|
KPU dan demokrasi memiliki hubungan fungsional yang sangat
kuat. Hubungan itu ditetapkan, atau dibuat, sebagai corak aspirasi kultural.
Di sini hadir kekuatan kemasyarakatan yang disebut civil society. Dia yang merumuskan mandat KPU. Kita tahu KPU sudah lama ada yaitu sejak zaman Orde Baru. Tapi, di zaman itu fungsinya hanya pelengkap, kekuatan pemantas bagi demokrasi. Logika zaman itu, gagasan demokrasi diterima, tapi tidak dilaksanakan sesuai gagasan dasar demokrasi. Dia diterima oleh penguasa militer yang tak terbiasa berdemokrasi. Penguasa itu datang dari latar belakang kebudayaan Jawa, yang—dalam kebudayaan itu—menata hidup dengan kepantasan, dan serba merujuk pada gagasan tentang harmoni, sangat kuat.
Segala hal harus pantas, segala hal harus terjalin dalam corak relasi-relasi—kebudayaan maupun politik— yang serbapantas, serbaharmonis. Dengan begitu, tak mengherankan pembentukan KPU di zaman itu tak lepas sama sekali dari cara pandang dan kesadaran akan kosmologi politik seperti itu. Pendeknya, KPU itu “ornamen” pemanis, unsur pantas-pantasan, dan penjaga harmoni kultural yang bermain di wilayah politik.
Tidak mencengangkan kalau KPU sebagai lembaga, dan segenap aparat penting di dalamnya, diberi kekuasaan sebebas- bebasnya, tetapi dikendalikan seketat-ketatnya. Kebebasan dan pengendalian itu tidak pernah seimbang. Pengendaliannya jauh lebih besar dan lebih menentukan.
Sejarah memilukan macam ini yang memberi inspirasi pada kekuatan kemasyarakatan kita, yang namanya civil society tadi, untuk merumuskan mandat baru bagi KPU sesudah masa reformasi. Mandatnya untuk menjadi KPU yang jelas “people oriented”, dan “operate independently” dari apa yang namanya birokrasi negara—lebih tepat pemerintah—yang dijadikan ”mesin politik” yang memainkan agenda demi agenda politik besar penguasa, yang sangat tertarik melanggengkan kekuasaannya dengan seminimal mungkin kontrol dari kekuatan luar. Ini logika kerajaan.
Logika republik lain. Maka itu, KPU pun diberi kekuatan kerakyatan lebih besar, dan menjadi lembaga penjamin berfungsinya secara maksimal aspirasi politik rakyat. Demi tujuan itu, pertama, bersihkan diri. Lepaskan ikatan-ikatan birokratik dan loyalitas kepegawaian—pegawai negeri—kepada pemerintah. Kini loyalitas dipersembahkan hanya kepada rakyat. Segenap gerak-gerik dan tingkah laku KPU hanya “socially— dan mungkin juga politically— accountable” jika segalanya mengabdi kepentingan keindonesiaan yang jelas. KPU bagian dari “abdi” masyarakat, yang bekerja, dan ”exist”, untuk negara.
KPU itu besar sekali, agung, dan anggun. Urusan dan tanggung jawabnya pada negara, bukan pada pemerintah, bukan untuk penguasa, bukan untuk partai, bukan untuk partai penguasa. Aspirasi civil society bahwa demokrasi berkembang sehat, memelihara rohani politik bangsa, dan memberi kelegaan pada seluruh bangsa dengan tindakan-tindakan tidak memihak ke sana ke mari. KPU itu kiblat politik dan demokrasi. Semua kekuatan politik dan masyarakat mengarahkan pandangan ke KPU, dan bukan sebaliknya.
Media memandang, dan hanya mendengar suara benar, paling “reliable” secara politik, dari KPU. LSM, organisasi sosial keagamaan, kaum intelektual, dosen, peneliti, pengamat, rohaniwan, semua mengarahkan pandangan, harapan, dan memberi “trust” yang sangat tinggi, kepada KPU. Tapi, apakah KPU, seluruh sejarah KPU sejak masa reformasi— jadi bukan hanya KPU saat ini—memiliki kemerdekaan, dan merasa dirinya semulia ini?
Apakah KPU tidak disusupi suatu kepentingan politik, yang bermain dari dalam, dan mengatur strategi dari dalam, untuk suatu agenda, atau sesuatu yang bisa disebut “short sighted”, dan “short term agenda” yang menerabas dan menghancur luluhkan aspirasi kultural yang dibangun untuk Indonesia? Jika hal seperti ini ada, setidaknya diakui pernah ada, apa jawaban yang bisa diberikan KPU sekarang ini? Bagaimana para elite KPU memandang dan menyikapi persoalan ini? Mencoreng dan menggores “independency”? Dibiarkan saja berlalu hanya karena itu terjadi pada masa lalu dan bukan urusan KPU sekarang?
Secara kebudayaan, KPU diminta berperan lebih besar. Banyak agenda besar yang selama ini terabaikan. Pertama, melakukan apa yang namanya “voters education” dalam arti sebenarnya, yang selama ini terbengkelai. Dalam program ini, KPU mengajarkan rasa tanggung jawab politik lebih besar kepada publik, sebagai bentuk moral politik yang membuat wawasan dan sikap politik bangsa lebih sehat.
Di sini, perlu dicatat, bukan sekadar urusan memilih seorang tokoh. Tapi, moral politik itu menegaskan, boleh juga ”menggariskan” langkah-langkah politik yang bertanggung jawab. Isinya, sesudah memilih, mereka mengikuti, terus mengamati, dengan seksama, segenap sepak terjang tokoh yang dipilihnya. Jika yang bersangkutan menyimpang, selingkuh, atau mengecewakan, susun segera petisi dan ajukan ke DPR. Jika DPR—seperti lazimnya— tidak responsif, tidak bertanggung jawab, tidak berani, dan seterusnya, rakyat terus menyuarakan kekecewaan itu.
Media dan semua kekuatan civil society akan mendukung. KPU, di dalam situasi itu, juga bersuara jelas, dengan semangat dan isi yang mencerminkan suara civil society. Kedua, menyadarkan seluruh bangsa, terutama para tokoh yang terpilih bahwa menang pemilu bukan seperti orang “menang lotre”. Dalam menang pemilu ada tanggung jawab menuntaskan agenda politik, menjawab aspirasi seluruh bangsa, dan bukan hanya seluruh kekuatan “constituent”, dan para pemilih, melainkan aspirasi seluruh bangsa.
Orang harus sadar, yang dilayaninya bukan hanya para pemilih, melainkan juga mereka yang menang dengan juta lainnya yang tidak memilih. Kalau menang 50% lebih se-dikit, berarti yang tidak memilihnya masih merupakan kekuatan raksasa yang mengerikan. Mereka ini yang akan terus menerus menjadi “the angry people” yang tak henti-hentinya mengamati pemimpin bersangkutan. Boleh jadi mereka tidak suka sejak lama. Boleh jadi mereka memang musuh politik sejak lama. Jadi, KPU wajib mengajarkan kesadaran ini pada para pemilih, para terpilih, dan seluruh bangsa kita.
Menang lotre itu proses sekali jadi. Menang dan nikmati. Menang politik lain. Di sana ada tanggung jawab politik, yang lahir dari suatu moralitas politik yang jelas. Ketiga, menang dengan jujur dinilai sebagai kredo hidup, dan wujud nyata dari ethoskehidupan bangsa. Mohon maaf, ethos jangan dipersempit menjadi sekadar disiplin dan semangat kerja. Ethos bangsa, dalam kebudayaan dan dalam politik, merupakan—secara teknis— “driving force”—dalam hidup bernegara.
Lebih fundamental lagi, dalam kehidupan bermasyarakat. Menipu, dan menang pemilu karena penipuan, dengan cara apa pun, “terkutuk”. Dia dan segenap orang sekitarnya, dan partainya, dan para pendukungnya, harus disebut perusak demokrasi. Mereka merusak cara hidup, semangat hidup, kiblat hidup dan nilainilai agung kehidupan. Keempat, ”nation building” dan “character building”, dalam bidang politik dan untuk ihwal yang bersifat teknis kepemiluan, merupakan tugas dan tanggung jawab KPU.
KPU itu tempat jiwa dan semangat bangsa ditempa, dilebur di dalam kawah candradimuka, dengan penggemblengan sikap dan wawasan para pemimpin dan calon pemimpin untuk mengembangkan watak kepemimpinan yang mengabdi bangsa. Idiom dan konsep dasarnya serbabesar. Kita bicara keindonesiaan. Tanggung jawab kerakyatan. Mengabdi kehidupan bangsa dan menyemai gagasan mengenai pemimpin yang besar, adil, dan memberi rakyat kedamaian.
Adapun mengenai “character building” tadi, harus ditempuh KPU melalui berbagai kursus atau pendidikan politik yang menanamkan kepemimpinan sosial yang jelas. Orang harus bergulat dalam hidup riil di tengah masyarakat, dan memahami denyut kehidupan rakyat. Melalui agenda macam ini— yang belum tersentuh KPU— kita mendidik bangsa, orang per orang, untuk memiliki militansi yang jelas.
Pemimpin harus militan. Kader harus militan. Pengabdian orang militan, hidup-matinya, untuk bangsa. Bukan bangsa asing seperti kebanyakan tokoh sekarang. Tapi, hidup-mati kita untuk bangsa Indonesia, untuk seluruh negeri, tempat tumpah darah kita. Silakan KPU merancang sendiri secara merdeka, strategi pendewasaan dan pematangan politik bangsa kita. ●
Di sini hadir kekuatan kemasyarakatan yang disebut civil society. Dia yang merumuskan mandat KPU. Kita tahu KPU sudah lama ada yaitu sejak zaman Orde Baru. Tapi, di zaman itu fungsinya hanya pelengkap, kekuatan pemantas bagi demokrasi. Logika zaman itu, gagasan demokrasi diterima, tapi tidak dilaksanakan sesuai gagasan dasar demokrasi. Dia diterima oleh penguasa militer yang tak terbiasa berdemokrasi. Penguasa itu datang dari latar belakang kebudayaan Jawa, yang—dalam kebudayaan itu—menata hidup dengan kepantasan, dan serba merujuk pada gagasan tentang harmoni, sangat kuat.
Segala hal harus pantas, segala hal harus terjalin dalam corak relasi-relasi—kebudayaan maupun politik— yang serbapantas, serbaharmonis. Dengan begitu, tak mengherankan pembentukan KPU di zaman itu tak lepas sama sekali dari cara pandang dan kesadaran akan kosmologi politik seperti itu. Pendeknya, KPU itu “ornamen” pemanis, unsur pantas-pantasan, dan penjaga harmoni kultural yang bermain di wilayah politik.
Tidak mencengangkan kalau KPU sebagai lembaga, dan segenap aparat penting di dalamnya, diberi kekuasaan sebebas- bebasnya, tetapi dikendalikan seketat-ketatnya. Kebebasan dan pengendalian itu tidak pernah seimbang. Pengendaliannya jauh lebih besar dan lebih menentukan.
Sejarah memilukan macam ini yang memberi inspirasi pada kekuatan kemasyarakatan kita, yang namanya civil society tadi, untuk merumuskan mandat baru bagi KPU sesudah masa reformasi. Mandatnya untuk menjadi KPU yang jelas “people oriented”, dan “operate independently” dari apa yang namanya birokrasi negara—lebih tepat pemerintah—yang dijadikan ”mesin politik” yang memainkan agenda demi agenda politik besar penguasa, yang sangat tertarik melanggengkan kekuasaannya dengan seminimal mungkin kontrol dari kekuatan luar. Ini logika kerajaan.
Logika republik lain. Maka itu, KPU pun diberi kekuatan kerakyatan lebih besar, dan menjadi lembaga penjamin berfungsinya secara maksimal aspirasi politik rakyat. Demi tujuan itu, pertama, bersihkan diri. Lepaskan ikatan-ikatan birokratik dan loyalitas kepegawaian—pegawai negeri—kepada pemerintah. Kini loyalitas dipersembahkan hanya kepada rakyat. Segenap gerak-gerik dan tingkah laku KPU hanya “socially— dan mungkin juga politically— accountable” jika segalanya mengabdi kepentingan keindonesiaan yang jelas. KPU bagian dari “abdi” masyarakat, yang bekerja, dan ”exist”, untuk negara.
KPU itu besar sekali, agung, dan anggun. Urusan dan tanggung jawabnya pada negara, bukan pada pemerintah, bukan untuk penguasa, bukan untuk partai, bukan untuk partai penguasa. Aspirasi civil society bahwa demokrasi berkembang sehat, memelihara rohani politik bangsa, dan memberi kelegaan pada seluruh bangsa dengan tindakan-tindakan tidak memihak ke sana ke mari. KPU itu kiblat politik dan demokrasi. Semua kekuatan politik dan masyarakat mengarahkan pandangan ke KPU, dan bukan sebaliknya.
Media memandang, dan hanya mendengar suara benar, paling “reliable” secara politik, dari KPU. LSM, organisasi sosial keagamaan, kaum intelektual, dosen, peneliti, pengamat, rohaniwan, semua mengarahkan pandangan, harapan, dan memberi “trust” yang sangat tinggi, kepada KPU. Tapi, apakah KPU, seluruh sejarah KPU sejak masa reformasi— jadi bukan hanya KPU saat ini—memiliki kemerdekaan, dan merasa dirinya semulia ini?
Apakah KPU tidak disusupi suatu kepentingan politik, yang bermain dari dalam, dan mengatur strategi dari dalam, untuk suatu agenda, atau sesuatu yang bisa disebut “short sighted”, dan “short term agenda” yang menerabas dan menghancur luluhkan aspirasi kultural yang dibangun untuk Indonesia? Jika hal seperti ini ada, setidaknya diakui pernah ada, apa jawaban yang bisa diberikan KPU sekarang ini? Bagaimana para elite KPU memandang dan menyikapi persoalan ini? Mencoreng dan menggores “independency”? Dibiarkan saja berlalu hanya karena itu terjadi pada masa lalu dan bukan urusan KPU sekarang?
Secara kebudayaan, KPU diminta berperan lebih besar. Banyak agenda besar yang selama ini terabaikan. Pertama, melakukan apa yang namanya “voters education” dalam arti sebenarnya, yang selama ini terbengkelai. Dalam program ini, KPU mengajarkan rasa tanggung jawab politik lebih besar kepada publik, sebagai bentuk moral politik yang membuat wawasan dan sikap politik bangsa lebih sehat.
Di sini, perlu dicatat, bukan sekadar urusan memilih seorang tokoh. Tapi, moral politik itu menegaskan, boleh juga ”menggariskan” langkah-langkah politik yang bertanggung jawab. Isinya, sesudah memilih, mereka mengikuti, terus mengamati, dengan seksama, segenap sepak terjang tokoh yang dipilihnya. Jika yang bersangkutan menyimpang, selingkuh, atau mengecewakan, susun segera petisi dan ajukan ke DPR. Jika DPR—seperti lazimnya— tidak responsif, tidak bertanggung jawab, tidak berani, dan seterusnya, rakyat terus menyuarakan kekecewaan itu.
Media dan semua kekuatan civil society akan mendukung. KPU, di dalam situasi itu, juga bersuara jelas, dengan semangat dan isi yang mencerminkan suara civil society. Kedua, menyadarkan seluruh bangsa, terutama para tokoh yang terpilih bahwa menang pemilu bukan seperti orang “menang lotre”. Dalam menang pemilu ada tanggung jawab menuntaskan agenda politik, menjawab aspirasi seluruh bangsa, dan bukan hanya seluruh kekuatan “constituent”, dan para pemilih, melainkan aspirasi seluruh bangsa.
Orang harus sadar, yang dilayaninya bukan hanya para pemilih, melainkan juga mereka yang menang dengan juta lainnya yang tidak memilih. Kalau menang 50% lebih se-dikit, berarti yang tidak memilihnya masih merupakan kekuatan raksasa yang mengerikan. Mereka ini yang akan terus menerus menjadi “the angry people” yang tak henti-hentinya mengamati pemimpin bersangkutan. Boleh jadi mereka tidak suka sejak lama. Boleh jadi mereka memang musuh politik sejak lama. Jadi, KPU wajib mengajarkan kesadaran ini pada para pemilih, para terpilih, dan seluruh bangsa kita.
Menang lotre itu proses sekali jadi. Menang dan nikmati. Menang politik lain. Di sana ada tanggung jawab politik, yang lahir dari suatu moralitas politik yang jelas. Ketiga, menang dengan jujur dinilai sebagai kredo hidup, dan wujud nyata dari ethoskehidupan bangsa. Mohon maaf, ethos jangan dipersempit menjadi sekadar disiplin dan semangat kerja. Ethos bangsa, dalam kebudayaan dan dalam politik, merupakan—secara teknis— “driving force”—dalam hidup bernegara.
Lebih fundamental lagi, dalam kehidupan bermasyarakat. Menipu, dan menang pemilu karena penipuan, dengan cara apa pun, “terkutuk”. Dia dan segenap orang sekitarnya, dan partainya, dan para pendukungnya, harus disebut perusak demokrasi. Mereka merusak cara hidup, semangat hidup, kiblat hidup dan nilainilai agung kehidupan. Keempat, ”nation building” dan “character building”, dalam bidang politik dan untuk ihwal yang bersifat teknis kepemiluan, merupakan tugas dan tanggung jawab KPU.
KPU itu tempat jiwa dan semangat bangsa ditempa, dilebur di dalam kawah candradimuka, dengan penggemblengan sikap dan wawasan para pemimpin dan calon pemimpin untuk mengembangkan watak kepemimpinan yang mengabdi bangsa. Idiom dan konsep dasarnya serbabesar. Kita bicara keindonesiaan. Tanggung jawab kerakyatan. Mengabdi kehidupan bangsa dan menyemai gagasan mengenai pemimpin yang besar, adil, dan memberi rakyat kedamaian.
Adapun mengenai “character building” tadi, harus ditempuh KPU melalui berbagai kursus atau pendidikan politik yang menanamkan kepemimpinan sosial yang jelas. Orang harus bergulat dalam hidup riil di tengah masyarakat, dan memahami denyut kehidupan rakyat. Melalui agenda macam ini— yang belum tersentuh KPU— kita mendidik bangsa, orang per orang, untuk memiliki militansi yang jelas.
Pemimpin harus militan. Kader harus militan. Pengabdian orang militan, hidup-matinya, untuk bangsa. Bukan bangsa asing seperti kebanyakan tokoh sekarang. Tapi, hidup-mati kita untuk bangsa Indonesia, untuk seluruh negeri, tempat tumpah darah kita. Silakan KPU merancang sendiri secara merdeka, strategi pendewasaan dan pematangan politik bangsa kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar