Jumat, 06 September 2013

Indonesia dan Demokrasi 2.0

Indonesia dan Demokrasi 2.0
Husein Ja’far Al Hadar  ;   Pengamat Politik, CEO The Face Digital Biography
MEDIA INDONESIA, 05 September 2013


PADA 2007, Don Tapscott, pakar siber terkemuka dunia, melakukan penelitian yang bertajuk The Net Generation: a Strategic Investigation dengan biaya US$4 juta. Penelitian itu berupaya secara sangat serius untuk mengungkap perilaku generasi internet (net generation atau net gener) di berbagai negara (Amerika, Eropa, dan Asia) dan pengaruhnya--baik secara paradigmatik ataupun perilaku--yang mulai mendominasi peradaban dunia dalam berbagai elemen, dari pendidikan, enterpreneurship, politik (demokrasi), media hingga pola asuh (parenting). Dari penelitian itu, Tapscott kemudian menulis karya berjudul Grown Up Digital (2009). Sebuah karya yang oleh Michael S Dell (Chairman dan CEO Dell) disebut sebagai buku panduan menarik untuk bertahan, berjuang, dan sukses di era digital.

Ketika mengupas tentang Demokrasi 2.0--istilah yang dipakai Tapscott untuk corak demokrasi di era digital dan ia memulai dengan kisah Chris Hughes--kawan sekamar Mark Zuckerberg di Harvard telah berjasa dalam menyarankan diberinya tombol poke di Facebook. Pada 2007, Hughes menandatangani kontrak kerja dengan Barack Obama untuk membangun dan menjalankan konsep kampanye digital Obama guna meraih kemenangan atas Hillary Clinton di internal Partai Demokrat dan selanjutnya meraih kursi presiden Amerika Serikat (AS).

Hughes lalu membangun komunitas dan jaringan kampanye (juga penjaringan dana) digital-online melalui My Bo (my.barackobama.com). My Bo kemudian menjadi salah satu konsep kampanye terpenting dan paling berpengaruh dalam pemenangan Obama, sekaligus menjadi penyumbang suara terbanyak bagi Presiden AS kulit hitam pertama itu.

Hughes pun menegaskan kemenangan Obama merupakan kemenangan net gener dengan kampanye digitalnya atas kampanye konvensional berbasis keterampilan memanipulasi media lama. Padahal, seperti kita tahu, kampanye gaya lama Hillary saat itu merupakan kampanye dengan dana begitu mahal, dilakukan tim dan konsultan yang sangat berpengalaman dan dengan berbagai keterampilan serta kreativitas yang memukau. Namun, tetap saja, kata Hughes, saat itu, net gener telah relatif dominan dan zaman telah ‘bermetamorfosis’ menjadi era digital (digital age).

Menurut penulis, kemenangan Obama dengan Kampanye 2.0--istilah penulis untuk model kampanye digitalonline--merupakan sebuah tesis tersendiri di ranah politik, khususnya demokrasi. Pertama, tesis yang menggusur dugaan dan pendapat seperti yang dikemukakan oleh Mark Bauerlein dalam karyanya yang berjudul The Dumbest Generation bahwa net gener tak memiliki ketertarikan dalam dunia politik serta memiliki angka keikutsertaan dalam pemilu yang memalukan. Justru, seperti diungkap dalam Cone 2006 Millenial Cause Study, 63% net gener merasa bertanggung jawab untuk menghasilkan perubahan di dunia. Sebab, menurut penelitian Tapscott, sebelumnya, net gener cenderung berjarak dengan politik bukan karena mereka tak berminat dengan politik. Namun, karena sistem politik telah gagal merangkul mereka dengan cara yang sesuai cara mereka dibesarkan yang tumbuh pada zaman digital (growing up digital).

Kedua, tesis yang menyapu habis model politik broadcast konvensional dengan basis paradigma dan gaya kerja `kalian memilih, kami memerintah'. Dalam sistem lama ini, warga mendengarkan pidato-pidato, acara debat, dan iklan-iklan kampanye, lalu menyumbangkan uang dan suara mereka. Akan tetapi, ketika tiba saatnya mereka memberikan saran, masukan, atau bahkan kritik ke dalam kiprah politik dan pengambilan keputusan atau kebijakan nyata, mereka dan suaranya cenderung disisihkan. Dalam konteks ini, misalnya, Hillary menggunakan Twitter sebagai medium informasi searah (broadcast) yang oleh Tapscott disebut sebagai `demokrasi media satu arah' (broadcast democracy).
Adapun Obama menggunakannya sebagai media untuk berhubungan dengan para pendukungnya di tingkat individu sejak ia berkampanye, memimpin, bahkan hingga ia tak lagi menjadi siapa-siapa dalam struktur pemerintahan AS nantinya.

Ketiga, mengutip Frank Rich (kolumnis New York Times), Kampanye 2.0 menjadi tesis yang membalikkan struktur kampanye konvensional yang berbasis `dari atas ke bawah' menjadi struktur `dari bawah ke atas'. Dalam arti, Kampanye 2.0 bersifat sangat kolaboratif dan partisipatif.

Para pendukung di ranah digital-online didorong untuk beraksi dalam berkampanye ke sesama teman online mereka, menggalang dana, menyelenggarakan pertemuan-pertemuan (gathering, alias kopi darat) hingga membuat berbagai inovasi berbasis digital (aplikasi, game, atau video kreatif semacam video YouTube berjudul Yes We Can yang sangat berpengaruh bagi kemenangan Obama) untuk mengampanyekan tokoh mereka.

Mereka juga didorong untuk bereaksi, yakni saling mengklarifi kasi segala isu negatif yang bersifat manipulatif yang dimunculkan oleh rival politik atau media massa kepada tokoh mereka, seperti yang menimpa Obama terkait dengan isu ras.

Keempat, Kampanye 2.0 merupakan tesis yang membawa demokrasi pada arti sejatinya, yakni kekuatan rakyat (people power) di atas segalanya. Net gener pemilih Obama adalah mereka yang benar-benar kenal secara pribadi--melalui perangkat digital--dengan Obama, bukan mereka yang mengenal tokohnya dari desas-desus atau media massa yang dalam suasana kampanye sangat besar berpeluang dimanipulasi.

Seperti diungkap Tapscott, Obama bahkan memberi tahu suasana hatinya pada semua rakyat yang terkoneksi secara digital dengannya, baik melalui Twitter, Facebook, atau jejaring digital-online lainnya. Begitu juga sebaliknya, melalui jaringan berbasis digitalonline, net gener bisa kapan saja mengancam pemerintah, seperti yang pernah terjadi pada Presiden Korea Selatan, Lee Myung-bak, pada April 2008, terkait dengan isu impor sapi gila dari AS, yang terancam oleh gerakan berbasis Demonstrasi Web 2.0.

Dalam konteks Indonesia, jumlah net gener sebenarnya begitu besar dan pertumbuhannya pun begitu pesat. Bersama China, AS, India dan Rusia, Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. Dalam ranah media sosial, Indonesia berada di urutan keempat pengguna Facebook terbesar di dunia dan urutan kelima terbesar di dunia untuk Twitter. Kemenangan Ridwan Kamil dan Oded M Danial dalam pemilu kada Bandung juga disebut sebagai kemenangan yang berbasis pada kampanye digital.

Karena itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun begitu bersemangat dalam membangun jaringan di media sosial (Facebook, YouTube dan khususnya Twitter). Bahkan, Jusuf Kalla (mantan Wakil Presiden Indonesia) menjadi tokoh Indonesia pertama yang memiliki biografi digital (digital biography) di iOS (Apple) dan Android.

Maka, menurut penulis, arus digitalisasi tampaknya telah merambah dunia politik kita. Kita telah memasuki era Demokrasi 2.0. Dan, Pemilu 2014 tampaknya akan menjadi pertarungan Kampanye 2.0 pertama di negeri ini, seperti yang terjadi di AS pertama kali pada Pemilu Presiden 2008. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar