Implementasi FSMA menyadarkan kita akan dua hal, yang pertama adalah bahwa industri pangan kita harus berbenah mengikuti standar perdagangan internasional. Pengabaian terhadap profesionalisme industri pangan ini akan semakin menenggelamkan produk Indonesia di pasar internasional.

Yang kedua pemerintah Indonesia perlu mengambil kebijakan yang lebih elegan dalam menyi kapi makin derasnya impor bahan pangan, segar dan olahan, ke dalam negeri. Kebijakan tersebut harus bermuara pada kepentingan melindungi konsumen dalam negeri dari produk yang tidak sesuai standar, mencegah masuknya hama dan penyakit tanaman dan hewan, dan hak konsumen untuk mengetahui asal-usul makanan yang akan dibeli. 

Implementasinya tentu tidak mudah karena berbagai alasan, antara lain adalah bahwa penerapan standar untuk komoditas impor tertentu menuntut pemberlakuan standar yang sama untuk komoditas yang diproduksi dalam negeri. Namun demikian, bisa diambil jalan tengah, yaitu dengan mengecualikan komoditas yang diproduksi dari petani kecil, seperti yang juga diberlakukan dalam FSMA. 

Sarana laboratorium sumber daya manusianya harus dibangun mengikuti standar internasional dalam hal akurasi dan metodologinya sehingga senantiasa siap melakukan pengujian terhadap produk yang diimpor dan hasilnya diakui secara internasional. Demikian juga ketentuan yang terkait dengan labeling perlu segera diberlakukan untuk memberi kepastian kepada konsumen terhadap produk yang dikonsumsi. Labeling ini tak hanya mengurai fisik produk, tapi juga bagaimana produk itu diproses apakah halal atau tidak. 

Perjalanan untuk sampai pada kondisi tersebut tentu membutuhkan waktu yang tidak pendek. Sebagai gambaran, FSMA yang diundangkan pada Januari 2011 hingga saat ini belum secara efektif diimplementasikan karena masih berkutat pada penyusunan aturan sebagai turunan dari undang-undang tersebut. Namun, jika tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar