Sabtu, 28 September 2013

Jalan Panjang Atasi Utang

Jalan Panjang Atasi Utang
Fahrul Riza  ;    Dosen Universitas Bunda Mulia
KORAN JAKARTA, 27 September 2013


Merumuskan kebijakan penyelesaian utang itu mudah. Yang sulit adalah menciptakan komitmen atau tekad kuat untuk tidak membuat utang baru. Itulah yang menjadi bagian tersulit dalam merancang APBN setiap tahun.

Utang Indonesia semakin membengkak karena pembayaran pinjaman yang jatuh tempo menggunakan utang baru. Jumlat utang pemerintah terus mencatatkan rekor tertinggi. Sampai Agustus 2013, jumlah total utang Indonesia mencapai 2.177,95 triliun rupiah. Salah satu penyebab membengkaknya utang adalah penerbitan obligasi rekap sebesar 650 triliun rupiah pada 1998.

Utang luar negeri diangggap keharusan bagi sebuah negara berkembang karena ada kesenjangan antara ketersediaan dan kebutuhan dana untuk investasi (saving gap). Di negara berkembang, dana yang diperlukan sangat besar untuk membangun prasarana dan industri di semua sektor. Tetapi pada saat yang sama, tabungan masyarakat tidak bisa diharapkan terlalu banyak sehingga utang luar negeri harus ditempuh.

Pembayaran utang saat ini ditutupi dengan menarik pinjaman baru dan menerbitkan surat berharga negara (SBN) dalam jumlah besar. Situasi itu menimbulkan debt trap atau jebakan utang yang tidak tahu kapan selesainya. Belum lagi total penambahan pinjaman dari Juli ke Agustus 2013 sebesar 75,39 triliun rupiah. Utang tahun depan akan kembali meningkat 215,4 triliun rupiah guna menutupi defisit anggaran yang mencapai 224,2 triliun rupiah.

Fluktuasi pelemahan nilai tukar rupiah memperparah beban utang negara, salah satunya karena kepemilikan asing terhadap SBN sudah mencapai porsi 30 persen. Ini menyebabkan arus modal asing keluar cepat dalam jumlah besar.
Kementerian Keuangan mengilustrasikan pembayaran utang pada tahun 2010 saja realisasi alokasi pembayaran cicilan pokok dan bunga utang dalam APBN mencapai 215,416 triliun rupiah. Perinciannya, pembayaran bunga utang sebesar 88,383 triliun, pembayaran cicilan pokok utang luar negeri 50,632 triliun, serta pembayaran cicilan pokok dan pembelian kembali (buyback) SBN 76,531 triliun rupiah. Jika diasumsikan besaran pembayaran pokok utang ke depannya sama dengan tahun 2010, butuh waktu sekitar 40 tahun hanya untuk melunasi pokok pinjaman tersebut dengan catatan tidak ada utang baru.

Merumuskan kebijakan penyelesaian utang itu mudah. Yang sulit menciptakan komitmen atau tekad kuat untuk tidak membuat utang baru. Itulah yang menjadi bagian tersulit dalam merancang APBN setiap tahun. APBN yang dianggarkan setiap tahun, dalam pelaksanaannya, kerap kali mengalami penyimpangan. Kadang sektor penerimaan menurun, sementara sektor pengeluaran tidak bisa dipastikan secara tepat akan sesuai dengan sektor penerimaan (Nasution: 1997, 161). Kerapkali anggaran menjadi defisit sehingga dibutuhkan utang untuk menutupi.

Selanjutnya, ekonom dunia, Williamson (1999), berpendapat profil utang yang wajar sebuah negara memiliki ciri-ciri: tidak melebihi 40 persen dari produk domestik bruto (PDB), tidak lebih dari 200 persen ekspor, dan debt service ratio (rasio utang terhadap pendapatan) tidak boleh lebih dari 25 persen.

Jadi, pada prinsipnya, utang negara sama sifatnya dengan utang perorangan dan perusahaan karena tanggung jawab pembayaran sepenuhnya ditanggung debitor dan ahli warisnya sampai lunas. Dengan mencicil secara berkelanjutan dan konsisten, pokok utang lambat laun akan berkurang dan beban bunga semakin menurun selama debitor tidak menambah utang baru. 

Bagi institusi atau perusahaan yang pengelolanya mengalami pergantian, utang yang dibuat menjadi tanggung jawab pengelola selanjutnya kalau belum lunas. Akan tetapi, dalam suatu institusi atau perusahaan, masih ada komisaris ataupun pemilik yang mengawasi lalu lintas keuangan perusahaan sehingga pengelola baru tidak dapat semena-mena membuat komitmen utang baru tanpa persetujuan pemilik perusahaan atau pemegang saham secara mayoritas.

Solusi 

Optimalisasi penerimaan negara dari sektor pajak dan nonpajak merupakan salah satu alternatif solusi untuk meningkatkan arus kas masuk ke pos penerimaan negara. Namun, akar permasalahan dari terbentuknya utang tersebut juga perlu dicari solusinya. Karena sebagus apa pun solusi yang ditawarkan, belum akan memperbaiki keadaan selama masih ada utang baru. Untuk Indonesia, utang baru tetap akan ada selama APBN defisit. 

Dalam jangka panjang, defisit anggaran dapat diatasi dengan mengurangi impor dan subsidi. Langkah pemerintah menurunkan utang dengan mengurangi secara bertahap subsidi BBM dan menggandeng swasta untuk membangun infrastruktur merupakan salah satu langkah riil. 

Namun, langkah tersebut akan sia-sia jika penyelenggara negara masih oportunis alias "aji mumpung" terhadap kesempatan yang dimiliki, sementara masyarakat tidak mampu mengawasi keuangan negara. Maka, dalam jangka pendek, sangat perlu dibangun komitmen dan kesadaran bersama antara pemerintah sebagai penyelenggara negara dan masyarakat sebagai pengawas berjalannya pembangunan melalui wakilnya di DPR untuk menjalankan perekonomian yang berorientasi pada kemandirian dengan meminimalkan utang luar negeri dan impor.

Bayangkan jika pembayaran pokok utang tersebut dapat dialokasikan ke kredit usaha rakyat (KUR), dapat membiayai dan menggerakkan lebih dari 7 juta unit usaha mikro, kecil, dan menengah. 

Peningkatan kesejahteraan rakyat secara mandiri dengan terpenuhinya kebutuhan sandang dan pangan akan menaikkan derajat masyarakat dan secara otomatis akan mengubah kebiasaan berutang ke menabung. Besarnya kekuatan tabungan ini akan mampu membiayai pembangunan dan investasi secara mandiri sehingga bantuan asing cukup menjadi suplemen saja. 

Sesederhana apa pun solusi yang dibuat, akan berhasil secara nyata jika dilakukan dengan komitmen yang utuh dan konsisten. Ini merupakan pekerjaan jangka panjang yang realisasinya membutuhkan waktu puluhan tahun dan keberhasilannya bergantung pada komitmen pemerintah dan dukungan rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar