|
TANTANGAN Kepolisian Negara RI makin bertambah berat. Saat
ini, rakyat kian tidak puas dengan kinerja pemerintah dalam memberikan rasa
aman. Di sisi lain, polisi yang seharusnya jadi pengayom warga, belakangan ini
diliputi suasana teror. Sementara suhu politik menjelang Pemilu 2014 makin
meningkat.
Kian tingginya ketidakpuasan rakyat atas kinerja pemerintah
dalam memberi rasa aman terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas yang
dilakukan secara periodik (Kompas, 22/9/13).
Dalam bernegara, pembahasan rasa aman di tengah masyarakat
tak akan bisa lepas dari peran Polri. Hal itu mengingat secara yuridis, peran
memelihara keamanan dalam negeri jadi domain Polri. Undang-
Undang Nomor 2 Tahun
2002 tentang Polri secara jelas menyebutkan hal itu.
Karena itu, ketika hasil survei beberapa media, termasuk
Kompas, kembali menggugat rasa aman akhirakhir ini, Polri menjadi garda
terdepan untuk menjawabnya. Bagaimana strategi Polri mengembalikan peran negara
dalam memberikan rasa aman kepada rakyat? Salah satunya secara internal, dengan
mengubah konsep untuk menguatkan fungsi preventif yang selama ini terabaikan.
Tiga Fungsi
Konstruksi dari organisasi Polri yang kini didukung sekitar
400 ribu personel, menempatkan bidang-bidang tugas operasional untuk mendukung
pelaksanaan tugas tadi. Bidang fungsi operasional itu dikelompokkan dalam tiga
pilar, yaitu bidang preemtif, preventif ,dan represif. Bidang preemtif
dijalankan oleh fungsi intelijen kepolisian, yang memberikan peringatan/deteksi
dini dan kontribusi kerangka bertindak fungsi operasional lain.
Sebagaimana fungsi intelijen pada umumnya, intelijen Polri
harus bisa mendeteksi dan memprediksi gejala yang timbul dari tiap kejadian.
Sekecil apa pun kejadian itu, harus bisa diproyeksikan dampaknya bagi rasa aman
masyarakat. Sebelum jadi benih-benih permasalahan, intelijen sudah harus bisa
masuk ke dalamnya, melakukan penggalangan dan menjadikannya sebagai kekuatan
positif yang bisa dikelola demi keterwujudan rasa aman.
Ketika peran ini kurang maksimal maka peran tugas preventif
(pencegahan) akan tampil. Dilakukan komunikasi, dialog, menampung aspirasi
kemudian dikelola untuk bersama-sama Polri mencegah, menguatkan diri (imun)
terhadap gelagat terjadinya kejahatan, dalam wujud pengamanan swakarsa. Bila
potensi itu sudah amelembaga dalam masyarakat maka ia bisa berperan aktif,
bersama-sama Polri, mewujudkan rasa aman.
Ciri-ciri sudah terlembaganya kekuatan tersebut adalah
adanya kesadaran masyarakat untuk melapor bila jadi korban kejahatan, bersedia
menjadi saksi, melaporkan atau mau peduli tiap ada gelagat yang mencurigakan di
sekitar tempat tinggalnya. Adapun konstruksi represif akan bergerak ketika
risiko gangguan terhadap rasa aman itu sudah tak bisa dikendalikan melalui
upaya preemtif dan preventif atau penegakan hukum.
Penegakan hukum itu mencakup ketentuan undang-undang yang
bersifat umum sebagaimana dalam KUHP dan yang bersifat khusus, di antaranya
terorisme, korupsi, dan narkotika. Tiga jenis kejahatan tersebut, sejatinya
bisa menjadi barometer penegakan hukum oleh Polri, mengingat ketiganya adalah
kejahatan luar biasa yang sangat meresahkan masyarakat.
Tempat Favorit
Sebagaimana teori dalam organisasi, tiga fungsi operasional
yang menjadi subsistem, harus bisa bersinergi satu dengan lainnya. Tidak boleh
ada yang merasa dirinya subsistem utama. Bisa dianalogikan, apalah arti mesin
canggih bagi sebuah mobil dengan kapasitas silinder besar namun tidak didukung
komponen, seperti selang bensin atau ban, yang berfungsi baik? Inilah yang
terjadi pada diri organisasi Polri saat ini.
Kita masih melihat penempatan personel-personel yang
îutamaî pada salah satu fungsi, tanpa memberikan keseimbangan pada fungsi
lainnya. Masih ada pengotak-ngotakan dan persepsi bahwa fungsi represif adalah
tempat favorit, ”pos basah” dan sebagainya. Akibatnya, lulusan terbaik sekolah
pembentukan atau pengembangan Polri berebut masuk ke sana. Hal ini sangat
disadari oleh pimpinan Polri, salah satunya Kapolda Metro Jaya Irjen Putut Eko
Bayu Seno.
Ia membuat terobosan dengan menempatkan lulusan Akpol,
PTIK, ataupun Sekolah Pimpinan Polri pada fungsi preventif. Harapannya,
tercetus banyak gagasan baru yang bisa menebalkan daya tangkal, daya cegah
masyarakat terhadap kejahatan, sekaligus menguatkan partisipasi mereka terhadap
tugas Polri. Harus ada perubahan konsep bahwa fungsi pencegahan yang diemban
fungsi Bimbingan Masyarakat (Binmas) Polri, bukan pelengkap dari fungsi-fungsi
yang ada. Lebih baik mencegah ketimbang membiarkan menjadi penyakit, yang sulit
untuk menyembuhkannya.
Fungsi preventif kuat, masyarakat imun, dan berpartisipasi
pada tugas Polri, akan menjadi kekuatan besar dalam mengatasi gangguan
kamtibmas. Realitas itu secara otomatis bisa mengembalikan peran negara dalam
menjamin rasa aman rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar