|
Dunia
pertanian dari hari ke hari mulai ditinggalkan. Di daerah pinggiran Jakarta,
Bekasi misalnya, seperti dicatat Biro Pusat Statistik Jawa Barat, jumlah usaha
bidang pertanian dari tahun ke tahun mulai menyusut. Bisa jadi akibat minat masyarakat
rendah pada dunia pertanian. Sekalipun memang ada kemungkinan faktor lain,
rendahnya minat menggeluti profesi petani menarik untuk kita simak.
Bekerja
sebagai petani berarti rela menempati posisi sangat rendah dalam tingkat
kebanggaan di tengah masyarakat. Secara realita, profesi petani menempati
posisi paling bawah untuk suaranya bisa didengar dalam organisasi negara.
Mereka adalah kelompok masyarakat yang paling lemah untuk bisa mengubah haluan
suatu negara.
Kontras
dengan profesi pedagang. Dalam penjajahan klasik, tercatat di dalamnya VOC
sebagai persekutuan dagang. Begitupun pada masa imperialisme modern. Ada nama
WTO yang juga organisasi dagang. Organisasi inilah yang memberi resep-resep
ampuh (yang belum terbukti hingga kini) untuk negara Indonesia. Bahkan,
sebagian rakyat merasakan petani Indonesia menjadi korban WTO.
Setuju
atau tidak setuju dengan hal di atas, tak bisa dipungkiri suara pedagang jauh
lebih nyaring didengar daripada suara petani yang biasanya berpencar di
desa-desa. Mereka sangat jauh dari pintu kekuasaan.
Hal
ini berlangsung sejak zaman dulu hingga sekarang. Kesan bahwa petani adalah
profesi kelas dua dalam masyarakat, ditangkap pula oleh Philip K Hitti
dalam masterpiece-nya History of the Arabs. Mengawali uraiannya tentang masyarakat
nonmuslim masa imperium Islam dulu, ia menuliskan, “orang-orang Arab menganggap
dirinya terlalu mulia untuk terjun ke aktivitas pertanian.”
Kecuali
Salman Al-Farisi dalam periode awal Islam, praktis tidak ada tokoh sahabat
utama yang disebut berprofesi sebagai petani, sebut saja Abu Bakar ra, Ustman
bin Affan, dan lain-lain. Begitu juga pada era mutakhir. Kecuali George
Washington, Jimmy Carter, dan beberapa presiden masa awal, praktis tidak ada
presiden AS yang profesi awalnya adalah petani. George Bush Jr hingga Obama,
tidak hidup dari mengolah tanah.
Begitu
juga di Tanah Air, mulai dari Soekarno, Soeharto, BJ Habibie, dan lainnya,
rata-rata di antaranya adalah tentara, ilmuwan, akademikus, pegawai pemerintah,
dan tentu saja pengusaha/pedagang.
Petani
adalah profesi lemah dan kurang dinamis dibanding pedagang. Kekuatan pedagang
secara alamiah adalah aksesnya lebih tinggi terhadap arus informasi dan
berbagai perkembangan riil di masyarakat. Profesi ini identik dengan
hiruk-pikuk pasar.
Ilustrasi
kondisi ekstrem dari sisi kedinamisan, semisal pedagang mogok untuk satu produk
yang mesti ia jual, tak seberapa masalah baginya jika dibanding dengan petani.
Ia bisa beralih ke produk lain lebih cepat dan mudah dibanding petani. Kalaupun
mesti bertahan untuk produk yang sama, ia bisa beralih ke petani lain, bahkan
petani luar negeri untuk mendapatkan barang pertanian yang hendak ia jual.
Sebaliknya,
petani tidak segampang itu beralih haluan, mengingat ada masa menunggu seiring
usia tanaman, cocoknya musim tanam, cuaca yang mendukung, ketersediaan bibit
yang diandalkan, serta lahan yang sudah dimiliki. Itulah kondisi riil yang
dihadapi petani sejak zaman kuda gigit besi.
Jika
sekadar untuk makan sehari-hari, boleh jadi bukan persoalan di kebanyakan
masyarakat saat ini. Berbeda halnya dalam soal akses terhadap berbagai layanan,
seperti pendidikan dan kesehatan, negara memang tak menjamin kecuali dengan
memperlihatkan uang, alternatifnya menunjukkan “kartu miskin”.
Banyaknya
putera-puteri yang didorong menjadi pegawai pemerintah (baca: PNS), tentu
karena orang tua paham akan kondisi negara yang seperti ini. Upaya memiskinkan
masyarakat ini tentu tak bisa dilepaskan dari agenda-agenda IMF dan WTO di
Indonesia yang khusyuk dijalankan pemerintah.
Memang,
seperti yang dijanjikan pemerintah lewat Kementerian Pertanian, untuk ke depan
akan dibuat kebijakan terhadap harga pupuk, harga bibit, pemberian kredit,
jaminan harga jual produk (untuk kedelai khususnya) dan lainnya. Pada
intinya, negara menjanjikan perbaikan nasib petani. Pemerintah seolah berkata,
terbuka lowongan menjadi petani.
Terikat
perjanjian dengan IMF, kemudian menawarkan solusi jangka pendek, tidakkah kita
melihat ini jebakan (lagi)? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar