|
Kenakalan pelajar yang semakin meningkat sekarang ini bisa
berdampak buruk pada citra pendidikan di negeri ini. Seolah-olah pendidikan
tidak mampu lagi menjadi fondasi yang kokoh untuk mewujudkan pelajar yang
berbudi pekerti baik dan bermoral tinggi. Bahkan, dalam lingkungan belajar
mendorong siswa menjadi bermental keras yang tidak diimbangi dengan penalaran
positif dan cenderung berlaku egoistis baik di lingkungan sekolah maupun
masyarakat lingkungannya dan kelompok yang lebih luas lagi.
Data akhir 2012 yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan
Anak (Komnas PA) menunjukkan angka sangat memprihatinkan. Sebanyak 82 pelajar
tewas sepanjang 2012, (Kompas 21/12/2012) dalam aksi kekersan. Kekerasan itu
terjadi antar pelajar karena dipicu sensitivitas pelajar yang mudah meledak
tanpa kontrol dan perhatian atau luput perhatian terutama dari pihak sekolah.
Masalahnya seringkali pelajar tidak didasari dengan pendidikan untuk saling
menghormati (respect education) antar sesama pelajar dan lingkungannya.
Kemudian pada 2012 pula Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) melakukan survei di 9 provinsi dan mencatat bahwa 87,2 persen dari lebih
1.000 siswa SD, SMP, dan SMA mengaku pernah mengalami tindak kekerasan. Mereka
mengalami baik kekerasan fisik maupun psikis, seperti dijewer, dipukul,
dibentak, dihina, diberi stigma negatif hingga dilukai dengan benda tajam.
Kedua kelompok kasus tersebut memiliki korelasi erat.
Adanya kenakalan pelajar didominasi dengan cara memberikan pendidikan yang
tidak dijauhkan dari bentuk kekerasan. Pasalnya, kenakalan pelajar merupakan
suatu penyimpangan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik individu,
keluarga (hubungan anak dengan orangtua), lingkungan sekolah, dan lingkungan
sekitar. Bagi para pelajar yang mendominasi kekerasan ada pada lingkungan
sekolah, (Tambunan 2001).
Sebab itu, dibutuhkan pendidikan yang efektif dan sistemik.
Efektif dalam memberikan dan menyampaikan materi serta tersistem sehingga dapat
diterima oleh siswa tanpa berproteksi kekerasan sedikitpun. Itu, ditanamkan mulai
dari pendidikan pada tingkat paling bawah, yaitu SD bahkan TK.
Karena pengaruh
besar pembentukan jati diri siswa akan lebih subur ketika masih usia pendidikan
dasar.
Hal itulah yang perlu diperhatikan agar dapat lebih
menyaring mata pelajaran serta memanajemen kurikulum dengan basis lebih efektif
dan hati-hati. Menimbang pola pikir anak-anak usia pendidikan dasar masih
sangat potensial untuk dikembangkan menjadi pelajar genius serta bermoralitas
baik.
Peran yang paling urgen seharusnya dibebankan pada pengajar,
agar tidak memakai sistem kekerasan baik fisik maupun psikis. Untuk itu, sangat
perlu adanya bekal tersendiri bagi calon pengajar melalui kecermatan dari
berbagai pihak. Dewan sekolah harus lebih selektif ketika hendak mengambil
pengajar. Karena, untuk menciptakan pendidikan harmonis tidak hanya dibutuhkan
intelektual, melainkan moralitas, solidaritas dan komunikatif.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan menilai.
Kemudian guru juga pihak yang akan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Artinya, guru haruslah orang yang benar-benar memiliki
peran keguruan, bisa memacu anak didik dengan baik, memotivasi dan memberikan
inovasi. Setidaknya bagi guru minimal harus memiliki 4 kompetensi. Sebagaimana
yang tercantum dalam Pasal 8 UU Nomor 14/2005 meliputi kompetensi pedagogik,
kepribadian, sosial, dan kompetensi profesional.
Keempat kompetensi tersebut bersifat holistik dan
integratif. Diantaranya dapat mengenal secara lebih dekat dengan siswanya,
serta menguasai materi ajarnya. Sehingga murid tidak mengalami kesulitan ketika
memahami materi yang diberikan guru. Begitu pula guru juga harus kapabel dalam
menyikapi siswa saat masa pembelajaran.
Di sisi lain, ketika pelajar dalam lingkungan luar
sekolah/rumah, maka orangtua harus menjadi guru yang kompeten. Artinya,
orangtua harus memiliki kapabilitas untuk membimbing dan membina anak memiliki
moral baik, dan tetap menjaga serta mengembangkan bekal yang didapat dari
sekolah. Sehingga anak tidak berpaut dengan pembulian atau bullying yang dapat membentuk anak berperilaku buruk.
Para teoritis dan peneliti tentang perkembangan anak
sepakat bahwa orang tua memainkan peranan yang formatif dalam sosialisasi anak.
Peranan tersebut sudah dimulai sejak awal masa bayi, di mana orang tua dan anak
sudah saling memberikan perhatian dan mulai berkomunikasi. Anak merespon
komunikasi orang tuanya melalui senyuman, kerutan kening, celotehan, dan
sentuhan. Ketika mobilitas dan bahasa anak sudah memungkinkannya untuk
mengeksplorasi lingkungannya secara aktif, orang tua mulai memberikan berbagai
pelajaran kepada anak mengenai cara dunia sosial beroperasi dan perilaku yang
diharapkan oleh dunia sosial itu dari anak. Pelajaran tersebut diarahkan untuk
membantu anak belajar memiliki kompetensi sosial yaitu perseptif terhadap orang
lain, kooperatif, asertif, ramah kepada teman sebaya, dan santun kepada orang
dewasa.
Bertolak dari kondisi seperti itu, di sinilah pentingnya
kompetensi kedua kelompok guru, yaitu guru di sekolah dan guru di rumah atau
orangtua. Serta perlu sekali adanya sosialisasi tentang hal demikian. Supaya
masyarakat lebih mengetahui bahwa peran lingkungan rumah juga mendominasi dalam
karakter anak. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar