Sabtu, 28 September 2013

Lowongan Menjadi Petani

Lowongan Menjadi Petani
Doni Osmon  ;    Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya,
Anak petani di kaki Gunung Talang, Solok, Sumatera Barat
SINAR HARAPAN, 27 September 2013


Dunia pertanian dari hari ke hari mulai ditinggalkan. Di daerah pinggiran Jakarta, Bekasi misalnya, seperti dicatat Biro Pusat Statistik Jawa Barat, jumlah usaha bidang pertanian dari tahun ke tahun mulai menyusut. Bisa jadi akibat minat masyarakat rendah pada dunia pertanian. Sekalipun memang ada kemungkinan faktor lain, rendahnya minat menggeluti profesi petani menarik untuk kita simak.
Bekerja sebagai petani berarti rela menempati posisi sangat rendah dalam tingkat kebanggaan di tengah masyarakat. Secara realita, profesi petani menempati posisi paling bawah untuk suaranya bisa didengar dalam organisasi negara. Mereka adalah kelompok masyarakat yang paling lemah untuk bisa mengubah haluan suatu negara.

Kontras dengan profesi pedagang. Dalam penjajahan klasik, tercatat di dalamnya VOC sebagai persekutuan dagang. Begitupun pada masa imperialisme modern. Ada nama WTO yang juga organisasi dagang. Organisasi inilah yang memberi resep-resep ampuh (yang belum terbukti hingga kini) untuk negara Indonesia. Bahkan, sebagian rakyat merasakan petani Indonesia menjadi korban WTO.
Setuju atau tidak setuju dengan hal di atas, tak bisa dipungkiri suara pedagang jauh lebih nyaring didengar daripada suara petani yang biasanya berpencar di desa-desa. Mereka sangat jauh dari pintu kekuasaan.

Hal ini berlangsung sejak zaman dulu hingga sekarang. Kesan bahwa petani adalah profesi kelas dua dalam masyarakat, ditangkap pula oleh Philip K Hitti dalam masterpiece-nya History of the Arabs. Mengawali uraiannya tentang masyarakat nonmuslim masa imperium Islam dulu, ia menuliskan, “orang-orang Arab menganggap dirinya terlalu mulia untuk terjun ke aktivitas pertanian.”

Kecuali Salman Al-Farisi dalam periode awal Islam, praktis tidak ada tokoh sahabat utama yang disebut berprofesi sebagai petani, sebut saja Abu Bakar ra, Ustman bin Affan, dan lain-lain. Begitu juga pada era mutakhir. Kecuali George Washington, Jimmy Carter, dan beberapa presiden masa awal, praktis tidak ada presiden AS yang profesi awalnya adalah petani. George Bush Jr hingga Obama, tidak hidup dari mengolah tanah.

Begitu juga di Tanah Air, mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan lainnya, rata-rata di antaranya adalah tentara, ilmuwan, akademikus, pegawai pemerintah, dan tentu saja pengusaha/pedagang.
Petani adalah profesi lemah dan kurang dinamis dibanding pedagang. Kekuatan pedagang secara alamiah adalah aksesnya lebih tinggi terhadap arus informasi dan berbagai perkembangan riil di masyarakat. Profesi ini identik dengan hiruk-pikuk pasar.

Ilustrasi kondisi ekstrem dari sisi kedinamisan, semisal pedagang mogok untuk satu produk yang mesti ia jual, tak seberapa masalah baginya jika dibanding dengan petani. Ia bisa beralih ke produk lain lebih cepat dan mudah dibanding petani. Kalaupun mesti bertahan untuk produk yang sama, ia bisa beralih ke petani lain, bahkan petani luar negeri untuk mendapatkan barang pertanian yang hendak ia jual.
Sebaliknya, petani tidak segampang itu beralih haluan, mengingat ada masa menunggu seiring usia tanaman, cocoknya musim tanam, cuaca yang mendukung, ketersediaan bibit yang diandalkan, serta lahan yang sudah dimiliki. Itulah kondisi riil yang dihadapi petani sejak zaman kuda gigit besi.

Jika sekadar untuk makan sehari-hari, boleh jadi bukan persoalan di kebanyakan masyarakat saat ini. Berbeda halnya dalam soal akses terhadap berbagai layanan, seperti pendidikan dan kesehatan, negara memang tak menjamin kecuali dengan memperlihatkan uang, alternatifnya menunjukkan “kartu miskin”.
Banyaknya putera-puteri yang didorong menjadi pegawai pemerintah (baca: PNS), tentu karena orang tua paham akan kondisi negara yang seperti ini. Upaya memiskinkan masyarakat ini tentu tak bisa dilepaskan dari agenda-agenda IMF dan WTO di Indonesia yang khusyuk dijalankan pemerintah.

Memang, seperti yang dijanjikan pemerintah lewat Kementerian Pertanian, untuk ke depan akan dibuat kebijakan terhadap harga pupuk, harga bibit, pemberian kredit, jaminan harga jual produk (untuk kedelai khususnya) dan lainnya. Pada intinya, negara menjanjikan perbaikan nasib petani. Pemerintah seolah berkata, terbuka lowongan menjadi petani.


Terikat perjanjian dengan IMF, kemudian menawarkan solusi jangka pendek, tidakkah kita melihat ini jebakan (lagi)? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar