|
Secara tidak sengaja, saya temukan tulisan di
internet berjudul ‘The CIA in Indonesia,
1965-1967'. Tulisan itu tidak berdiri sendiri. Tapi terkait dengan laman
sebelumnya yang memuat sejumlah nama diplomat Amerika Serikat yang pernah
bertugas di Indonesia di era 1960-an.
Sekalipun tidak lagi
terlalu mengejutkan tentang soal dwi fungsi dari tiap diplomat Amerika Serikat,
yaitu ada yang menyamar sebagai agen rahasia, tetapi tulisan itu cukup menarik.
Tulisan itu lebih
memperkuat fakta bahwa di antara para diplomat Amerika Serikat yang bertugas di
Indonesia, tidak semuanya diplomat murni. Padahal pekerjaan memata-matai
seperti itu, sudah diatur dalam konvensi mengenai pekerjaan diplomat. Artinya
diplomat adalah diplomat, dan bukan merangkap agen rahasia.
Kegiatan para agen
rahasia itu sengaja disamarkan kemudian melakukan "perusakan dari
dalam" terhadap Indonesia. Misi perusakan itu sesuai dengan yang tetapkan
pemerintah Amerika Serikat.
Yang menarik untuk
disoroti, sebagai agen rahasia dari CIA, para ‘diplomat’ itu mempunyai misi yang
tidak berperikemanusiaan. Seperti ‘mengompori’ orang Indonesia untuk saling
bunuh. Warga Indonesia yang menjadi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh
CIA dianggap sebagai ‘musuh yang harus dimusnahkan’.
Memang bukan CIA yang
melakukan eksekusi. Tetapi justru tentara atau orang Indonesia yang dipimpin
oleh Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kostrad yang
berperan sebagai eksekutor.
Kerja sama antara CIA
dengan Kostrad dibuat serapih mungkin. Agen CIA di Jakarta memberikan daftar
nama pimpinan dan anggota PKI kepada orang kepercayaan Soeharto. Atas dasar itu
anak buah Soeharto melakukan penangkapan dan kemudian pembunuhan. Nama yang ada
dalam daftar berjumlah antara 4.000-5.000.
Tetapi dalam
kenyataan, yang dibunuh mencapai ratusan ribu orang. Mereka dibunuh, karena
menurut eksekutor, kalau hanya ditangkap dan diinterogasi, para interogator
harus memberi mereka makan. Nah, agar tidak membebani, mereka yang sudah keburu
ditangkap langsung dieksekusi saja.
Kisah ini jika dibaca
di era Presiden Soeharto (1966-1998), akan berbeda maknanya. Eksekusi itu bisa
dianggap sebagai sebuah hal normal dan wajar. Bahkan kisah itu bisa menimbulkan
empati kepada Amerika Serikat, apabila dibaca pada saat era Perang Dingin,
perang ideologi antara Amerika Serikat dan sejumlah negara komunis.
Perang Dingin yang
baru berakhir pada Desember 1990 telah menempatkan Indonesia sebagai negara
antikomunis yang bersahabat dengan Amerika Serikat. Sehingga keterlibatan
Amerika Serikat di politik Indonesia, termasuk pembunuhan terhadap para anggota
PKI, merupakan kewajiban dalam keberpihakan terhadap Amerika Serikat.
Warga Indonesia yang
hidup di negara Pancasila melarang ideologi komunis, berreaksi secara posotif
terhadap pembantaian itu.
Namun jika laporan
itu dilihat dengan kacamata demokrasi, paradigma kesetaraan, ditambah lagi
dengan tuntutan tentang pentingnya penegakan hukum dan hak-hak asasi manusia,
campur tangan CIA itu merupakan perbuatan biadab. Demikian pula kolaborasi
Jenderal Soeharto dengan para agen rahasia CIA itu merupakan hal patut dikutuk.
Para eksekutor yang
telah menghilangkan nyawa manusia, hanya karena perbedaan ideologi, patut
dibawah ke meja hijau - bila mereka masih hidup. Sebaliknya keluarga yang
ditinggalkan oleh para korban pembunuhan itu, patut mendapatkan ganti rugi dari
pemerintah Amerika Serikat.
Alasan untuk
mengutuknya cukup kuat. Begitu pula alasan untuk meminta ganti rugi, sangat
pantas. Antara lain karena CIA secara sadar menciptakan perang saudara di
Indonesia yang melahirkan pembunuhan keji antara sesama bangsa Indonesia.
CIA atau AS telah
melakukan campur tangan yang sesungguhnya bertentangan dengan demokrasi.
Padahal Amerika Serikat selalu memrpomosikan negaranya sebagai advokat atau
pembela demokrasi di dunia. Pemerintah Amerika Serikat secara sah telah
mensponsori sebuah pembinasaan manusia.
Tindakan yang
dilakukan hampir 50 tahun lalu itu melanggar semua hukum dan norma apapun. Sebagai
negara demokrasi. Amerika Serikat termasuk agen rahasia CIA tentunya, patut
menghormati pilihan setiap orang. CIA perlu menghormati manusia yang mau
percaya pada ideologi lain, termasuk komunisme. Lagi pula mengapa CIA harus
memaksakan kehendaknya agar setiap orang harus se-ideologi dengan Amerika
Serikat?
Cerita yang
mengungkap peristiwa 48 tahun lalu itu tentu saja merupakan bagian dari sejarah
hitam bangsa dan negara Indonesia. Lembaran hitam itu tidak bisa dihapus dengan
cara apapun. Para anggota PKI yang dibunuh secara keji, tidak mungkin
dihidupkan kembali.
Kendati begitu,
sejarah dan lembaran hitam itu sangat penting untuk jadi pelajaran oleh seluruh
pemangku kepentingan. Mulai dari generasi tua, "out going generation" sampai dengan generasi muda, yaitu
jangan sekali-kali memberi kepercayaan penuh kepada bangsa asing. Sekalipun
motifnya bersahabat baik dengan Indonesia, tetapi di balik kebaikan itu, kita
perlu selalu waspada.
Rasa kecewa tiba-tiba
mengemuka setelah membaca beberapa pengakuan atau keterangan dari orang Amerika
yang teribat dalam kejahatan terencana itu. Sebab dari jawaban mereka kepada
pewawancara yang menulis laporan itu, memberi kesan, tidak ada rasa
penyelesalan sama sekali atas terjadinya pembantaian ratusan ribu orang di Indonesia.
Bahkan terdapat dua
diplomat AS yang kemudian kembali ke Indonesia sekitar 20 tahun kemudian
setelah pembantaian itu - dengan posisi yang tertinggi - sebagai Duta Besar,
tidak pernah memperlihatkan rasa penyesalan mereka.
Bagi diplomat AS itu
pembunuhan oleh orang Indonesia terhadap sesama warganya merupakan persoalan
dalam negeri Indonesia. Atau hal itu merupakan bagian dari bisnis yang diminati
Washington.
Kalau setuju - dalam
rangka menyambut hari dimulainya pembantaian tanggal 30 September 2013, mari
kita menundukkan kepala sambil meminta kepada Allah Yang Mahakuasa untuk
menghindarkan kita dari konflik serupa. Konflik yang diciptakan oleh bangsa
asing. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar