|
BELAKANGAN
ini kita disuguhi pemberitaan menarik soal LCGC (low cost green car). Tidak saja persoalan substantif yang
mengemuka, tetapi juga masalah perbedaan pandangan antara Gubernur DKI Jakarta
Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Perindustrian MS Hidayat, sehingga isunya
berkembang dari masalah kebijakan publik ke diskursus politik. Beberapa menteri
lain ikut juga memberikan pendapat, termasuk Menko Perekonomian dan bahkan
Wakil Presiden yang berusaha `menenangkan' Jokowi.
Selasa
(24/9), saya mengunjungi lokasi pameran IIMS 2013 di Kemayoran memenuhi
undangan mantan Wapres Jusuf Kalla untuk berdialog masalah LCGC. Saat bertemu
seorang anggota satpam saya sempat bertanya, apakah berminat membeli mobil
murah yang ditawarkan di pameran. Dia menjawab, “Belum mampu, Pak!“. Sebelumnya, saya membaca dua berita menarik di
media. Satu berita daerah memuat pernyataan perwakilan diler salah satu
pemegang merek bahwa pemerintah memberikan subsidi Rp30 juta kepada pembeli
mobil murah. Satu lagi berita nasional yang memuat pernyataan pejabat tinggi pemerintah
yang menyatakan dampak LCGC terhadap impor BBM masih harus dilihat.
Subsidi besar
Informasi
di atas akan menjadi lengkap apabila ditambahkan dengan beberapa telaah
berikut. Pertama, apabila asumsi jumlah yang bisa diproduksi per tahunnya
adalah 30 ribu mobil, kita dapat perkirakan bahwa besarnya insentif pemerintah
yang diberikan kepada pembeli mobil murah akan mendekati Rp1 triliun.
Perhitungan ini bisa bertambah lebih besar apabila kita melihat angka pemesanan
mobil yang oversubscribed. Di wilayah
DIY misalnya, sebuah ATPM sampai hari ini telah mengalami pemesanan lebih dari
delapan kali dari kuota kendaraan kantor pusat. Insentif yang demikian besar
berarti juga kehilangan pendapatan pemerintah bagi programprogram pembangunan
program pembangun yang sangat berarti Insentif pada harga penjualan juga kurang
tepat diterapkan. Apabila pemerintah bermaksud mendorong industri otomotif
nasional, sebaiknya insentif ini diberikan ke industri hulu dan dengan demikian
nilai tambah pada sisi hilirnya (downstream
industry) bisa dikenai pajak untuk pendapatan negara. Bukankah mobil-mobil
yang dihasilkan negara-negara lain dan dijual di Indonesia tidak memperoleh
insentif harga jual dari negara mereka?
Kedua,
asumsi bahwa pengguna mobil ber-cc besar akan menggantikan kendaraan mereka
dengan LCGC juga perlu ditelaah lebih mendalam. Pemerintah menganggap bahwa
perubahan dari mobil yang berkonsumsi BBM tinggi (10 km/1) akan mendapat
penghematan dari pengurangan konsumsi BBM. Pemesan LCGC yang merupakan first car buyer adalah pemilik dan
pengguna sepeda motor yang memiliki konsumsi BBM sebesar 40 km/l. Sementara
itu, pembeli lain pada umumnya adalah mereka yang telah memiliki mobil dan
bermaksud membeli mobil kedua, ketiga, dan seterusnya. Secara nasional,
diperkirakan konsumsi BBM akan meningkat di luar pertumbuhan normalnya.
Analisis awal yang dilakukan memperlihatkan bahwa kenaikan ini bisa mencapai 1
juta liter per hari. Dilemanya ialah apabila tambahan kebutuhan ini diwajibkan
dipenuhi dari BBM nonsubsidi, pasokan BBM nonsubsidi ke daerah-daerah masih
menjadi persoalan. Apabila pembeli menggunakan BBM bersubsidi, akan terjadi
kenaikan subsidi BBM yang tentu akan semakin memberatkan APBN kita.
Sebuah ironi apabila pemerintah didukung partai penguasa bersusah payah mendorong pengurangan subsidi BBM pada Juni 2013.
Sebuah ironi apabila pemerintah didukung partai penguasa bersusah payah mendorong pengurangan subsidi BBM pada Juni 2013.
Ketiga,
bahwa penambahan mobil pribadi yang dibiayai setiap pemilik akan membawa
implikasi beban anggaran daerah yang lebih besar. Pemerintah daerah harus
menyediakan infrastruktur, membangun, dan merawat jalan lebih banyak,
menyediakan fasilitas parkir on-street
yang tentu akan membebani publik. Anggaran daerah yang telah tertekan biaya
pegawai akan semakin sulit dialokasikan untuk infrastrukur yang dibutuhkan.
Diskriminasi
Keempat,
program mobil murah yang diproduksi di dalam negeri dan diberi insentif besar
sungguh menimbulkan iri hati bagi pengguna angkutan umum yang hingga hari ini
belum mendapat layanan yang nyaman dan terjangkau.
Program bis nasional yang murah dan dapat dibeli pengusaha dengan uang muka
rendah atau bebas uang akan menjadi penyejuk bagi masyarakat ekonomi lemah.
Mereka berhak mendapatkan perhatian negara dan pemerintah. Program low cost green bus akan memberikan keuntungan
bagi masyarakat dan pengusaha angkutan. Dengan demikian, masyarakat memiliki
pilihan yang setara dan paling baik bagi mereka, apakah menggunakan angkutan
umum yang nyaman dan terjangkau ataukah menggunakan kendaraan pribadi pada
jaringan jalan yang bertambah macet. Sesungguhnya apabila lebih banyak orang
menggunakan angkutan umum, pengguna kendaraan pribadi juga akan diuntungkan karena
jaringan jalan berkurang kemacetannya.
Kelima,
kebijakan transportasi tidak lepas dari kebijakan harga BBM. Vietnam yang hari
ini membangun 3 jalur MRT sekaligus memiliki harga BBM sebesar Rp11 ribu.
Negara-negara maju mendorong penggunaan angkutan umum dengan mengenakan konsep
polluter's pay principle. Kalau dibuat analogi secara luas, “Siapa yang menggunakan sumber daya (ruang,
energi) dan menghasilkan polusi lebih banyak, dia harus membayar lebih besar
pula“.
Sayangnya
prinsip ini tidak menjadi bagian dari kebijakan transport pricing di Indonesia. Mobil pribadi yang lebih boros
ruang dan energi dibandingkan dengan kendaraan umum seharusnya dikenakan biaya
penggunaan jalan yang lebih mahal. Konsep inilah yang mendasari implementasi
ERP (electronic road pricing) di
Singapura ataupun congestion charging di
London, Inggris.
Jelaslah
bahwa kebijakan LCGC ini bukanlah sematamata kebijakan di sektor perindustrian
semata. Apa yang diperkirakan menguntungkan di sebuah sektor bisa membawa
implikasi di sektor lain yang harus diperhatikan. Memang tidak mudah untuk
melakukan penilaian komprehensif dari sebuah kebijakan. Analisis yang dilakukan
bisa tidak akurat ataupun belum memperhitungkan faktor eksternal yang sulit
diprediksi. Namun demikian, masyarakat perlu diedukasi mengenai berbagai aspek
kebijakan ini sehingga mampu menilai apakah kebijakan tersebut memang sebuah
kebijakan yang tepat, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jadi
apakah kita sebaiknya protransportasi yang murah atau mobil murah? Saya memilih
transportasi yang nyaman dan terjangkau masyarakat banyak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar