Minggu, 29 September 2013

Caleg Gentong Babi

Caleg Gentong Babi
Iwan Fauzi ;  Praktisi Politik, Mahasiswa Program Doktoral UI
SINAR HARAPAN, 28 September 2013


Politik gentong babi (pork barrel politics) merupakan penggunaan anggaran belanja pemerintah untuk proyek pembangunan dengan tujuan politik (Michael W Drudge, 2010).

Di Indonesia dikenal sebagai politik anggaran (budgeting politics). Biasanya dilakukan kepala daerah atau wakil rakyat terkait langsung kucuran dana APBD atau APBN kepada masyarakat.
Dengan adanya proyek, terdapat dua keuntungan. Pertama, diharapkan simpati masyarakat akan meningkat terhadap sang kandidat. Kedua, dari proyek itu pula sang kandidat akan mendapatkan kickback atau komisi dari pengusaha.

Di Amerika Serikat, perilaku politik gentong babi sudah lama terjadi. Awal abad 19, Wakil Presiden AS, John C Calhoun, membuat jembatan dan jalan. Namun, proyek tersebut dianggap tidak bermanfaat (bridge nowhere) dan terjadi penggelembungan dana (mark-up). Malah lebih menguntungkan pribadi sang Wapres AS. Akhirnya rakyat Amerika mengecam perilaku John C Calhoun sebagai pelaku pork barrel spending.

Tidak hanya di Amerika, ternyata perilaku politik gentong babi juga menular ke beberapa negara lainnya, termasuk Filipina.

Masa pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos ketika mempertahankan kursi presidennya, ia dituding melakukan politik gentong babi oleh lawan politiknya, Benigno Aquino Jr. Begitu pula di Indonesia, Presiden SBY sempat dikritik soal program Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang ditengarai mendongkrak suara SBY pada Pilpres 2009.

Sudah mafhum adanya, politik gentong babi terjadi di Indonesia. Setelah pemilihan kepala daerah (pilkada) usai dimenangkan petahana, puluhan kasus gugatan masuk ke mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu gugatan utama, tentu saja permainan politik anggaran.

Dari sekian puluh kasus yang masuk ke MK, ternyata hanya segelintir yang terbukti. Bahkan, belum satu pun kasus masuk ke ranah korupsi. Ini artinya, permainan politik anggaran layaknya fatamorgana, tampak di depan mata tetapi sulit terbukti di depan hakim.

Caleg petahana

Pengalaman Pileg 2009 menyiratkan pemilihan langsung (direct vote) sangat tergantung kemahiran caleg secara individu beserta timnya menggaet suara. Hal yang sama juga bakal terjadi dalam Pileg 2014 nanti.
Pileg 2014 mengacu pada UU Pemilu Nomor 8 Tahun 2012. Dalam Pasal 5 disebutkan, pemilu legislatif (DPR dan DPRD) dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

Pasal 205 juga menjelaskan suara partai dan individu caleg diakumulasi, kemudian menjadi kuota kursi. Artinya, seorang caleg dinyatakan lolos menjadi wakil rakyat berdasarkan perolehan suara terbanyak di daerah pemilihan (dapil) masing-masing.

Untuk calon DPRD Kabupeten/Kota dapil meliputi tiga hingga 12 kecamatan. Begitu pula caleg DPR dan DPRD Provinsi, ruang lingkupnya dua hingga lima kabupaten/kota. Luasnya wilayah garapan, mau tak mau mengorbankan biaya besar.

Jadi, bisa dibayangkan betapa banyaknya dana yang dikeluarkan seorang caleg untuk sosialisasi dan alat peraga berdialog di depan sejumlah massa. Apalagi saat ini penggunaan alat peraga baliho dan spanduk bukan lagi jurus ampuh mendulang suara.

Selain itu, akhir-akhir ini berkembang tren sosial, rakyat ingin langsung bertatap muka dengan calon yang akan diusungnya. Rakyat tidak mau “beli kucing dalam karung” lewat sihir alat peraga. Akibatnya sekarang terpaksa caleg blusukan menemui konstituennya.

Bisa dibayangkan betapa menggelembungnya dana yang dikeluarkan seorang caleg untuk sosialisasi. Bagi caleg memiliki dana pas-pasan tentu agak kerepotan. Tetapi bagi caleg petahana mungkin bisa diakali.

Salah satu kekhawatiran adalah penggunaan politik gentong babi. Dalam prasangka, ketika trimester terakhir anggaran pemerintah, sering dimunculkan proyek-proyek “aneh” berbasis bantuan sosial. Bahkan, dari proyek itu pula timbul komisi uang segar (fresh money) menujurus tindakan koruptif yang selanjutnya digunakan biaya sosialisai.

Mengusung proyek pembangunan di mata masyarakat merupakan nilai tambah. Namun, tindakan jargon memperdaya rakyat dengan proyek dadakan tanpa konsep jelas cenderung pemborosan anggaran pemerintah.


Itu sebabnya perilaku politik gentong babi mesti diwaspadai. Alih-alih penggelontoran anggaran hanya sekadar politik pencitraan (imagology politics), ujungnya rakyat juga yang kena tipu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar