|
SEKALIPUN
ada ungkapan banyak yang ditawarkan, pilih sesuai keinginan, bagi kalangan
konstituen deret an panjang calon presiden (capres) atau calon legislatif
(caleg) tidak memudahkan pilihan. Memilih di antara sekian banyak orang hebat
memang tidak gampang. Apalagi setiap calon pemimpin menampilkan diri atau
ditampilkan sebagai yang paling tepat. Seandainya konstituen homogen,
barangkali persoalannya lebih mudah karena, paling tidak, para konstituen
diasumsikan memiliki tolok ukur serupa, walaupun tak sama; tergantung sisi mana
fokusnya. Ada yang fokusnya sisi spiritual, sisi nasionalisme, sisi kepandaian
dan kecerdasan, atau integritas maupun kejujuran.
Bahkan ada yang mengandalkan
penampilan. Unsur-unsur seperti itu yang menyebabkan banyak perusahaan public relations (PR) di negara-negara
maju menjadi laku menjelang pemilu. Dengan mencermati bagaimana pasar
konstituen, mereka akan merumuskan konsep kampanye yang tepat agar partainya
laku. Di masyarakat yang berpolitik maju, pendidikan politik para konstituen
dianggap memadai hingga mereka mampu membuat pilihan sendiri.
Kita sekarang sudah mulai ramai
berbicara tentang jajaran pimpinan yang dibutuhkan masa depan. Bedanya dengan
di negara maju, latar belakang pendidikan/pengetahuan politik kostituen kita
belum merata, bahkan heterogen, hingga sulit mencapai hasil yang diharapkan
menggambarkan kesatuan persepsi. Di samping itu, budaya baca belum juga tumbuh
di negara yang sudah hampir tujuh dasawarsa merdeka ini. Lantas, dari mana
sumber informasi dan inspirasi mereka, kalau bukan dari tayangan televisi? Itu
pun mayoritas penonton akan memilih tayangan yang mudah dicerna dan menghibur.
Bukan yang rumit dan berbelit-belit, yang dianggap mengganggu ketenangan
pikiran.
Toh ada yang tidak terima ketika
dikatakan, banyak di antara kita masih naif soal politik; yang menyebabkan capres
dan caleg yang populer dan dermawan mungkin akan lebih mudah mendapat suara. Ini
antara lain menjelaskan mengapa money
politics masih marak. Elektabilitas tokohtokoh populer yang dermawan tentu
lebih besar daripada yang pandai dan mengandalkan kejujuran semata, ataupun
yang berintegritas, tetapi bersikap tegas kalau bukan keras.
Dalam suatu obrolan santai pernah
ada komentar cerdas, “Untuk pemimpin masa
depan, berhati baik saja tidak cukup. Perlu sikap tegas.“ Namun berapa
banyak di antara kita menyadarinya? Partai-partai politik pun tidak merasa
wajib mengurangi kalau bukan menghapuskan kenaifan itu, misalnya lewat
pendidikan politik. Malahan mungkin akan banyak yang memanfaatkan kenaifan itu
untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Tuntutan perbaikan situasi
Tegas tidak selalu berarti keras.
Seninya terletak pada bagaimana menerjemahkan konsep tegas. Misalnya, perilaku
disiplin dan teratur menuntut sikap tegas pimpinan. Pembiaran akan memperkeruh
keadaan. Bila kita baca situasi masyarakat akhir-akhir ini, secara realistis
dan pragmatis kita tahu bahwa kerusuhan, kekerasan, dan keresahan sosial yang
ada tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Itu bila kita mengangankan terwujudnya
Indonesia yang kita cita-citakan. Pemilu 2014 memberi kesempatan untuk
memperbaiki situasi dengan memilih jajaran pemimpin baru yang mumpuni. Yang
menyedihkan, benih-benih kekacauan sosial ini justru sering dibangkitkan
orang-orang yang diharapkan memimpin dan memberi teladan.
Banyak sinyalemen bahwa kita belum
siap berdemokrasi. Apakah partai-partai politik sebagai pilar-pilar demokrasi
merasa perlu memberikan pendidikan integritas kepada kader-kadernya, mengingat
bahwa salah memilih pemimpin dilakukan di manamana? Materialisme dan
pragmatisme telah menggerogoti. Wajar timbul kecurigaan terhadap partai-partai
politik yang, notabene, melahirkan pemimpin-pemimpin politik. Maka ketika
terjadi demo atau tawuran dalam berbagai bentuk, kita cepat curiga; apakah
pesertanya murni atau sudah bermental bayaran?
Situasi ideal
Idealnya,
sebelum Pemilu 2014, kekisruhan sosial-politik ini sudah bisa diatasi, walaupun
belum sesempurna yang kita kehendaki. Mungkin itu pula yang digagas Abraham
Samad ketika mengatakan kasus korupsi Bank Century akan selesai sebelum akhir
2012. Dia mengatakannya ketika baru diangkat menjadi ketua KPK, Desember 2011.
Bahwa lebih dari satu tahun kemudian kasus itu belum juga tuntas membuktikan,
bila kasusnya ada kaitannya dengan pusat-pusat kekuasaan ternyata
penyelesaiannya memakan waktu sangat lama. Diperlukan beberapa hari untuk
memvonis pencuri ayam. Kasus pencurian uang rakyat triliunan rupiah memerlukan
bertahun-tahun, malahan mungkin prosesnya akan membeku sebelum mencapai titik
akhir. DPR yang dinyatakan mewakili rakyat pun tampak tidak berdaya. Di DPR
kedaulatan rakyat telah terbelenggu.
Kelirukah kalau dalam pemilu nanti
ada kelompok-kelompok yang memutuskan menjadi golongan putih (golput)? Yang
memiliki potensi menjadi golput tentunya yang mengerti situasi dan memegang
prinsip tidak mau membohongi diri; selain mereka yang mulai kehilangan rasa
percaya pada sistem politik yang ada. Kalangan intelektual muda cenderung bersikap
demikian.
Jumlahnya memang kalah
dibandingkan dengan kalangan politisi yang meyakini bahwa pemilu menjadi
tuntutan demokrasi yang harus dibela dan dipertahankan. Selain itu, ada
orang-orang yang tidak berkecimpung dalam pergaulan politik tetapi masih
bersedia mengikuti arus karena tidak terlalu peduli siapa yang akan menang;
asalkan kepentingan mereka terlindungi.
Kesimpulannya, kalau dalam Pemilu
2014 jumlah golput meningkat pesat, atau kita salah memilih pemimpin, tentu
bukan semata-mata para calon pemimpin yang salah. Sebagian besar kesalahan
terletak pada para pemilih sendiri. Para pemimpin hanya menjawab kehendak
masyarakatnya. Bagaimana masyarakat, begitulah para pemimpinnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar