Minggu, 29 September 2013

Mengatasi Kekerasan Pelajar

Mengatasi Kekerasan Pelajar
Khoirul Anwar Afa ;  Mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Quran (PTIQ)
Jakarta, Alumnus Mahasantri Al-Kitabah, Pamulang, Tangsel
SUARA KARYA, 28 September 2013


Kenakalan pelajar yang semakin meningkat sekarang ini bisa berdampak buruk pada citra pendidikan di negeri ini. Seolah-olah pendidikan tidak mampu lagi menjadi fondasi yang kokoh untuk mewujudkan pelajar yang berbudi pekerti baik dan bermoral tinggi. Bahkan, dalam lingkungan belajar mendorong siswa menjadi bermental keras yang tidak diimbangi dengan penalaran positif dan cenderung berlaku egoistis baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat lingkungannya dan kelompok yang lebih luas lagi.

Data akhir 2012 yang dihimpun Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan angka sangat memprihatinkan. Sebanyak 82 pelajar tewas sepanjang 2012, (Kompas 21/12/2012) dalam aksi kekersan. Kekerasan itu terjadi antar pelajar karena dipicu sensitivitas pelajar yang mudah meledak tanpa kontrol dan perhatian atau luput perhatian terutama dari pihak sekolah. Masalahnya seringkali pelajar tidak didasari dengan pendidikan untuk saling menghormati (respect education) antar sesama pelajar dan lingkungannya.

Kemudian pada 2012 pula Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei di 9 provinsi dan mencatat bahwa 87,2 persen dari lebih 1.000 siswa SD, SMP, dan SMA mengaku pernah mengalami tindak kekerasan. Mereka mengalami baik kekerasan fisik maupun psikis, seperti dijewer, dipukul, dibentak, dihina, diberi stigma negatif hingga dilukai dengan benda tajam.

Kedua kelompok kasus tersebut memiliki korelasi erat. Adanya kenakalan pelajar didominasi dengan cara memberikan pendidikan yang tidak dijauhkan dari bentuk kekerasan. Pasalnya, kenakalan pelajar merupakan suatu penyimpangan yang disebabkan oleh berbagai faktor, baik individu, keluarga (hubungan anak dengan orangtua), lingkungan sekolah, dan lingkungan sekitar. Bagi para pelajar yang mendominasi kekerasan ada pada lingkungan sekolah, (Tambunan 2001).

Sebab itu, dibutuhkan pendidikan yang efektif dan sistemik. Efektif dalam memberikan dan menyampaikan materi serta tersistem sehingga dapat diterima oleh siswa tanpa berproteksi kekerasan sedikitpun. Itu, ditanamkan mulai dari pendidikan pada tingkat paling bawah, yaitu SD bahkan TK. 
Karena pengaruh besar pembentukan jati diri siswa akan lebih subur ketika masih usia pendidikan dasar.
Hal itulah yang perlu diperhatikan agar dapat lebih menyaring mata pelajaran serta memanajemen kurikulum dengan basis lebih efektif dan hati-hati. Menimbang pola pikir anak-anak usia pendidikan dasar masih sangat potensial untuk dikembangkan menjadi pelajar genius serta bermoralitas baik.

Peran yang paling urgen seharusnya dibebankan pada pengajar, agar tidak memakai sistem kekerasan baik fisik maupun psikis. Untuk itu, sangat perlu adanya bekal tersendiri bagi calon pengajar melalui kecermatan dari berbagai pihak. Dewan sekolah harus lebih selektif ketika hendak mengambil pengajar. Karena, untuk menciptakan pendidikan harmonis tidak hanya dibutuhkan intelektual, melainkan moralitas, solidaritas dan komunikatif.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, mengisyaratkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, dan menilai. Kemudian guru juga pihak yang akan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.

Artinya, guru haruslah orang yang benar-benar memiliki peran keguruan, bisa memacu anak didik dengan baik, memotivasi dan memberikan inovasi. Setidaknya bagi guru minimal harus memiliki 4 kompetensi. Sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 8 UU Nomor 14/2005 meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan kompetensi profesional.

Keempat kompetensi tersebut bersifat holistik dan integratif. Diantaranya dapat mengenal secara lebih dekat dengan siswanya, serta menguasai materi ajarnya. Sehingga murid tidak mengalami kesulitan ketika memahami materi yang diberikan guru. Begitu pula guru juga harus kapabel dalam menyikapi siswa saat masa pembelajaran.

Di sisi lain, ketika pelajar dalam lingkungan luar sekolah/rumah, maka orangtua harus menjadi guru yang kompeten. Artinya, orangtua harus memiliki kapabilitas untuk membimbing dan membina anak memiliki moral baik, dan tetap menjaga serta mengembangkan bekal yang didapat dari sekolah. Sehingga anak tidak berpaut dengan pembulian atau bullying yang dapat membentuk anak berperilaku buruk.

Para teoritis dan peneliti tentang perkembangan anak sepakat bahwa orang tua memainkan peranan yang formatif dalam sosialisasi anak. Peranan tersebut sudah dimulai sejak awal masa bayi, di mana orang tua dan anak sudah saling memberikan perhatian dan mulai berkomunikasi. Anak merespon komunikasi orang tuanya melalui senyuman, kerutan kening, celotehan, dan sentuhan. Ketika mobilitas dan bahasa anak sudah memungkinkannya untuk mengeksplorasi lingkungannya secara aktif, orang tua mulai memberikan berbagai pelajaran kepada anak mengenai cara dunia sosial beroperasi dan perilaku yang diharapkan oleh dunia sosial itu dari anak. Pelajaran tersebut diarahkan untuk membantu anak belajar memiliki kompetensi sosial yaitu perseptif terhadap orang lain, kooperatif, asertif, ramah kepada teman sebaya, dan santun kepada orang dewasa.


Bertolak dari kondisi seperti itu, di sinilah pentingnya kompetensi kedua kelompok guru, yaitu guru di sekolah dan guru di rumah atau orangtua. Serta perlu sekali adanya sosialisasi tentang hal demikian. Supaya masyarakat lebih mengetahui bahwa peran lingkungan rumah juga mendominasi dalam karakter anak. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar