|
Komisi Pemilihan Umum telah
memperpanjang waktu penetapan daftar pemilih tetap tingkat kabupaten/kota
hingga 13 Oktober 2013. Dengan perubahan tersebut, KPU hanya menyisakan waktu
10 hari sampai ditetapkannya DPT secara nasional, yakni 23 Oktober 2013.
Dikhawatirkan waktu yang sempit
akan membuat proses penghitungan dan penggabungan data secara nasional menjadi
tergesa-gesa. Sementara jika penetapan daftar pemilih tetap (DPT) tingkat
nasional diundur, juga dikhawatirkan akan mengganggu proses selanjutnya.
Dilema tersebut tidak akan muncul
jika KPU serius dalam pemutakhiran data sejak diterimanya data penduduk potensi
pemilih pemilu (DP4) hingga selesainya proses daftar pemilih sementara hasil
perbaikan (DPSHP). Pertanyaannya, kenapa setelah semua proses tersebut dilalui,
KPU baru mengemukakan ada masalah besar. Masalah besar tersebut adalah adanya
65 juta data pemilih bermasalah.
Temuan tersebut berpotensi
mengulang masalah kacaunya daftar pemilih tetap (DPT) seperti Pemilu 2009.
Apakah bangsa ini lebih bodoh daripada keledai sehingga akan terperosok dua
kali pada lubang yang sama?
Menurunnya kualitas pemilu,
berakibat pada menjauhnya bangsa ini dari kondisi demokrasi terkonsolidasi.
Padahal, Pemilu 2014 seharusnya merupakan pemilu terakhir era transisi
demokrasi untuk masuk pada kondisi demokrasi terkonsolidasi tersebut. Bangsa
ini hendaknya tidak terlalu lama terombang- ambing dalam kondisi flawed
democracy. Kondisi demokrasi yang tidak juga masuk pada ”kematangannya”, jika
terlalu lama, akan berbahaya. Bandul demokrasi bisa berbalik arah.
Buruknya
proses sidalih
Secara umum, masalah seputar daftar
pemilih ini berawal dari DP4. DP4 yang diserahkan pemerintah kepada KPU bisa
dibilang tidak akurat. Ketidakakuratan DP4, yang juga terjadi pada data
menjelang Pemilu 2009, diperparah karena belum selesainya proses KTP elektronik.
Selain itu, buruknya daftar pemilih sekarang ini terjadi akibat tidak
optimalnya sinkronisasi dan pemutakhiran data pemilih yang dilakukan KPU.
Awal yang penuh masalah, KPU yang
kurang serius dalam memutakhirkan data yang bermasalah, dan sistem informasi
data pemilih (sidalih) yang penuh misteri memupus harapan akan terdaftarnya
seluruh warga negara yang berhak memilih serta tidak adanya ”pemilih siluman”.
Sistem informasi data pemilih, yang
dikatakan KPU sebagai sistem informasi data pemilih yang bisa dipercaya, pada
akhirnya menjelma jadi sistem data pemilih yang paling sulit dipercaya
keakuratannya. Tidak dilakukannya uji publik secara memadai dan tidak
transparannya sistem itu semakin memunculkan keraguan dan kecurigaan.
Buruknya proses dan keraguan terhadap
sistem informasi data pemilih memunculkan kekhawatiran akan menurunnya tingkat
partisipasi yang berakhir pada buruknya kualitas Pemilu 2014. Meskipun berkat
putusan Mahkamah Konstitusi (MK), sekarang ini warga negara dapat memilih
dengan menggunakan KTP, tetap saja hal itu tidak menghilangkan potensi
banyaknya warga negara yang tidak memanfaatkan hak pilihnya. Dengan kata lain,
banyaknya warga negara yang tidak terdaftar akan menurunkan tingkat
partisipasi. Warga yang tidak terdaftar dan tidak mendapatkan undangan
cenderung tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS). Tanpa undangan,
pemilih akan malas menuju TPS.
Kerja optimal KPU
Seharusnya, dalam memperbaiki
daftar pemilih, KPU tidak hanya mengharapkan peran aktif masyarakat, tetapi
juga KPU sendiri secara aktif mendatangi masyarakat guna mengecek adanya warga
yang belum terdaftar. Seharusnya KPU mengoptimalkan segenap jajaran komisioner
dan birokrasi di semua tingkat untuk mencapai hasil yang baik.
Sejalan dengan hal itu,
perkembangan sistem informasi data pemilih seharusnya dapat dipantau publik.
Sepengetahuan penulis, belum pernah sekali pun KPU mengundang, apalagi dapat
memantau. Hemat penulis, triliunan rupiah uang negara yang telah dikucurkan
hendaknya tidak sia-sia.
Muara dari semua harapan itu adalah
bangsa ini terhindar dari terperosok pada lubang yang sama; kekacauan DPT yang
kedua kali. Kecuali jika kita ingin disebut sebagai bangsa yang lebih bodoh
dari keledai, bangsa yang tidak pernah mampu belajar dari kesalahan masa lalu.
Hormati
hak pilih rakyat
Keseriusan KPU dalam melakukan
perbaikan daftar pemilih dan transparansi serta terjaminnya akses terhadap
sistem informasi data pemilih merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak
pilih rakyat. Karena itu, dengan organ yang sekarang ini sudah terbentuk sampai
ke tingkat pemerintahan terbawah, seharusnya KPU bisa melakukan hal yang lebih
baik.
Di sisi lain, diperlukan peran
optimal Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam mengawasi proses menuju
terbentuknya DPT yang lebih baik. Kinerja Bawaslu hendaknya tidak mengendur.
Kuncinya, Bawaslu fokus pada kerja pengawasan.
Karena pentingnya penciptaan DPT
yang baik, agar tak disebut sebagai bangsa keledai, perlu koordinasi dan relasi
harmonis baik antara sesama penyelenggara pemilu maupun antara penyelenggara
pemilu dan sejumlah pihak yang concern terhadap tahapan pemilu. Akhirnya, relasi yang baik antara penyelenggara
pemilu, pemerintah, dan masyarakat adalah conditio sine qua non untuk penciptaan pemilu yang berhasil
secara substansial sehingga demokrasi di negeri ini dapat terkonsolidasi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar