|
”Kemenangan di Vietnam sangat penting untuk mengontrol Indonesia, bila
Indocina hilang, maka beberapa hal akan terjadi. Tanjung Malaka akan sulit
dipertahankan. Timah dan tungstern akan berhenti. Burma dalam posisi yang sulit
dipertahankan. Semua posisi sangatlah tidak menyenangkan. Jika kita kehilangan
semua itu, bagaimana bisa mempertahankan Indonesia yang kaya.”
Ucapan di atas muncul dari
Eisenhower―—Presiden Amerika tahun 1953, yang melihat Indonesia sebagai permata
dunia, di tengah gejolak perang dingin Rusia dengan Amerika, serta berubahnya
situasi politik di Vietnam hingga Indonesia di masa Soekarno.
Sejarah mencatat, bahwa nilai
penting kekayaan alam Indonesia untuk Amerika sudah terbaca sebagai catatan
panjang. Tahun 1939, lewat East Indies,
Belanda memasok lebih dari separuh konsumsi total sumber daya alam yang
dibutuhkan Amerika.
Bisa diduga, jika kemudian Amerika
mendukung masuknya kembali Belanda ke Indonesia pasca-kemerdekaan lewat dana Marshall Plan, temasuk penguasaan
kembali kilang-kilang minyak di Sumatera. Namun, dukungan ditarik ketika
perlawanan terjadi secara tak terduga, termasuk bumi hangus kilang minyak serta
fasilitasnya. Sebuah perlawanan bumi hangus, yang memberi kecemasan terhadap
masa depan perusahaan-perusahaan minyak Amerika hingga Inggris di Indonesia.
Uraian di atas menunjukkan, bahwa
sejarah daya hidup Indonesia serta kepemimpinannya senantiasa berkait dengan
kekuatan minyak serta sumber daya alamnya.
”Zaman sudah merdeka, saatnya melayani rakyat dengan masuk politik, tapi
kalau jadi politikus harus punya mental politik, kalau tidak punya mental
politik, hanya akan jadi benalu rakyat.”
Ucapan Uskup Soegija dalam film Soegija di
akhir agresi kedua Belanda ini, ketika Amerika menekan Belanda untuk mengakhiri
Perang, mengisyaratkan bahwa mental politik menjadi nilai utama bagi
kepemimpinan Indonesia pasca-kemerdekaan di tengah kekayaan sumber daya
alamnya.
Celakanya, justru pasca-68 tahun
kemerdekaan ini, berbagai persoalan menyangkut sumber daya alam khususnya
minyak dan pertambangan dipenuhi persoalan, dari kasus korupsi, produktivitas,
perizinan dan pengolahan serta pertambangan ilegal, konflik lahan hingga
hilangnya daya dukung lingkungan dalam eksploitasi sumber daya alam.
”Mutilasi Ibu Pertiwi” inilah
cetusan Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri ESDM, mengomentari wilayah-wilayah
yang rusak oleh eksploitasi sumber daya alam, dalam sebuah obrolan di warung
kopi dengan pengamat politik Sukardi Rinakit. Lebih lanjut wakil menteri ini
dengan serius mengatakan perlunya kerja sama dengan KPK hingga aparat keamanan
membasmi para jagal mutilasi alam Indonesia ini.
Kegelisahan ini juga muncul dari
pernyataan Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan Kuntoro Mangkusubroto: ”Sekarang
di hilir (pembangunan), banyak penyakit dan bencana, yang akhirnya berbiaya
besar, uang hasil pembangunan tak cukup untuk membiayainya.”
Agaknya, kegelisahan terhadap
mental politik dalam berhadapan dengan sumber daya alam menjadi sebuah orkestra
bersama berbagai kalangan menjelang Pemilu 2014.
Catatan di atas mengisyaratkan,
bahwa Pemilu 2014 selayaknya melahirkan berbagai kepemimpinan yang mampu
mengelola kekayaan alam Indonesia menjadi sumber pelayanan kesejahteraan
sekaligus strategi daya hidup produktivitas bangsa di tengah persaingan bangsa-bangsa.
Jika Nixon tahun 1965 menyatakan ”Indonesia adalah hadiah terbaik Asia
Tenggara untuk Amerika”, selayaknya Pemilu 2014 melahirkan hadiah ”Presiden Indonesia dengan mental politik
terbaik Asia Tenggara”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar