Sabtu, 28 September 2013

Arogansi Jabatan

Arogansi Jabatan
Billy Boen  ;   CEO PT YOT Nusantara; Director PT Jakarta International Management (JIM); Shareholder, Rolling Stone Café
KORAN SINDO, 27 September 2013



Dulu ketika saya masih menjabat sebagai sales & marketing manager untuk distributor Nike, kemudian sebagai general manager Oakley di Indonesia, dan kepala divisi F&B di MRA Group, pekerjaan saya setiap hari di kantor antara lain: menulis dan membalas email, rapat dengan tim, dan menerima tamu (rapat dengan pihak luar), di samping kunjungan ke toko-toko. 

Saya punya kebiasaan, ketika punya jadwal rapat misal pukul 10.00, dan tamu saya sampai di kantor saya pukul 9.45 atau bahkan lebih awal misal pukul 9.30 (ketika saya sedang tidak sibuk atau tidak sedang berhadapan dengan hal yang mendesak), saya selalu memprioritaskan untuk bertemu dengan tamu saya yang datang ”kepagian” itu. Kenapa? Karena saya menghormati mereka yang sudah berusaha untuk datang tidak telat. Saya juga tidak mau mereka menunggu saya. Saya bukan tipe orang yang ”gila hormat” dan ”sok sibuk”. 

Setelah saya keluar dari jalur karier sebagai karyawan, dan mulai merintis bisnis saya, boleh dibilang saya berada di sisi yang berbeda dengan ketika saya masih menjadi pimpinan perusahaan yang sering diajak kerja sama dengan pihak lain. Saya menjadi ”pihak lain”, yang membutuhkan kerja sama dengan perusahaan-perusahaan besar. Saya ingat betul ketika saya harus berkunjung ke sebuah kantor perusahaan besar, saya diminta menunggu si manajer yang ingin saya temui, dan hingga jam rapat yang disepakati lewat, saya harus tetap harus menunggu si manajer. 

Kesal iya, sedih juga iya. Kenapa? Karena saya selalu berusaha untuk menghormati orang lain, dan ya itu tadi, kalau dulu, orang yang datang ke kantor saya lebih pagi, saya akan temui orang tersebut, tanpa dia harus menunggu hingga jam rapat tiba. Tapi di awal-awal saya merintis bisnis saya sekitar empat tahun lalu, saya harus merasakan ”arogansi” orang-orang yang memiliki jabatan tinggi di perusahaanperusahaan besar yang memang saya butuhkan untuk berkolaborasi. 

Mungkin Anda berpikir, ”Ah, hal kecil begini aja dibahas?” Memang ini adalah hal kecil, tapi halhal kecil seperti ini apabila tidak disadari, akan menjadi kebiasaan. Dan, kebiasaan tidak menghormati orang lain suatu saat pasti akan berdampak buruk bagi Anda. Trust me on this. Balik-balik lagi, mau sukses? Semua tergantung karakter kita, juga attitude kita. Kalau kita tidak peka terhadap perasaan orang lain, dan tidak menghormati orang lain, mana ada orang yang akan menghormati kita? Kalau banyak orang yang tidak suka sama kita, kita tidak akan dibantu. 

Konsekuensinya, ya susah untuk bisa jadi orang yang sukses! Hingga di tahun keempat saya berbisnis ini, dari waktu ke waktu saya masih sering menemui para manajer dan direktur perusahaan besar yang arogan. Kalau istilah saya, ”sok sibuk”. Tidak balas email adalah salah satu contoh ”sok sibuk”. Saya percaya kalau posisi manajer dan direktur itu terima antara 50–150 email setiap hari. Saya juga pernah mengalami hal ini. Tapi, kenapa saya bisa membalas hampir semua emailyang ditujukan ke saya, dan banyak manajer dan direktur yang tidak mampu? 

Dari 150 email yang diterima, biasanya 70–80% nya diterima dalam bentuk ”cc”, kita bukan ada di ”to”. Untuk email yang di-cc-kan ke kita, kita tidak wajib untuk membalas. Nah, masa untuk membalas 20–30% dari email yang kita terima setiap hari tidak bisa? Sesibuk apakah Anda? Email yang diterima detik ini tidak harus selalu dibalas di menit berikutnya. Peraturan tidak tertulis atau etika dalam berkomunikasi lewat email: email itu harus dibalas dalam kurun waktu 1x24 jam. 

Nah, masa dalam 24 jam tidak mampu membalas 30–45 email? Tidak mampu atau ”sok sibuk”? Nama untuk saya yang diberikan oleh ayah ibu saya: Billy Boen. Tapi sejak pertama kali saya bekerja, saya dikenal sebagai Billy Nike. Lima tahun kemudian saya dikenal sebagai Billy Oakley. Kemudian Billy MRA. Sekarang baru saya dikenal sebagai Billy Boen. Yang saya mau katakan di sini adalah, bangga untuk bekerja di perusahaan atau brand terkenal boleh dan wajar. 

Saya hingga sekarang pun bangga bahwa saya pernah bekerja dan berkarya untuk brand-brand tersebut. Tapi saya tidak pernah sekalipun menyombongkan diri saya karena ”nama belakang” yang sifatnya sementara itu. Jadi manajer, jadi direktur, boleh kok bangga. Tapi ingat, jabatan bukan untuk disombongkan! Dibanggakan boleh, tapi alangkah lebih baiknya, kalau untuk disyukuri. Jabatan yang sering kali menjadi ”nama belakang” Anda itu sifatnya sementara. 

Anda tidak tahu kapan Anda akan resign dan pindah ke perusahaan lain. Anda tidak pernah akan tahu kapan kalau ternyata Anda adalah salah satu yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK), dan sebagainya. Selagi memiliki posisi yang baik di perusahaan top, jangan sombong deh. Saya yang dulu ketika memegang brand-brand keren saja nggak pernah sombong (dan punya network yang sangat luas), namun ketika harus merintis bisnis dari nol harus merasakan arogansi orang-orang yang berada di perusahaan-perusahaan besar; apalagi Anda yang mungkin sekarang ini sedang arogan (tanpa Anda sadari)? 

Saya pernah ngobrol sama Mbak Airin Priscilla, presiden direktur KORAN SINDO, dan dia bilang ke saya, ”Iya Bill, menurut saya, ngga ada untungnya kalau kita sombong. Di MNC Group, saya terus-menerus diingatkan untuk tetap humble.” Dan memang apa yang diucapkan oleh Mbak Airin bukan sekadar ucapan belaka. Saya sangat berterima kasih kepada Mbak Airin, karena dia benar-benar humble dan masih mau menyempatkan waktu untuk bertemu dan membantu perusahaan ataupun project yang sedang saya rintis. 

Saya rasa tanpa KORAN SINDO sebagai pihak yang mempersembahkan Young On Top National Conference 2013 lalu, ajang ini tidak akan bisa sesukses itu. Kalau seorang presiden direktur KORAN SINDO dan yang juga memegang jabatan direktur di beberapa anak perusahaan MNC Group saja bisa tidak arogan, siapa Anda untuk menyombongkan posisi Anda? Kalau bisa punya posisi top di perusahaan keren dan ngga sombong, kenapa mesti sombong? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar